Mengenai Saya

Selasa, 30 September 2008

ice breaking pola pikir: OPSI PILKADA LANGSUNG

ice breaking pola pikir: OPSI PILKADA LANGSUNG

OPSI PILKADA LANGSUNG

OPSI PILKADA LANGSUNG
DAN PERUBAHAN PERILAKU POLITIK RAKYAT
Oleh Didik Agus Setyo Prihadiyanto
Untuk publikasi umum


A. PENGANTAR

Demokrasi bukan sekedar banyaknya institusi pemerintah, munculnya banyak lembaga egara egara, meningkatnya kualitas informasi dari media massa dan juga semakin banyaknya peraturan perundang-undangan. Demokrasi dalam masyarakat modern dan bebas yang bertanggung jawab bertalian makna dengan perilaku manusia. Unsur demokrasi yang umum dimengerti adalah perilaku pengambilan keputusan. Pengambilan segala macam keputusan yang menyangkut kebutuhan hidup manusia. Oleh sebab itu, Ravicth (1991) menyatakan bahwa demokrasi adalah rangkaian perilaku dan praktek berbagai norma yang menjelaskan kemampuan rakyat untuk memerintah diri sendiri.
Memerintah diri sendiri dalam konsep di atas bukan bermakna kebebasan individu yang tak terbatas, namun kebebasan dalam sebuah egara kesatuan yang diatur oleh seperangkat perundang-undangan, norma dan etika egara. Kebebasan masyarakat dalam egara demokrasi adalah otonom, mengacu pada kebutuhan-kebutuhan perilaku individu itu sendiri dan kebutuhan perilaku egar dalam ikatan egara kesatuan yang berdaulat.
Semenjak bergulir reformasi, Negara Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan yang sangat mendasar adalah tata cara pemilihan presiden yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya tidak pernah berpikir siapakah presidennya dan apakah presidennya itu terbaikbagi mereka, tiba-tiba harus membuat keputusan sendiri untuk menentukan presiden terbaik bagi dirinya. Masyarakat secara individual harus mencari berbagai informasi berkaitan dengan karakteristik persona calon presiden pilihan mereka dan melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk kemudian menentukan egara s e calon dan berakhir pada penentuan salah satu calon yang dinilai terbaik bagi dirinya. Rangkaian perilaku mengumpulkan informasi, melakukan pertimbangan, menentukan egara s e dan penentuan keputuan dalam konsep psikologi evolusioner terkenal dengan istilah rasionalitas (Bower, 1996). Masyarakat yang mengutamakan rasionalitas selalu berusaha untuk berpikir logis dan analitis dan mampu membangun komunikasi dengan anggota masyarakat lain untuk saling mempengaruhi sehingga dapat disusun kesepatakan bersama ( egara s).
Perubahan kebijaksanaan politik pasca reformasi bahkan makin mengarahkan kesempatan masyarakat untuk meningkatkan aktualisasi dirinya dalam partisipasi politik. Masyarakat diberikan kesempatan lebih besar untuk menentukan sendiri kepala daerah mereka. Kebijakan ini akan sangat berpengaruh pada perubahan perilaku politik masyarakat. Bahkan mungkin berdampak perubahan perilaku egara yang lebih komplek dikarenakan banyaknya keterbatasan sumberdaya berkaitan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.


B PERATURAN PILKADA LANGSUNG DAN PERILAKU ELITE POLITIK

Segala sesuatu yang sifatnya baru cenderung tidak sempurna. Perjalanan waktu biasanya yang akan menyempurnakan kekurangan yang muncul. Namun tidak jarang juga seiring dengan upaya penyempurnaan, terdapat upaya mencari-cari kelemahan dan kekurangannya. Buruknya lagi jika terdapat upaya yang disengaja oleh pihak yang bersangkutan untuk memberikan peluang memperoleh keuntungan bagi dirinya secara sepihak. Fenomena tersebut tentu juga mewarnai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia saat ini. Walaupun diharapkan juga tidak terdapat upaya mencari-cari kekurangan demi keuntungan sepihak.
Tahap perencanaan memuat hal yang paling mendasar yaitu penyusunan peraturan perundangan yang mengatur segala sesuatu perbuatan egar yang terkait dengan pelaksanaan pilkada. Pertanyaannya adalah sudah siapkah peraturan pelaksanaan pilkada yang disusun oleh pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pilkada langsung ?
Undang-undang yang khusus mengatur mengenai pelaksanaan pilkada langsung sampai dengan saat ini belum pernah disusun. Peraturan yang dapat dipergunakan sebagai rujukan pelaksanaan pilkada hanyalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahaan Daerah. Undang-undang itupun belum memperoleh kajian kembali secara seksama untuk melihat kekurangan yang ada.
Jika peraturan yang mengatur pelaksanaan pimilihan presiden dan wakil presiden saja masih terdapat kekurangan, apalagi peraturan yang mengatur pilkada. Kedua peraturan ini disusun bersamaan dan ditetapkan pada akhir masa jabatan presiden Megawati Sukarnoputri. Ketika presiden pada saat itu menetapkan beberapa peraturan, sesungguhnya dalam hati beberapa anggota masyarakat muncul egara berkaitan dengan batas waktu kewenangan yang dimiliki presiden untuk menetapkan keputusan penting kenegaraan. Polemik ini tentu juga dapat muncul manakala kepala daerah yang egara habis masa jabatannya masih berwenang menetapkan peraturan daerah khususnya yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Masyarakat pasti akan bertanya-tanya tentang adanya kemungkinan tersembunyi yang disengaja dengan tujuan agar dapat memperbesar peluang terpilih kembali.
Pasal 58 point e Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang syarat sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksanaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter harus dikaji dan dijabarkan secara rinci. Pengalaman pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden beberapa waktu berselang menyebabkan sedikit masalah egar berhubungan dengan persyaratan ini. Rincian karakteristik orang sehat yang layak mencalonkan diri sebagai pasangan pimpinan daerah mencakup egara apa saja. Apakah orang yang menderita penyakit gula akut, walaupun yang bersangkutan masih dapat melakukan aktivitas dapat dianggap tidak sehat. Ataukah orang sehat yang memiliki trauma dalam perjalanan hidupnya masa lalu dan sewaktu-waktu muncul sehingga dapat sedikit mengganggu individu tersebut dalam beraktivitas dapat digolongkan sebagai orang tidak sehat.
Kemudian pada pasal yang sama point h yang menyebutkan calon kepala daerah harus mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya juga perlu disusun karakteristiknya. Ciri-ciri seseorang mengenal daerahnya mencakup permasalahan apa saja. Apakah jika seseorang telah mengerti potensi sumberdaya alam suatu daerah, maka orang tersebut dapat dimasukkan sebagai salah satu orang yang mengenal daerahnya. Apakah seorang calon kepala daerah juga harus mengenal kebiasaan-kebiasaan perilaku tertentu anggota masyarakat daerahnya semisal pada egara A kecamatan A penduduknya agresif dan mudah tersinggung. Masyarakat egara D kecamatan A memiliki kebiasaan seksual yang menyimpang (lokasi wisata lacur tersembunyi atau bertukar istri dalam pemenuhan kebutuhan seksual). Dan sebagainya karakteristik khusus dalam sebuah masyarakat komplek.
Peraturan tentang calon kepala daerah apakah juga harus memuat jumlah kekayaan tertentu yang harus dimasukkan yang bersangkutan kepada egara/kas daerah sebagai jaminan bagi pelaksanaan kebijakannya kelak jika terpilih. Selanjutnya ditentukan pula kapan calon yang masih aktif sebagai pegawai negeri/swasta harus mengundurkan diri dari pekerjaannya tersebut. Jika calon kepala daerah memiliki usaha haruskah calon tersebut melepaskan/mengalihkan kepemilikan usaha itu dan kepada siapa. Peraturan ini tentu harus rinci dan benar-benar dinilai baik oleh masyarakat sehingga ada kalanya diperlukan referendum untuk menjaring pendapat dan keinginan masyarakat.
Sementara itu, dibalik kekurangan dan kelemahan peraturan yang mengatur pelaksanaan pilihan kepala daerah secara langsung, elite politik dan bahkan calon-calon kepala daerah berperilaku kurang dapat dicontoh oleh masyarakat.





Belum selesai……………..






DAFTAR PUSTAKA

Bower, B. 1996. Rational Mind Design : Research into the Ecology of Though Treads on Contested Terrain. Science News, 150, 24-25

Ravicth, D. 1991. What is Democracy ? USA : United States Information Agency

Undang undang Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : BP. Cipta Jaya

PENGUBAHAN SIKAP INDIVIDU DALAM MASYARAKAT

PENGUBAHAN SIKAP INDIVIDU DALAM MASYARAKAT
(UPAYA MINIMALISASI KORUPSI DALAM TUBUH BIROKRASI)

Oleh : Didik Agus Setyo P.



I. PENDAHULUAN

Kita, dan hampir seluruh masyarakat Indonesia sering mengetahui bahkan menemui sendiri perilaku jahat yang dilakukan oleh oknum (sebagai pembenar) birokrasi. Bahkan karena seringnya orang membicarakan perilaku jahat itu, masyarakat salalu ogah-ogahan memberikan respon. Kalaupun bersedia memberikan respon biasanya hanya sekedar membicarakannya dan tanpa ekspresi. Lihat saja hasil penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 1999 yang berbasis di Hongkong, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan tingkat Korupsi Tertinggi (skor 9,91) dan sarat dengan Kroniisme (skor 9,09). Jauh dibawah Thailand yang berkisar antara 6,5 sampai dengan 7,5.
Demikian juga laporan Jurnal Masyarakat Transparansi Indonesia edisi 18 Maret 2000, disebutkan bahwa ekspatriats sebagai responden penelitian mempersespikan masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang terdekat.
Bahkan pada masyarakat, dimana didalamnya kita berada, sering mengalami perilaku jahat dari birokrasi. Mengurus pembuatan KTP yang lama, mengurus IMB dapat dipercepat penyelesaiannya asal bersedia membayar dalam jumlah yang lebih besar dari pada ketentuan yang berlaku, megurus sertifikat tanah yang terlalu bertele-tele (yang pimpinannya keluar kotalah, arsipnya ketlisut, petugasnya baru pergi; sementara sebagian dari mereka asyik ngobrol atau baca koran).
Maka sebenarnya misteri apa yang menyelimuti sikap masyarakat sehingga mereka atau kita lebih suka berperilaku datar, dingin dan tanpa ekspresi memperoleh stimuli jahat itu. Apakah karena kita sendiri menyadari bahwa kita juga terkadang berperilaku yang substansinya hampir sama, kita sudah bosan ataukah kita telah mencapai derajad frustrasi sosial yang jenuh. Akhirnya, upaya apa yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki sikap kita sebagai individu dalam konteks interaksi sosial terhadap perilaku jahat oknum birokrasi sehingga individu mampu memberikan respon perilaku yang bermuara pada perbaikan perilaku birokrasi di negara ini.


II. PERMASALAHAN

Dengan mendasarkan asumsi sementara pada pengantar diatas, kita akan mencoba menarik permasalahan penting sebagai berikut :
1. Keterpasungan perilaku individu selama lebih dari 30 tahun membawa akibat membusuknya sikap individu (dari upaya-upaya perbaikan moralitas lingkungannya);
2. Sikap Individu saat ini di Indonesia dan model upaya pengubahan sikap sebagai starting point pembentukan perilaku perlawanan terhadap korupsi di dalam birokrasi.


III. PENGERTIAN

Birokrasi
Birokrasi, dalam bayangan kita tak ubahnya sebagai seekor gurita raksasa yang dirancang secara jenius namun dikerjakan oleh banyak orang tolol. Perkerjaan birokrasi merupakan sebuah mesin yang bergerak teratur dan lamban, terpecah menjadi banyak bagian dan hierarkis serta monopolistik sehingga menciptakan kesempatan berperilaku curang dan penyelewengan serta selalu diatur oleh hukum, tata cara dan kontrol internal yang tak ada habisnya.
Anggapan diatas merupakan ide, uangkapan yang umum ditemui dalam masyarakat di negara berkembang. Ide menilai birokrasi sebagai kolektivitas pemerintahan yang lamban, sering menyeleweng, curang, mementingkan diri sendiri, tidak responsif dan tidak mampu menampung perubahan serta tidak inovatif.
Osborne dan Plastirk menyimpulkan bahwa Ada keyakinan yang meluas bahwa pemerintah hanyalah melayani diri sendiri, tidak efisien dan efektif. Respon ini menunjukkan kemarahan yang mendasar, namun sentimen negatif ini telah lama dijadikan bukti untuk memberi ciri kepada mereka yang pemarah. Barangkali kebendian dan frustrasi yang mendalam ini merupakan penjelasan untuk kondisi kejiwaan masyarakat dewasa ini.

Kepribadian Manusia Indonesia
Masalah, dimanapun tempatnya, timbul sebagai akibat tidak tercapainya kualitas (ideal) manusia. Kualitas ideal manusia digambarkan sebagai karakteristik terbaik yang diharapkan ditampilkan oleh manusia dalam perilakunya sehari-hari. GBHN RI selalu menyebutkan karakteristik manusia Indonesia Seutuhnya adalah serba berkesinambungan dan selaras dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan bangsa-bangsa lain dan dengan alam lingkungannya. Dengan demikian kualitas manusia Indonesia seharusnya mampu membentuk perilaku individu berkaitan dalam hubungannya dengan Yang Memiliki Idee Tertinggi, hubungannya dengan sesama manusia, hubungannya dengan bangsa-bangsa lain serta hubungannya dengan alam lingkungannya.
Ketidak selarasan hubungan akan mengakibatkan fenomena agresi sebagai bentuk kondisi psychological disorder. Pada akhirnya Agresi akan menyebabkan frustrasi pada kelompok yang dikenai.
Freud menyebutkan frustrasi sebagai gejala kejiwaan yang diakibatkan dihambatnya dorongan untuk mencapai kepuasan dan membiarkan terlepasnya dorongan erotik.
Lebih lanjut Dollard. Dkk. menyatakan bahwa frustasi mampu membentuk kesatuan sinergi (dari kelompok terkena agresi) yang sewaktu-waktu dapat mengejawantah / terimplementasi dalam bentuk pelampiasan (displacement) dan proyeksi prasangka pada kelompok agresor.
Pada realitas hubungan sosial, agresor merupakan peta kekuatan yang tak terlawankan. Kalaupun tidak, agresor disimbolkan sebagai agen yang mampu memberikan punishment pada diri subyek terkena agresi, sehingga bahkan untuk menunjukkan aktualisasi dirpun dirasakan terdapat larangan.
Agresi yang mengenai suatu kelompok akan berfungsi sebagai rangsangan/stimuli yang memicu timbulnya respon. Respon bisa jadi berujud perlawanan terbuka dan memunculkan protes, kekerasan, anarkhisme, perkelahian bahkan perang antar kelompok. Namun perlawanan bisa mersifat tertutup, sebagai akibat direpresikannya dorongan untuk memberontak, protes atau bahkan menghindari terjadinya kekerasan phisik.
Paling tidak terdapat 2 faktor penyebab terjadinya perlawanan sebagai bentuk meredakan frustrasi, yakni :
1. Kondisi internal, yakni kondisi pribadi subyek, merasa kecil/tidak mampu, mudah mengalah dan menerima kekalahan sebagai sesuatu yang wajar, subyek lebih menyukai menghindar dari konflik. Biasanya individu ini lebih sering mengeksplorasi perlawanannya dalam bentuk fantasi perlawanan (day-dreams).
2. Kondisi eksternal, yakni kondisi lingkungan. Meliputi besarnya fasilitasi sosial untuk melakukan perlawanan, konformitas sosial dan prososial dan tingkat kepatuhan individu pada kelompok atau tata cara yang berlaku.
Gagalnya upaya perlawanan terhadap agresi dapat menimbulkan perilaku agresi baru yang berwajah lain karena respon agresi itu dipelajari selagi individu itu berproses dalam sosialisasi. Namun perlu ditekankan bahwa tidak semua frustrasi dapat menimbulkan agresi baru.
Kembali kepada karakteristik manusia Indonesia, M Alwi Dahlan menyebutkan bahwa kualitas manusia Indonesia diukur dari Kondisi Fisik meliputi kesegaran jasmani, kesehatan dan daya tahan fisik; selain Kondisi Fisik kualitas manusia Indonesia juga diukur dari Kondisi Non Fisiknya, yang terdiri dari beberapa faktor berikut :
1. Kualitas Kepribadian, yakni kecerdasan, kemandirian, kreativitas, ketahanan mental, dan keseimbangan antara emosi dan rasio;
2. Kualitas bermasyarakat, yakni keselarasan hubungan sesama manusia;
3. Kualitas Spiritual dan moralitas;
4. Kualitas Kekaryaan, yakni kemampuan untuk berprestasi tinggi;
5. Kualitas Berbangsa, tingkat kesadaran berbangsa dan bernegara;
6. Kualitas Lingkungan, Kemampuan individu untuk mengembangkan lingkungannya.
Harus diakui bahwa rata-rata kepribadian bangsa Indonesia pada banyak kasus belum mampu mencapai ukuran ideal sebagaimana tersebut diatas. Oleh sebab itu perlu pula upaya membangun kepribadian manusia Indoensia yang ideal dan baik. Pada upaya pengembangan kepribadian manusia Indonesia, perlu diketahui aspek yang berpengaruh yakni faktor genetika, stimulasi, lingkungan, dan kurun waktu kejadian. Fungsi stimulasi genetika, lingkungan dan kurun waktu kejadian diharapkan memberikan perubahan pada baik organisme maupun perilaku.













Gambar 1. Perubahan Kepribadian


Korupsi
Merupakan perilaku orang dan atau sekelompok orang yang dengan sengaja mempergunakan segala sesuatu yang bukan haknya, tidak atas persetujuan yang berhak, serta tidak mempertanggungjawabkan penggunaannya. Korupsi bisa pula berarti perilaku penyelewengan atas benda/harta negara/instansi untuk kepentingan sendiri.
Korupsi lahir sebagai penjelmaan atas ketimpangan kepribadian manusia sebagai akibat terdeferensiasinya kepentingan dan informasi ke dalam diri dan lemahnya kontrol superego terhadap id.
Dalam berbagai kasus besar, korupsi merupakan perilaku bayak orang dalam banyak hierarkhi yang tidak dapat dicari ujung pertama pelakunya dan ujung akhirnya. Dengan begitu korupsi terangkai dalam jalinan yang berkesinambungan, tidak terputuskan dan sangat kuat.
Korupsi dalam perkembangannya tidak hanya berupa penyelewengan atas sejumlah barang dan/atau uang semata, namun juga dapat berupa informasi, tingkat pelayanan publik, waktu bahkan kepercayaan orang lain.
WJS Purwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian Korupsi sebagai “Perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya)”.

Sikap
Adalah merupakan cara individu mengungkapkan suasana hati kepada orang lain. WJS Purwadarminta mengartikan sikap sebagai “Perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian, pendapat atau keyakinan”. . Sedangkan Kartini Kartono mengasumsikan sikap/attitude/pendirian sebagai “kecenderungan untuk memberi respon baik positif maupun negatif kepada orang lain, benda-benda atau situasi-stuasi tertentu” (kamus Psikologi, DR. Kartini Kartono & Dali Gulo).
Dengan demikian sikap adalah merupakan cara mental individu untuk melihat dari dalam diri sebagai sebuah isyarat yang berpusat pada perhatian terhadap faktor-faktor lingkungan. Stimulasi positif lingkungan akan memberikan pancaran mental individu yang positif kepada orang atau benda lain. Sementara stimlulasi negatif akan mengakibatkan goncangan diri dan membentuk sikap negatif yang ditantang untuk melakukan perubahan kearah pembentukan pancaran individu yang positif.
LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai “….., tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan” .
Sementara Secord dan Backman (1964) mendefinisikan sikap sebagai “Keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dari lingkungan sekitarnya”
Dari pengertian tersebut diatas, paling tidak, dapat dipahami bahwa sikap merupakan penilaian mental individu terhadap stimuli lingkungan sosialnya berupa kecenderungan untuk berperilaku. Sikap individu sedikitnya dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek yaitu :
a. Perasaan (afeksi) individu terhadap obyek/stimuli;
b. Pemikiran (kognisi) antara lain terdapat pengetahuan yang dipelajari dan pengalaman individu yang disimpan dalam memori;
c. Predisposisi tindakan, yakni kecondongan atau kecenderungan untuk mereaksi dengan satu cara tertentu.

Maka berasumsi dari adanya pengaruh afeksi, kognisi dan predisposisi, perubahan/pembentukan sikap manusia terhadap stimuli digambarkan dalam skema berikut :
AFEKSI R. Saraf

STIMULUS SIKAP KOGNISI RESPONS R. Verbal
(Obyek) (Perilaku)
PREDISPOSISI R. Aktivitas


IV. PEMECAHAN MASALAH

A. Keterpasungan dan Pembusukan Sikap
Lebih dari 30 tahun berlalu, kehidupan di Indonesia berada dalam alam kemerdekaan yang dibelenggu. Individu-individu yang memiliki hak atas kemerdekaan berperilaku baik verbal maupun aktivitas selama itu dipasung sehingga yang tampak adalah homogenitas sosial yang berisi ratusan juta individu dengan berbagai macam heterogenitasnya.
Setiap kali, salah satu dari sekian banyak individu diantara kita menemukan perilaku korupsi dimanapun tempatnya, terutama di jajaran birokrasi, maka sudah hampir dapat dipastikan individu ini akan dikucilkan, dijebloskan ke penjara dengan berbagai upaya yang (katanya) didasari atas hukum.
Pada waktu itu, harus diakui, untuk memperoleh informasi yang mendekati akurat mengenai data-data perbuatan korupsi memang sangat sulit. Boleh dibilang, semua akses informasi berada dalam kendali kekuasaan birokrasi. Alhasil, tidak ada seorangpun anggota masyarakat yang mampu mendekati dan berkompromi dengan pusat-pusat informasi.
Rentang kendali yang sangat luas dan besar dari birokrasi hampir menyentuh semua urat nadi kehidupan individu. Sehingga pada saat itu, bukannya individu-individu dalam masyarakat yang mampu mempressure birokrasi, namun justru birokrasi-lah yang menekan individu.
Sebagai sebuah robot yang kokoh dan kuat, birokrasi pada waktu itu merupakan mesin yang mampu melindungi kepentingannya sendiri dan menjaga keamanan orang-orang didalamnya dari ancaman lingkungan luarnya. Sungguh luar biasa memang, kekuatan birokrasi waktu itu. Bahkan sikap individu di luar lingkungannya dapat dipersuasi menjadi kecemasan dan ancaman.
Kondisi kejiwaan individu dalam masyarakat Indonesia dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun yang baru lalu secara sederhana dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut :


















Gambar 3. Analogi Frustrasi Akibat Ancaman Birokrasi
(Diolah oleh Didik Agus Setyo P. dari berbagai sumber, 2001)


Skema di atas menggambarkan betapa sulitnya individu-individu di dalam masyarakat mengekspresikan sikap anti korup terhadap birokrasi pada lebih dari 30 tahun yang lalu.
Sikap Individu yang anti korup diancam melalui persuasi yang merupakan andalah birokrasi untuk melindungi dirinya. Akibatnya sikap anti korup tidak dapat berkembang, individu merasakan adanya ancaman atas sikap mereka. Ancaman-ancaman ini dirasakan tidak nyaman/tidak mengenakkan sehingga individu merepresi ancaman tersebut. Semakin banyak ancaman direpresi oleh individu, makin besar kemungkinannya individu mengalami frustrasi sosial yang kronis.
Sebaliknya, apabila individu memaksakan untuk mengekspresikan sikapnya, attitudnya atau pendiriannya, maka individu akan dikenai ancaman hukuman atas perilakunya. Perilaku baik verbal maupun non verbal atas perlawanan terhadap indikasi stimuli korupsi yang dilakukan birokrasi, sepanjang itu dirasakan mengganggu dan bahkan membahayakan birokrasi, maka selalu akan berproses dalam wacana hukum.
Seseorang secara mental jika merasa dirinya terancam secara hukum maka dia akan berada pada ketakutan yang sangat. Ketakutan dalam diri individu akan mengarah pada terciptanya frustrasi yang berat. Ketakutan terutama yang direpresikan akan sangat mengganggu mentalitas individu dan memiliki kecenderungan terciptanya abnormalitas.
Kemudian, seorang individu yang jelas-jelas dikenai hukum sudah barang tentu akan merasa tertekan, terancam, bahkan tragisnya, kelak ia akan dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Maka dapat pula dipastikan individu pada stage ini akan mengalami depresi mental yang berat.
Yang menjadi masalah adalah apabila seseorang telah mengalami beberapa kali ancaman dan atau hukuman, maka dia tidak lagi mempersepsikan itu sebagai sebuah punishment, sebaliknya individu mempersepsi itu sebagai reward atau sesuatu yang menyenangkannya. Akibatnya, individu yang demikian ini justru menikmati dan merasa memperoleh kepuasan, maka akan sulit bagi orang lain untuk mengakomodir sikap dan kecenderungan perilakunya dalam sebuah wahana organisatoris anti korupsi.
Jika kita menengok ke masa lalu, maka banyak produk hukum yang lemah dan diciptakan produk hukum baru sebagai pelengkap yang didalamnya masih juga terdapat produk-produk hukum yang memberikan peluang/kesempatan korup. Salah satu contoh adalah hak imunitas pejabat negara dari jeratan hukum.
Pada perkembangan lanjut, bahkan, pelaku hukum mulai mengembangkan pola perilaku baru untuk menyelamatkan target hukum atas birokrat korup dengan mengkondisikan si target sakit, dan sebagainya.
Upaya-upaya birokrasi yang dibuat “legal” untuk mengancam, membuat takut dan menciptakan depresi individu dalam masyarakat telah pula melahirkan stereotip bahwa individu anti korup itu tidak baik, membahayakan diri sendiri, menciptakan frustrasi diri yang bisa berakibat abnormalitas phisik dan psikis.
Dalam kata lain “kebijakan birokrasi” pada waktu itu telah membelenggu sikap individu sehingga tidak terjadi perilaku anti korupsi. Akibatnya, sikap-sikap anti korupsi yang tumbuh tidak dapat hidup, mengalami kematian segera, dan membusuk dalam negara yang berideologikan demokratisasi.

B. Model Pengubahan Sikap Individu kearah Anti Korupsi
Telah ditelaah dimuka bahwa lebih dari 30 tahun lalu, individu-individu di negara Indonesia ini mengalami pembelengguan atas sikap antikorup. Akibatnya perilaku antikorup-pun tidak dapat termanifestasikan dalam rangka society-control/citizen control terhadap terciptanya good governance/birokrasi.
Akibatnya sikap yang semula antikorup berangsur-angsur tidak acuh terhadap semua fenomena korupsi birokrasi. Individu lebih menyukai diam, mungkin tidak menciptakan sikap/pendirian dalam dirinya terhadap fenomena korupsi. Individu lebih mencintai diri dan kesibukannya untuk mengejar sejumlah materi dan itu membuat mereka lebih berbahagia.
Yang menjadi tugas kemasa depan adalah bagaimana menciptakan pembaharuan kondisi yang memungkinkan terciptanya kembali sikap antikorupsi yang kritis dari sejumlah besar saja individu dalam masyarakat kita. Tidak perlu semua orang memiliki sikap anti korupsi, karena keseluruhan adalah harapan ideal saja. Model pengubahan sikap individu yang bagaimana hingga bisa memunculkan kembali sikap antikorup yang sempat memudar, mengembalikan kembali perilaku citizen control terhadap terciptanya good governance.
Telah kita ketahui bahwa sikap dipengaruhi oleh komponen afektif, kognitif dan konatif. Mann (1969) mengasumsikan bahwa komponen kognitif berisikan persepsi, kepercayaan dan stereotip yang dimiliki individu mengenai obyek . Oleh karena dalam aktivitas ini adalah pengubahan sikap kembali kepada sikap yang pernah ada sebelumnya dan membutuhkan penguatan (empowering), maka dibutuhkan penemuan kembali persepsi, pembangunan kembali kepercayaan diri atas moralitas dan hukum serta pembentukan stereotif positif diri bahwa diri individu adalah bagian citizen control yang memiliki akses menciptakan good governance, sikap dan perilaku anti korup baik, dan tidak membahayakan diri serta tidak ada ancaman apapun selama memiliki data akurat.
Komponen afektif adalah pembentukan kembali perasaan diri individu untuk menyelamatkan negara dari kehancuran akibat ulah oknum birokrasi yang korup. Menciptakan kembali perasaan bersalah jika mengetahui, memiliki data akurat atas perilaku korup namun tidak melaporkan dan memberitahukannya kepada publik.
Komponen konatif adalah membentuk evaluasi atas data akurat, temuan perilaku korupsi dan menyusun rencana respons sebagai susunan alternatif perilaku yang rasional-logis-berdedikasi dan bermoral.
Maka kemudian skema pengubahan sikap yang diharapkan terjadi adalah sebagai berikut :





















Gambar 4. Skema Pengubahan Sikap
(Diolah dari berbagai sumber oleh Didik Agus Setyo P.)


Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi pengubahan sikap individu dalam meminimalisasi korupsi antara lain :
a. Pemberdayaan kontrol individu, bahwa masyarakat terdiri atas banyak individu. Semakin banyak individu yang mengembangkan sikap anti korup dan memanifestasikannya dalam bentuk kontrol sosial, maka upaya minimalisasi korupsi setingkat lebih dapat diperjuangkan;
b. Pemberdayaan individu dalam mengakses informasi sebanyak mungkin;
c. Sistem pendidikan yang secara psikologis mendidik individu memiliki sikap positif terhadap upaya pemberantasan korupsi;
d. Memaksakan realitas bahwa birokrasi adalah alat untuk mensejaherakan individu-individu dalam masyarakat;
e. Memberdayakan sikap individu untuk bisa berperilaku agar mengerti lebih banyak tentang hukum dan moralitas;
f. Adanya perlindungan hukum yang pasti bagi individu/informator;
g. Terdapatnya lembaga independen yang mampu menindaklanjuti temuan individu mengenai tindak korupsi dan mampu pula melakukan persuasi kepada anggota masyarakat lain untuk merubah sikap mereka dan kemudian berperilaku memusuhi tindak korupsi.

Kapan kita dapat memulai pengubahan sikap kearah anti korupsi ? Jika pertanyaannya adalah demikian, jawabannya adalah semakin cepat individu dapat mengamalkannya, semakin baik dan semakin banyak harta negara, hak individu yang dikuasai negara, dapat diselamatkan.
Memang, semenjak bergulirnya reformasi, banyak kasus dugaan korupsi yang dapat dijerat hukum. Namun sekali lagi, dengan beberapa dalih hukum pula para tersangka ini dilepas begitu saja dari peradilan. Contoh nyata adalah kasus dugaan manipulasi Joko S Candra (kasus Bank Bali), yang dilepas hanya karena alasan transaksi yang dilakukan Joko S Candra merupakan perkara perdata dan tidak dapat diadili dalam sidang perkara pidana.
Menyikapi kenyataan tersebut sangat jelas bahwa rantai pelaku korupsi mengimbas pula ke wacana hukum. Sehingga dengan demikian benar-benar perlu adanya lembaga independen anti korupsi yang mampu mengakomodasi informasi, mencari data dan fakta dan menindaklanjutinya serta mampu mempersuasi individu-individu dalam kesatuan masyarakat majemuk hingga terbentuk kembali sikap anti korupsi dan memunculkan keberanian berperilaku anti korupsi.
Umar Kayam mengingatkan bahwa korupsi sulit diberantas karena telah membudaya dikalangan masyarakat Indonesia . Namun kendala itu bukanlah lalu menyebabkan korupsi tidak mungkin diberantas. Jika sedikit-dikitnya separo saja dari jumlah individu masyarakat Indonesia memiliki sikap keras, tegas, tidak pandang bulu, mengedepankan terciptanya birokrasi yang bersih dengan mereduksi rasa sungkan dan ewuh pekewuh.
Pada dasarnya, individu selalu menginginkan kepuasan atas sikap dari stimuli yang diperolehnya. Oleh sebab itu, jika sikap yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku individu untuk melawan korupsi terbukti menguntungkan dan memberikan kepuasan kepada mereka, tentu mereka akan dengan senang hati melakukan perilaku yang sama. Semakin besar individu merasa puas dengan perilakunya itu, semakin besar pula keinginan mereka untuk berperilaku, semakin inovatif pula sikap individu yang dapat diwujudkan dalam perilaku yang tampak (overt behavior).
Pondamen derajad keberhasilan minimalisasi korupsi memang bukan hanya dipengaruhi pengubahan sikap individu-individu dalam masyarakat Indonesia, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku aparat birokrasi itu sendiri serta juga keseriusan birokrasi dalam membersihkan dirinya dari perilaku korupsi.
Jika ketiga komponen mampu melakukan perubahan sikap ke arah upaya pemberantasan korupsi, maka akan terbentuk sikap bangsa yang anti korupsi. Dalam skema hubungan antar variabel, terlihat sebagai berikut :



















Gambar 5. Hubungan antar variabel dari sikap yang telah berubah
(Diolah dari berbagai sumber oleh Didik Agus Setyo P.)

V. KESIMPULAN
Sikap individu sebagai bagian dari masyarakat indonesia terhadap perilaku korupsi aknum birokrasi selama lebih dari 30 tahun ini terbelenggu. Keterpasungan sikap menjadikan tidak adanya perilaku yang sungguh-sungguh dari individu-individu untuk melawan korupsi birokrasi.
Keterpasungan sikap dan perilaku selama kurun waktu itu sengaja diciptakan oleh birokrasi untuk menciptakan rasa aman bagi diri dan kroninya, sehingga perilaku korup mereka aman, tidak diganggu dan berjalan lancar. Pemasungan sikap antikorup yang dilakukan birokrasi antara lain dengan persuasi ancaman (tidak memperoleh pelayanan publik secara wajar, penculikan, pemutusan informasi, dan sebagainya). Lebih jauh lagi brokrasi sering memberikan ancaman hukum kepada individu yang bersikap apalagi berperilaku anti korupsi tanpa didasari data dan fakta akurat. Sementara semua akses informasi dikuasai oleh birokrasi secara pampat.
Selanjutnya seiring dengan bergulirnya reformasi, semua individu dalam masyarakat memiliki kesempatan yang sama luas untuk mengakses informasi. Oleh sebab itu sudah saatnya dibangun kembali sikap-sikap individu antikorupsi.
Pengubahan sikap individu anti korupsi dipengaruhi oleh komponen afeksi yakni perasaan untuk menyelamatkan negara dan tanggung jawab moralitas sebagai individu yang taat hukum dan kepedulian atas welfare citizen. Komponen kedua adalah Kognisi yakni empowering persepsi, kepercayaan dan stereotif positif untuk meminimalisir perilaku korup birokrasi. Komponen ketiga adalah aspek konasi yakni predisposisi tindakan berupa konsep, rencana dan alternatif abstrak untuk berperilaku melawan korupsi yang secara faktual dan ditemukan adanya data yang akurat.
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi efektivitas pengubahan perilaku antara lain adalah keleluasaan kontrol sosial, sistem pendidikan, keluasan akses informasi, pemahaan hukum dan moral. Dengan demikian Media massa memiliki pengaruh pula secara signifikan dalam pengubahan sikap individu.
Keberhasilan meminimalisasi korupsi melalui pengubahan sikap ditentukan oleh semakin cepatnya starting point pengubahan sikap itu sendiri. Yang akan menjadi masalah seberapa besar konsistensi individu untuk secara tetap melakukan inovasi sikap anti korupsi. Sebab bisa jadi individu merasa tidak puas untuk selalu berada dalam stimuli tenang dan anti korup, dalam arti terkadang individu juga mengharapkan terjadinya konflik dan perilaku immoral.
Akhirnya, mentalitas dan lingkungan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan berhasil atau tidaknya upaya pengubahan sikap individu. Jika berhasil maka perilakunya akan bernilai moral “baik – seperti yang diharapkan oleh individu-individu lain (persona/superego)”. Sementara jika mentalitas dan lingkungan gagal melakukan pengubahan sikap individu maka akan bernilai “negatif – melawan harapan individu-individu lain dalam masyarakat”.


-----Yogyakarta, Oktober 2001.








DAFTAR PUSTAKA

KEPUSTAKAAN :

Alwi M Dahlan, Membangun Martabat Manusia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1992;

A.J. Dollard, IW. Dobb, NE Miller & RR Sears, Frustration and Agression, New Haven, Coun Yale Unversity Press;

Bob Widyahartomo, MA, Artikel : Good Governance dan Empowerment dalam Era Reformasi, Website : News Indonesia SuratkabarCom;

David Osborn dan Peter Plastirk, alih bahasa : Abdul Rosyid, Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Jakarta, Penerbit PPM, 2000;

Kartini Kartono, Dr., dan Dali Gulo, Kamus Psikologi, Bandung, Pioner Jaya, Maret 2000;

Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1999;

Saifuddin Azwar, MA, Drs., Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2000;



JURNAL DAN ARTIKEL INTERNET :

Jurnal Transparansi online, Website Masyarakat Transparansi Indonesia, Edisi 18 Maret 2000;

-----, Edisi 20 Mei 2000;

-----, Edisi Juli 2000;

Muhd. K Salim, Artikel : Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Website Masyarakat Transparansi Indonesia, Pekanbaru, Oktober 2000;

Syaifuan Rozi Soebhan, Artikel : Model Reformasi Birokrasi Indonesia, PPW LIPI, 2000.
IMPROVEMENT KAWASAN SLUMS DAN SQUATTERS DI PERKOTAAN


ACUAN :
Kumorotomo, W., Darwin, M., dan Faturochman, 1995, The Implementation of Slums and Squatters Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta, Jurnal Populasi, 6 (2), 1995


PENDAHULUAN

Pembangunan kawasan selalu berorientasi pada penyediaan infrastruktur fisik. Umumnya, infrastruktur fisik perkotaan selalu berkutat masalah suplai air bersih, sanitasi, perawatan jalan dan suplai tenaga listrik (Devas, et al, 1993, p.136). Kesalahan perencanaan dan pembangunan fasilitas drainase sering mengakibatkan bencana kekurangan air bersih maupun bencana banjir.
Meski demikian, masalah yang selalu menjadi kendala baik di masyarakat perkotaan maupun pedesaan hampir disemua negara adalah permasalahan perumahan, pelayanan kesehatan, pelayanan oleh aparat pemerintahan (human service), isue etnik, agama, kelas sosial-ekonomi, kesetaraan gender dan eksploitasi anak-anak. Apalagi dinegara berkembang di Asia Tenggara yang memiliki heterogenitas tinggi permasalahan tersebut. Indonesia adalah yang paling kaya dalam kepemilikan perbedaan Etnik, Agama, strata, value tentang gender dan eksploitasi anak dibawah umur.
Cepatnya perubahan sosial tersebut merupakan konsekuensi proses pembangunan dengan istilah modernisasi, industrialisasi dan ilmu dan teknologi yang membawa perubahan pola pikir dan pola perilaku masyarakat , sebagaimana pendapat Clark yang dikutip oleh Purwanita Setijanti(Setijanti, 2001, pp. 1-1).
Meski disadari bahwa ujuan dinamika sosial yang demikian cepat itu adalah terciptanya masyarakat-kesejahteraan (re-establishing the welfare-citizenship), yaitu pendekatan humanity, equity, progresive redistribution, caring and socal justice, sebagai pertanda masyarakat berkesejahteraan. ( Ife, 1996, p. 5) dan masyarakat setuju serta berbagi kepercayaan bahwa komunitas adalah unit untuk memecahkan berbagi variasi yang ada dalamnya (Durning, 1989 dalam Checkoway, 1995 p. 1) namun disadari pula bahwa tujuan ideal tersebut tidak dapat dicapai sesuai dengan harapan. Selalu ada kekurangan dan kelemahan pada akhir program pembangunan.

PENGERTIAN KUMUH (SLUMS) DAN LIAR (SQUATTERS)

Masyarakat umumnya menggeneralisasi istilah kumuh dan liar itu sebagai satu kesatuan bentuk makna meliputi (Kumorotomo, et al., 1995. p. 34):
a. Menempati wilayah orang lain tanpa ijin;
b. Tinggal di rumah yang bobrok dan padat;
c. Biasanya hidup dibawah garis kemiskinan.
Namun ditekankan oleh Kumorotomo dkk. bahwa ada perbedaan krusial antara lingkungan kumuh (slums) dengan lingkungan liar (squatters). Squatters adalah suatu bagian wilayah atau bagian bangunan yang diganggu/ditempati tanpa ijin dari pemiliknya sedangkan slums adalah suatu lingkungan yang ditempati masyarakat dengan kondisi rumah rata-rata bobrok (reyot), padat dan cenderung tidak memenuhi unsur kesehatan, rentan terhadap kebakaran dan rentan terhadap terjadinya tindak kejahatan (Kumorotomo, dkk., 1995, p.34).
Pendapat senada disampaikan oleh Lana Winayanti yang menyatakan bahwa squatter sebagai illegal settlements (tempat tinggal ilegal) atau informal settlements. Sedangkan Slums sebagai komunitas kota yang miskin dan tidak memiliki akses kepemilikan tanah dan hak atas keamanan tempat tinggal tetap (Winayanti, 2001, p. 5-1). Sementara Emiel A. Wegelin menyatakan bahwa squatter and slums area adalah wilayah yang memiliki akses terbatas terhadap persediaan air bersih, drainase dan pengendalian banjir, sanitasi dan jalan (Wegelin dalam Suselo, et l, 1995, p. 236). Sedangkan Pius S Prasetyo hanya menyatakan bahwa Slums and squatter sebagai pemukiman-pemukiman spontan (spontaneous settlement) sebagai dampak perkembangan kota dan tergesernya petani-petani tradisional (Prasetyo dalam Potensia, 1995, p. 44-46).
Dari penjelasan diatas, maka sebenarnya dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. yang dimaksud squatter adalah lingkungan tempat tinggal masyarakat dimana (sebagain atau seluruhnya) lahan dan/atau bangunan yang ditempati mereka tidak memperoleh ijin dari pemiliknya (pemerintah, swasta atau individu lain);
2. yang dimaksud slums adalah lingkungan tempat tinggal yang tidak layak huni dan tergolong berada pada substandart hidup dengan karakteristik rumah reyot/bobrok, padat dan rendahnya akses terhadap air bersih, drainase, sanitasi, jalan serta rentan terhadap penyakit dan tindak kejahatan;
3. penyebab terjadinya slums dan squatