Mengenai Saya

Kamis, 16 Juni 2011

KEPEMIMPINAN LOKAL PADA MASYARAKAT MISKIN DI KAWASAN KUMUH (SLUMS) DAN LIAR (SQUATTER)

KEPEMIMPINAN LOKAL PADA MASYARAKAT MISKIN DIKAWASAN KUMUH (SLUMS) DAN LIAR (SQUATTERS)


Didik Agus Setyo P
NIM 17623/IV-2/743/01


PENDAHULUAN

Kesulitan menggerakkan partisipasi politik dan ekonomi masyarakat merupakan masalah yang dihadapi oleh pemerintah baik pada masa orde baru maupun orde reformasi saat ini. Partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam pembangunan politik dan ekonomi selama ini berada dalam tangga partisipasi rendah. Arnstein (dalam Davaudi, 1999) menyebutkan terdapat 8 (delapan) tangga partisipasi masyarakat yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) pokok tangga partisipasi, yaitu :
Citizen Control Degree of citizen power
Delegated Power
Partnership
Placation Degree of tokenism
Consultation
Information
Therapy Non-participation
Manipulation
Ladder of Public Participation
Source: Arnstein, 1969
Menurut Arnstein, pada kelompok tangga nonpartisipasi, masyarakat berada dalam kondisi tidak memiliki kemampuan sama sekali sehingga tidak memungkinkan terjadinya partisipasi. Pada kelompok tangga degrees of tokenism, masyarakat memiliki partisipasi rendah berupa kesempatan bagi mereka untuk memberikan informasi dan saran-saran namun keputusan diambil oleh pemegang kekuasaan (pemerintah). Kelompok partisipasi ketiga degrees of citizen power merupakan implementasi kemampuan masyarakat sepenuhnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik baik dimulai dari perencanaan hingga evaluasi pembangunan politik dan ekonomi.
Masyarakat Indonesia pada saat ini memiliki karakteristik pemenuhan tangga partisipasi kelompok kedua (degrees of tokenism). Masyarakat hanya dapat memberikan informasi yang sangat terbatas, sedikit terlibat dalam diskusi baik perencanaan pembangunan maupun pelaksanaan pembangunan dan upaya-upaya pengamanan program pembangunan.
Rendahnya partisipasi tersebut diindikasi disebabkan oleh rendahnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan masyarakat. Bahkan pemerintah melupakan peranan pimpinan lokal (local leader), sebagai pimpinan informal masyarakat yang justru menjadi tokoh-tokoh panutan masyarakat setempat.
Seharusnya, dengan melibatkan sebesar mungkin pimpinan lokal akan mendorong partisipasi yang lebih besar pula, yaitu partisipasi yang meliputi pengambilan keputusan, partisipasi dalam implementasi, partisipasi dalam memperoleh manfaat dan partisipasi dalam evaluasi (Cohen dan kawan-kawan, 1979)
Atas dasar model partisipasi tersebut diatas maka kemudian disusun model pembangunan yang berdasarkan self help development. Lebih lanjut dikembangkan dalam model pembangunan Community Based Development (CBD), yakni pembangunan kawasan yang meletakkan keseluruhan prosesnya pada keterlibatan masyartakat setempat secara penuh. Pada model ini posisi pemerintah hanya menjadi pendamping dan memberikan konsultasi yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, pembangunan kemudian bukan lagi hanya diarahkan pada kemajuan sosial ekonomi masyarakat (aspek fisik) namun juga diarahkan pada bagaimana peran serta masyarakat itu sendiri dalam proses pembangunan yang memiliki tokoh-tokoh kunci yakni pimpinan-pimpinan lokal (Feeman, dan kawan kawan, 1985).

PIMPINAN LOKAL DAN ORGANISASI LOKAL

a. Organisasi Lokal
Pada dasarnya, dalam wilayah tertentu umumnya terdapat tiga sektor lembaga/organisasi. Ketiga sektor tersebut adalah Pemerintah (local government), swasta (private sectors) dan organisasi lokal (local/rural organization).
Semestinya, ketiga sektor tersebut bekerja bersama-sama secara sinergis untuk mencapai kemajuan wilayah tersebut. Sinergi kerjasama tiga sektor tersebut terlihat dalam bagan berikut :










Model sinergi organisasi kemasyarakatan yang lebih sempurna dikemukakan Huntington (1968 : 395) sebagai berikut :












Namun dalam paper ini hanya akan dibahas organisasi lokal sebagai materi yang berkesesuaian dengan peranan kepemimpinan lokal dalam kawasan miskin (poor), kumuh (Slums) dan liar (squatters).
Organisasi lokal didefinisikan sebagai institusi yang memiliki aktivitas untuk memperoleh kepentingan mereka dan dinilai accountable oleh anggotanya termasuk dalam proses pembangunan wilayahnya (Esman, dan kawan-kawan, 1984 : 18).
Keberadaan organisasi lokal dalam proses pembangunan kawasan memiliki dimensi penting . Dibandingkan 2 sektor organisasi kemasyarakatan lain, organisasi lokal adalah organisasi yang menyatu dengan masyarakat setempat. Oleh sebab itu, organisasi lokal lebih mampu memahami kebutuhan masyarakatnya dan cara-cara yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak salah apabila organisasi lokal memiliki fungsi E3 (Efficiency, Equity and Empowerment) (Johnston dan kawan kawan, 1975 : 445).





Pengaturan konflik internal organisasi berhubungan dengan identifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan proses pekerjaan, menganalisisnya secara sistematis, mengimplementasikan alternatif solusi pemecahan masalah dan melakukan tawar-menawar kepentingan (Yukl, G., 1994). Konflik akan muncul manakala seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi dihadapkan pada pilihan pengambilan keputusan yang sangat penting dan menyulitkan. Bahkan Janis dan Mann (1979) menegaskan bahwa konflik menjadi semakin membahayakan bilamana penentu keputusan ragu dan takut menanggung resiko berupa kemungkinan kerugian/kehilangan kesempatan sebagai akibat kesalahan pilihan alternatif pemecahan masalah.
Faktor utama terjadinya konflik, pada hakekatnya berawal dari aktivitas individu atau sekelompok orang untuk menerima atau menolak pilihan yang paling mungkin mereka lakukan. Dengan demikian, individu pada saat dihadapkan pada pilihan harus melakukan aktivitas yang cukup rumit, mulai dari pengumpulan informasi, menganalisisnya berdasarkan ukuran-ukuran keuntungan/kerugian, serta menentukan pilihan terbaik dimana jika perlu dapat meminta pertimbangan orang lain.
Hakekat individu selain sebagai makluk pribadi juga sekaligus memiliki peran sebagai makluk sosial. Oleh sebab itu, seorang peribadi tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan komunitasnya yang komplek. Pilihan akan semakin berat bagi individu manakala dia harus mempertimbangkan resiko yang terjadi berkaitan dengan jalinan interaksinya dengan komunitasnya.
Oleh karena itulah, perkembangan individu menjadi sangat berperan dalam menetukan kemampuannya melakukan pilihan dan mengatur konflik yang terjadi. Perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang komplek (Van den Daele dalam Hurlock, E.B., 1997). Bahkan lebih lanjut Hurlock, E.B. (1997) menegaskan bahwa perkembangan bertujuan untuk memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup.
Makna yang terkandung dalam paragraf diatas mendiskripsikan hebatnya pengaruh perkembangan individu yang integral terhadap semakin bertambahnya kemampuannya menyesuaikan diri dengan komunitasnya yang banyak memiliki substansi konflik didalamnya. Dengan kata lain, semakin seseorang berkembang kearah kematangan, semakin mampu pula dirinya mengatur konflik yang dihadapinya.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu munculnya konflik sebagaimana dikategorisasi Wexley & Yukl (dalam Yukl, G., 1994) :
- Kompetisi untuk memperoleh sesuatu/resources;
- Perbedaan dalam mendapatkan tujuan dari sebuah pekerjaan;
- Ambiguitas terhadap rasa keadilan;
- Upaya memperebutkan status;
- Hambatan dalam berkomunikasi;
- Perbedaan kepribadian individu satu dengan lainnya.
Bahkan didalam era reformasi di Indonesia pada saat ini yang balik lagi ke instabilitas sistem pemerintahan, banyak muncul konflik yang menghadang laju pembangunan negara. Setidaknya terdapat 12 (duabelas) konflik besar yang harus diatasi oleh pemerintah (Leksono, K., dkk., 2000) :
1. Masalah pada sistem Politik yang masih diwarnai oleh money politics, floating mass, nepotisme dan rekayasa memperoleh kekuasaan;
2. Masalah Hukum, legitimasi kekuasaan yang dilanggengkan oleh hukum dan ketidakadilan dihadapan hukum;
3. Masalah orientasi kebijakan ekonomi yang masih berbau crony capitalism, pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi yang terbatas pada slogan dan perebutan sumberdaya alam;
4. Masyarakat yang belum siap terhadap pluralisme, segresi menurut aliran parpol, agama, ras dan suku;
5. Otonomi daerah yang “setengah matang” sehingga tidak menciptakan model perimbangan kekuasaan pusat-daerah yang baik;
6. Peranan militer dalam kehidupan sipil yang belum jelas arahnya;
7. Sitem pendidikan yang membingungkan, kurikulum yang tidak aplicable, rendahnya kompetisi dan teacher centered;
8. Sikap mendua pada ideologi gender, peranan wanita dalam lembaga pemerintahan;
9. Tidak siapnya masyarakat dalam merespon globalisasi dan pasar bebas/ketidakadilan internasional;
10. Pengaruh agama untuk melindungi kekuasaan;
11. Sistem demokrasi dalam masyarakat yang bifurkasi;
12. Posisi tawar masyarakat dalam kebijakan pemerintahan yang lemah.

Sedangkan dalam scope pemerintahan di tingkat Kabupaten dan Kota, terdapat berbagai konflik antara lain :
1. Sumber daya manusia dan kepemimpinan dalam pemerintahan daerah;
2. Ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas pemerintahan;
3. Masalah pemukiman, perebutan lahan dan fasilitas pelayanan publik;
4. Kewenangan dan hak daerah atas sumber daya lingkungan;
5. Segresi masyarakat atas dasar golongan dan kepentingan;
6. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah;
Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 tahun 2000 yang mengatur mengenai Kelembagaan Organisasi Pemerintahan di Daerah, memunculkan friksi yang hebat dalam pelaksanaan manajemen pemerintahan di daerah. PP 84/2000 mendorong pemerintah daerah untuk menyusun struktur organisasi yang miskin hirarki namun kaya fungsi sehingga berakibat pada penempatan sumber daya manusia dan kecenderungan melakukan rasionalisasi pegawai.
Selanjutnya, karena pembiayaan operasional pemerintahan daerah diatur sepenuhnya oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan dengan sumber keuangan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan disubsidi Pemerintah Pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang sangat terbatas, menimbulkan banyak spekulasi tidak mampunya pemerintah daerah membayar gaji pegawainya, membiayai operasional pemerintahan dan mencukupi ketersediaan biaya pembangunan.
Permasalahan-permasalahan tersebut mendorong lahirnya konflik dalam diri pegawai pemerintahan daerah, sekaligus juga menyebabkan konflik antar pegawai, antara pegawai dengan atasannya serta mengganggu relationship mereka. Bahkan Devas dan Rakodi (1993) menyatakan bahwa konflik bisa terjadi antara dinas-dinas daerah (agencies) dan bagian-bagian (departements) dalam pemerinatahan di daerah.
Bertolak dari demikian besarnya konflik yang sekarang ini muncul dalam organisasi pemerintahan daerah tersebut diatas, maka menjadi sangat urgen untuk melihat kemampuan pemimpin daerah untuk mengatur konflik di lingkungan kerjanya.
Kemampuan seorang pemimpin menentukan sejauhmana dirinya dapat mengatur konflik dalam organisasinya. Selanjutnya, pengaturan konflik tersebut dapat memberikan sumbangan besar bagi keuntungan organisasi.
Hemphill dan Coons (1957) mendefinisikan leadership sebagai perilaku individu pada saat dirinya memerintah group untuk melakukan suatu pekerjaan guna mencapai tujuan bersama.
Disamping itu, banyak peneliti yang mengelompokkan kepemimpinan kedalam 2 kategorisasi perilaku pemimpin, yaitu kepemimpinan yang berorientasi kepada pekerjaan/task behavior dan kepemimpinan yang beorientasi pada perilaku hubungan antar personal/relationship behaviors (Northouse, 2001).
Kepemimpinan yang berorientasi pada perilaku pelaksanaan pekerjaan akan selalu memfasilitasi aktivitas-aktivitas yang langsung berkenaan dengan pencapaian tujuan. Sedangkan kepemimpinan yang berorientasi pada perilaku hubungan antar personal berusaha memfasilitasi tumbuhnya perasaan nyaman dalam hubungan antar individu dan dengan situasi kerja.
Hasil studi yang memperkuat analisis Northouse tersebut dilandaskan pada penelitian yang dilakukan Universitas Michigan (Bowers dan Seashore, 1966 dalam Northouse, 2001) mengategorikan kepemimpinan dalam 2 aspek perilaku, yaitu yang disebut employee orientation dan production orientastion.
Sementara pendekatan yang dilakukan oleh Hersey dan Blanchard (1969) menyatakan bahwa kepemimpinan sangat duipengaruhi oleh situasi yang disekitarnya. Dalam pendekatan situasional ini, faktor yang sangat berpengaruh adalah derajad kedewasaan bawahan (Blanchard dan Zigami, 1985).
Sedangkan Bryman (1992) mengacu pada hasil research tentang tranformasional leadership sejak tahun 1980-an, menyatakan terdapatnya paradigma baru tentang leadership. Paradigma baru itu adalah proses perubahan dan pentransformasian individu-individu dalam organisasi (Brymann, 1992; Northouse, 2001).
Penelitian yang terus dilakukan untuk merevisi teori kepemimpinan transformasional dilakukan oleh Conger & Kanungo (1998), Shamir, House & Arthur, (1993). Namun jauh sebelum itu, Bass (1985) telah mengkategorikan kepemimpinan kedalam 3 tipologi yang bersifat kontinum. Leadership Continuum yang dikemukakan oleh Bass tersebut adalah sebagai berikut :






Sumber : Leadership Cintinuum, Northouse, P.G., 2001
Proses dinamis pergerakan tipe kepemimpinan kontinum yang dikemukakan Bass ini disebut “Model kepemimpinan transformasional dan transaksional” (Bass, 1985, 1990; Bass dan Avolio, 1992, 1994).

E.1. MANAJEMEN KONFLIK
Konflik bagaikan pedang bermata dua, disatu sisi dapat melukai lawan namun sisi satunya mengancam keselamatan diri sendiri. Asumsi umum menyatakan bahwa konflik cenderung bersifat merusak. Oleh sebab itu, secara tradisional manajemen yang baik adalah meminimalisasi konflik (Tjosvold, 1991).
Konflik juga mengandung pengertian negatif berupa permusuhan, ketidak sesuaian pendapat dan perubahan yang tidak menyenangkan. Konflik yang demikian merugikan dan membahayakan suatu organisasi serta mengakibatkan tidak efektifnya performansi organisasi (Stott dan Walker, 1995).
Konflik terjadi manakala seorang individu dipaksakan pada satu kondisi tendensius tertentu, yaitu untuk menerima atau menolak aktivitas yang diberikan padanya. Konflik ditandai dengan adanya keragu-raguan, kebimbangan, perasaan ketidakpastian dan tanda-tanda tekanan emosional yang akut (signs of acute emotional stress) (Janis dan Mann, 1977).
Namun dalam pandangan manajemen modern, kenyataannya konflik selalu ada, dibutuhkan dan tidak dapat dielakkan oleh kelompok baik dalam kontek organisatoris maupun kehidupan individual (Lindelow dan Scott, 1989 dalam Sott dan Walker, 1995).
Bahkan Robbins (1991) menegaskan bahwa banyak ahli ilmu perilaku dan praktisi manajemen saat ini mengakui dan menerima bahwa efektivitas manajemen bukan dengan mengeliminasi konflik. Robbins mengasumsikan bahwa andaikan konflik dapat dikendalikan dan diatur dengan baik, konflik justru dapat memberikan keuntungan bagi organisasi.
Penjelasan lebih lanjut dari Robbins (1991) menyebutkan bahwa keuntungan konflik dalam organisasi terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu :
1. Konflik memiliki arti upaya membawa organisasi kedalam proses perubahan yang radikal;
2. Konflik mendorong persatuan kelompok;
3. Konflik meningkatkan efektivitas kelompok dan organisasi;
4. Konflik membawa derajad tekanan emosi yang sedikit lebih tinggi;
Sedangkan pernyataan lain menyebutkan bahwa kehadiran konflik dalam kelompok dapat meningkatkan frekuensi pemecahan masalah yang berkualitas. Kelompok yang berpengalaman terhadap konflik diindikasikan dengan kreativitas anggotanya dalam menyusun alternatif-alternatif pemecahan masalah dibandingkan kelompok yang tidak terbiasa menghadapi konflik. Group yang menghadapi krisis menunjukkan performansi efektif dalam pengambilan keputusan. Semakin besar konflik itu menjadi sebuah krisis, semakin besar pula konsensus yang dicapai terhadap keputusan yang diambil. (Wynn dan Guditus (1984).
Konflik, pada saat dimanajemen secara tepat dapat menambah nilai substantif sebuah organisasi. Konflik menjadi perantara pada saat permasalahan diakui dan hendak dipecahkan. Pada saat membahas konflik, dengan tidak menutup informasi, mengembangkan asumsi-asumsi yang menarik, menggali lebih dalam topik yang dibahas dan menentukan konsekuansi terburuk yang mungkin dihadapi akan mengarahkan organisasi pada keberhasilan pemilihan keputusan. Sehingga dengan demikian konflik dibutuhkan karena perbedaan opini dan informasi menjadikan pemecahan permasalahan menjadi lebih baik dan akhirnya memperoleh sesuatu yang dapat dikerjakan secara logis dalam organisasi (Tjosvold, 1991)
Konflik didefinisikan sebagai ketidakcocokan dalam aktivitas dan perilaku (Deutsch, M., 1973). Dalam pengertian, perilaku seseorang dianggap menghalangi dan mencampuri urusan, aktivitas dan perilaku orang lain.
Konflik juga sering didefinisikan sebagai penentangan terhadap kepentingan dan tujuan yang dilakukan justru oleh kelompok pendukung (protagonist) dalam proses bargaining dan negosiasi (Tjosvold, 1991). Namun Tjosvold juga mengatakan bahwa konflik tidak bermakna sama dengan kekerasan, perbedaan pendapat dan kemarahan. Mungkin konflik dapat diekspresikan dengan cara tersebut, namun dapat juga konflik ada disaat seseorang sedang tertawa, menyindir, diam bahkan pada saat sedang terharu. Seseorang bisa saja menyembunyikan perasaan mereka, menekan pikiran mereka dan menahan pembicaraan, namun individu itu tetap saja mengalami konflik.
Konflik adalah segala sesuatu yang menjengkelkan berkaitan dengan budaya organisasi/unit-unit organisasi, nilai/norma, tujuan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, kewenangan dan proses kepemimpinan serta tekanan lingkungan (Rainey, 1997).
Intensitas konflik akan muncul manakala seseorang harus membuat keputusan penting, seperti keputusan untuk menikah, mendapatkan pekerjaan baru, menandatangani kesepakatan bisnis atau menyetujui keputusan politik sebagai bagian dari representasinya di dalam organisasi. Konflik menjadi semakin berat disaat pengambil keputusan menyadari resiko makin besarnya peluang kehilangan keuntungan dari perilaku terbaik yang dipilih (Janis dan Mann, 1977).
Pondy (dalam Rainey, 1997) menyusun klasifikasi tingkatan konflik yang terjadi dalam organisasi dalam 5 (lima) stase :
1. Latent Conflict (konflik laten); merupakan kondisi awal konflik, belum membara dan muncul kepermukaan/belum disadari sepenuhnya;
2. Perceived Conflict (konflik yang telah dapat diketahui); seseorang telah dapat mengetahui bahwa telah ada konflik, meskipun selalu dicoba untuk dihindari/diingkari;
3. Felt Conflict (konflik telah dirasakan); seseorang telah merasakan secara emosi adanya efek-efek munculnya konfli : marah, ketakutan, naiknya tekanan darah, dan akibat-akibat yang dirasakan secara faal dalam diri seseorang;
4. Manifest Conflict (konflik nyata); konflik telah benar-benar ada bentuknya dan aktual. Muncul kecenderungan frustrasi, melukai, membahayakan orang lain dan menundukkan orang lain;
5. Conflict Aftermath (akibat terjadinya konflik); biasanya lebih kebentuk akibat buruk dari suiatu konflik.
Konflik sering berhubungan dengan pola agresivitas individu (Tjosvold, 1991). Kemungkinan makin tingginya eskalasi konflik dipengaruhi oleh gaya hidup dan ego seseorang (Rainey, 1997). Dengan berasumsi dari teori psikoanalisis, konflik menjadi lebih berat, manakala superego tidak mampu mengendalikan ego sehingga membebaskan instingtif berperilaku diluar kontrol norma sosial yang seharusnya di-internalisasi/diindividuasi dalam kontek proses pematangan individu.
Ursula K. Le Guin (dalam Tjosvold, 1991) menyatakan bahwa perjuangan ditujukan untuk tetap eksis, berperang untuk tetap hidup, segala sesuatu selalu berkaitan dengan pertentangan : Laki dan wanita, kebaikan dan kejahatan, Tuhan dan setan, putih dan hitam.
Agar konflik bermanfaat bagi organisasi, konflik harus dimanajemen dengan baik. Perlu dibangun strategi dan taktik yang tepat untuk memanajemen konflik dalam organisasi (Yates, 1985).
Terdapat 4 (empat) substansi kritis berkaitan dengan aspek-aspek dalam memanajemen konflik di dalam organisasi (Tjosvold, 1991) :
1. Perbedaan nilai dan cara menghadapi perbedaan;
2. Pencarian keuntungan bersama dan persatuan yang melatar belakangi kerjasama dalam pencapaian tujuan;
3. Pemberdayaan pegawai untuk merasa percaya diri dan terampil;
4. Menyediakan reward untuk keberhasilan dan mengembangkan sistem belajar dari kesalahan.
Namun dalam sebuah pengambilan keputusan atas beberapa pilihan yang dilakukan oleh organisasi, individu lebih sering mendukung keputusan mayoritas sebagai bentuk umum mempertahankan diri dari penghindaran kelompok pada dirinya. Menurut cognitive dissonance theory, seseorang cenderung untuk consonan dengan pilihan mayoritas dalam kelompoknya. (West dan Wicklund, 1980). Motivasi individu untuk menghindarkan diri dari penolakan kelompoknya ini didasari oleh kebutuhan individu untuk menangkal stres dibandingkan jika dia dissonant dengan kelompoknya.

E.2. TIPOLOGI KEPEMIMPINAN MULTIFAKTOR

Pada awalnya, studi tentang kepemimpinan berfokus pada pendekatan otokrasi versus demokrasi, kemudian berkembang pada pendekatan direktif versus partisipatif berdasarkan aspek pengambilan keputusan, berkembang lagi pada pendekatan orientasi tugas dan orientasi hubungan antar personal kemudian pendekatan inisiasi versus konsiderasi (Bass, 1985). Namun seiring dengan kedewasaan (maturity) bawahan, mempengaruhi tipologi kepemimpinan (Burns, 1978).
Perkembangan tipologi kepemimpinan yang saat ini sedang menjadi trend adalah tipologi kepemimpinan continuum (Northouse, 2001). Yaitu kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional dan bukan tipologi kepemimpinan transaksional. Tipologi kepemimpinan transformasional merupakan paradigma baru tipologi kepemimpinan (Bryman, 1992).

E.2.1. Kepemimpinan Transformasional
Istilah kepemimpinan transformasional awalnya disampaikan oleh Dowton tahun 1973. Meski demikian istilal tersebut baru terkenal sebagai salah satu pendekatan tipologi kepemimpinan setelah disampaikan oleh James McGregor Burns dalam bukunya berjudul Leadership yang terbit tahun 1978 (dalam Northouse, 2001).
Burns dalam bukunya tersebut menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses dimana pemimpin dan bawahan berusaha meraih secar bersama-sama tingkat yang lebih tinggi dalam hal moralitas dan motivasi (Burns, 1978). Pemimpin secara sadar berusaha mencari menyerukan kepada bawahan untuk secara sadar pula meraih tujuan terbaik dan nilai moral tertinggi seperti kebebasan, keadilan, kesamaan, kedamaian dan pengahargaan sebagai umat manusia, bukan mendasarkan pada kondisi emosi seperti ketakutan, rakus, cemburu (jaelous) ataupun kebencian.
Bagi Burns, kepemimpinan adalah sebuah proses, bukan aktivitas yang sepotong-sepotong (Burns, 1978). Kepemimpinan transformasional mengarahkan terciptanya proses dimana individu mengikutsertakan orang lain dan menciptakan hubungan yang mempertinggi motivasi dan moralitas baik bagi pemimpin maupun bagi bawahan. (Northouse, 2001).
Bass (1985) memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional setelah memperbaiki ide awal yang dikemukakan Burns. Secara umum, seorang pimpinan dikatakan transformasional manakala dia telah dapat diukur dengan memepergunakan aspek-aspek pengaruh pemimpin terhadap bawahannya (Yukl, 1994).

Bawahan dibawah kepemimpinan transformasional setidaknya menunjukkan rasa percaya, kekaguman, kebanggaan, loyalitas, sikap hormat pada pimpinan dan bawahan termotivasi bekerja lebih baik dan lebih banyak dibandingkan apa yang sesungguhnya diharapkan untuk dikerjakan (Bass, 1985).
Bass (1985) menjelaskan bahwa untuk menjadi pemimpin transformasional, aspek yang dikerjakan meliputi :
a. Menyadarkan bawahan tentang pentingnya mencapai tujuan/outcomes dan outcome itu bernilai lebih tinggi dibandingkan yang diharapkan bersama;
b. Membujuk bawahan agar bersedia mendahulukan kepentingan bersama guna kepentingan organisasi/kelompok melalui pemenuhan kepentingan sendiri;
c. Menggerakkan bawahan untuk mendapatkan tingkat kebutuan mereka yang lebih tinggi.
Yukl (1994) menyatakan bahwa Bernard M. Bass memformulasikan komponen kepemimpinan transformasional atas 3 (tiga) substansi yang terdiri sebagai berikut :
1. Charisma; Pemimpin mempengaruhi bawahan dengan membangun hubugan emosional yang kuat dan mengidentifikasi pemimpin mereka;
2. Intelletual Stimulation; Pemimpin mengarahkan bawahan untuk mengetahui adanya permasalahan dan melihat permasalahan itu dari perspektif yang berbeda;
3. Individual Consideration; Mengandung pengertian pemimpin memberikan dukungan, membangkitkan semangat dan meningkatkan pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan bawahan.
Namun dalam penjelasan lain (Northouse, 2001; Bass dan Avolio, 1990) menyebutkan bahwa komponen kepemimpinan transformasional terdiri atas 4 (empat) substansi, yaitu :
a. Charisma atau Idealized Influence (Northouse, 2001); Pimpinan menciptakan pengaruh yang kuat atas dirinya mempergunakan hubungan emosional yang dekat dan mengarahkan bawahan mengidentifikasi karakter pimpinan;
b. Inspirational Motivation (Northouse, 2001; Bass dan Avolio, 1990); Pemimpin berusaha mendapatkan ide yang baru guna memotivasi bawahan dan menumbuhkan semangat kerjanya;
c. Intellectuan Stimulation; Pimpinan menstimulasi bawahan agar selalu melakukan inovasi, merubah cara pandang dan cara kerja baru yang lebih baik untuk memahami permasalahan yang sama;
d. Individualized Consideration; Pimpinan membangun hubungan harmonis dengan bawahan, medukung aktivitas bawahan, meningkatkan pengetahun dan ketrampilannya.
Komponen-komponen yang ada dalam kepemimpinan transformasional saling berinteraksi untuk mempengaruhi perubahan sikap bawahan terhadap organisasinya, cara kerjanya dan pandangannya pada pemimpin.

E.2.2. Kepemimpinan Transaksional

Menyitir pendapat Burns, Bass (1985) memandang kepemimpinan transaksional sebagai bentuk pertukaran antara pengahargaan (reward) terhadap pemenuhan kewajiban yang dilakukan bawahan. Kepemimpinan transaksional mengarahkan kebutuhan yang diinginkan dan dibutuhkan bawahan serta mencari tahu bagaimana kebutuhan itu dapat memuaskan bawahan. (Bass dan Avolio, 1990).
Kepemimpinan transaksional memiliki pengaruh yang kuat dimana ketertarikan bawahan pada pemenuhan kebutuhannya dilakukan dengan menjalankan apa yang dibutuhkan oleh pimpinan (Kuhnert dan Lewis, dalam Northouse, 2001).
Komponen kepemimpinan transaksional terdiri atas 2 (dua) substansi utama (Bass, 1985; Yukl, 1994; Bass dan Avolio, 1990; Northouse, 2001) sebagai berikut:
1. Contingent reward/constructive transaction; Hakekatnya adalah terciptanya proses pertukaran pemenuhan kepentingan. Pada proses ini pemimpin memberikan reward/pemenuhan kebutuhan bawahan terhadap aktivitas/pekerjaan yang dinginkan pimpinan.
2. Management by Exception; Pemimpin akan melakukan koreksi terhadap kesalahan bawahan pada periode tertentu. Pada management by Exception Passive, pemimpin melakukan koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan bawahan pada saat akhir proses pekerjaan. Sedangkan Management by Exception Active, pemimpin melakukan koreksi setiap terjadi kesalahan selama proses pelaksanaan pekerjaan.

E.2.3. Laisez Faire

Faktor ini cenderung menunjukkan kondisi dimana tidak didapati adanya pemimpin dalam organisasi. Kalaupun ada kepemimpinan laizer faire cenderung untuk “berlepas tangan dan membiarkan segala sesuatunya berjalan sendiri sebagaimana adanya” (Northouse, 2001).
Tidak banyak penjelasan mengenai tipologi kepemimpinan ini, karena biasanya laiser faire leadership dianggap bukan sebagai tipe kepemimpinan (Northouse, 2001).
Karakteristik laiser faire leadership antara lain adalah sebagai barikut : (Northouse, 2001; Bass dan Avolio, 1990): Pemimpin membiarkan bawahan bekerja semau mereka, pemimpin membiarkan bawahan menggunakan peralatan kerja tanpa standar aturan kerja, pemimpin melepaskan tanggung jawab dan pemimpin tidak berusaha mendukung bawahan untuk mencapai kepuasannya melalui pemenuhan kebutuhan mereka.

F. DIFINISI OPERASIONAL

F.a. TIPOLOGI KEPEMIMPINAN MULTIFAKTOR

F.1. Kepemimpinan Transformational
F.1.1. Charisma, meliputi :
a. Pemimpin selalu berusaha menjaga kepatuhan dan rasa hormat bawahannya;
b. Pemimpin selalu berusaha menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam bekerja dihadapan bawahannya;
c. Bawahan menerima visi dan misi pimpinan tanpa harus bertanya;
d. Pimpinan menilai bawahan bahwa mereka selalu percaya dan mengikuti ideologi yang dianutnya dalam pekerjaan-pekerjaanya;
e. Pimpinan menjadi “model” yang ditiru oleh bawahan dalam berbagai hal yang sifatnya positif dan memberikan efek menguntungkan pada pekerjaan;
F.1.2. Inspiration to Motivation, meliputi :
a. Pimpinan mampu mempergunakan simbol-simbol dan image yang efektif untuk memotivasi bawahan;
b. Pimpinan mampu menunjukkan dan mengarahkan serta mengekspresikan tujuan yang lebih penting dalam kehidupan berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan yang ditekuni;
c. Pimpinan selalu berusaha menemukan cara baru untuk memotivasi bawahan dan membangun ekspektasi yang tinggi serta membangun semangat kerja optimum bawahannya.
F.1.3. Individual Consideration, meliputi :
a. Pemimpin selalu membangun interest bawahan untuk selalu berbuat baik kepada orang lain dan pimpinan sendiri selalu berbuat baik pada bawahannya;
b. Pimpinan memberikan perhatian yang intens kepada masing-masing bawahan;
c. Pimpinan memberikan keleluasaan kepada bawahan untuk turut menyelesaikan kewenangan pekerjaan (delegasi) sehingag mencapai tingkat produktivitas yang tinggi, pimpinan juga menumbuhkan keyakinan bawahan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengetahui apa yang diinginkan dan dipikirkan pimpinan tentang suatu pekerjaan;
d. Pimpinan memberikan perhatian khusus pada bawahan yang dikucilkan kelompoknya dengan interaksi-interaksi yang dapat membangkitkan semangat kerja dan kepercayaan dirinya. Pimpinan juga membangun sistem kerjasama dan interaksi interpersonal dalam organisasi.
F.1.4. Intellectual Stimulation, meliputi :
a. Pimpinan mendorong bawahan untuk mendapatkan cara-cara baru dalam menelaah masalah-masalah lama. Pimpinan juga bersedia menerima ide-ide baru dari bawahan guna memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi organisasi;
b. Pimpinan mengarahkan bawahan memahami nilai-nilai organisasi dan mempercayai organisasinya serta kemudian mengidentifikasi nilai dan kepercayaan tersebut sebagai bagian dirinya sendiri (internalisasi);
c. Pimpinan selalu berupaya mendukung usaha-usaha bawahan dalam mengembangkan cara-cara baru yang efektif guna menyelesaikan pekerjaan dan meningkatkan produktivitas kerja;
d. Pimpinan merangsang bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasinya serta memberikan pekerjaan yang menantang namun menyenangkan kepada bawahannya.
F.2. Kepemimpinan Transaksional
F.2.1. Contingent Reward/Constructive Transaction, meliputi :
a. Pimpinan memberika reward/penghargaan pada pekerjaan-pekerjaan yang memenuhi aturan pelaksanaan pekerjaan. Pimpinan yang melanggar aturan pelaksanaan pekerjaan akan dikenai hukuman;
b. Pimpinan menilai penting untuk memenuhi harapan bawahan, asumsinya, jika harapan bawahan dapat dipenuhi maka ia akan bekerja dengan baik sebagaimana aturan pekerjaan dalam organisasi;
c. Pimpinan memberikan pengakuan dan pengahrgaan pada prestasi kerja bawahan. Wujud pengahargaan dapat berupa fisik/materi maupun immateri.
d. Pimpinan selalu merasa senang bila ia memberikan reward atas hasil kerja bawahan, demikian sebalinya pimpinan akan merasa marah atas buruknya pekerjaan bawahan.
F.2.2. Management by Exception, meliputi :
a. Kepuasan pimpinan terletak pada terpenuhinya standar persyaratan pelaksanaan pekerjaan; Jika selama dalam proses atau diakhir proses pekerjaan tidak terdapat kesalahan, pimpinan akan merasa puas;
b. Pimpinan tidak beupaya dan tidak memotivasi bawahan untuk merubah standar pekerjaan yang telah dan masih dipergunakan guna memperoleh hasil kerja maksimal;
c. Pimpinan selalu memerintahkan bawahan untuk memperbaiki kesalahan selama dalam proses atau diakhir pekerjaan dan menegur kesembronoan bawahan.

F.3. Laisez Faire Leadership/Nontransactional Leadership
a. Pimpinan membiarkan bawahan menjalankan pekerjaanya semau mereka sendiri;
b. Pimpinan membiarkan bawahan mempergunakan peralatan kerja sesuai kemauan mereka tanpa ada standar aturan kerja;
c. Pimpinan melepaskan tanggungjawab terhadap pekerjaan dan organisasinya;
d. Pimpinan tidak berusaha mendukung usaha mencapai pemuasan kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih tinggi.

F.b. MANAJEMEN KONFLIK
F.b.1. Perbedaan Nilai dan Cara mengatasi perbedaan, meliputi :
a. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan atas adanya perbedaan nilai;
b. Mengakui bahwa perbedaan pengalaman mendorong terjadinya inovasi;
c. Mengatasi secara langsung isu/permasalahan untuk memahami sudut pandang yang berbeda;
d. Mengidentifikasi ancaman dan peluang;
e. Tetap berpikiran terbuka dan mengkomunikasikan perasaan secara terbuka;
F.b.2. Mencapai Keuntungan Bersama dan Kesatupaduan untuk mencapai tujuan bersama, meliputi :
a. Membangun hubungan interpersonal (relationship) yang kuat;
b. Fokus pada tujuan yang kongkrit dan tujuan bersama dan fokus pada cara kerja bersama untuk mengurangi konflik;
c. Ikut serta berbagai cara pandang (visi);
d. Beusaha keras untuk mencapai win-win sulotion dan mengidentifikasi bersama-sama permasalahan yang dihadapi;
F.b.3. Memberdayakan Bawahan untuk Meningkatkan Percaya Diri dan Ketrampilan Bawahan, meliputi :
a. Mengadakan musyawarah dan mengatur tata letak musyawarah untuk dapat mengekspresikan ide dan frustrasi;
b. Menunjukkan penghormatan dan penerimaan kepada orang lain sebagai seorang manusia;
c. Menggunakan pendekatan pekerjaan sebagaimana yang diharapkan untuk dipergunakan orang lain;
d. Menyelenggarakan pelatihan ketrampilan kerja.
F.b.4. Menyediakan penghargaan/reward pada keberhasilan kerja dan belajar dari kesalahan yang diperbuat, meliputi :
a. Merayakan keberhasilan yang diperoleh individu;
b. Perencanaan untuk melanjutkan kemajuan;
c. Mengevaluasi cara pemecahan masalah;
d. Menegaskan kembali persetujuan dengan cara mengimplementasikan keputusan;
e. Meninjau feedback mengenai bagaimana konflik telah dpat dimanajemen.







Refferensi :

Cohen, J M., Norman, U T., dan Golsmith, A A., Feasibiilty and Application of Rural Development Participation, A State of The Art Paper, Rural Development Committee, Center for International Studies : Cornel University

Davaudi, S., 1999, What do We Mean by Public Participation ?, Helsinki : Bequest Extranet Meeting – University College London

Esman, M J., Uphoff, N T., 1984, Local Organizations, Intermediaries in Rural Development, London : Cornell University

Feeman, H E., Rossi, P H., 1985, Evaluation, A Systemic Approach 3th edt., London : Sage Publications

Huntington, S P., 1968, Political Order in Changing Societies, New Haven : Yale University Press

Johnston, B F , Kilby, P., 1975, Agricultural and Structural Tranformation : Economic Strategies in Late-Developing Countries, New York

Tidak ada komentar: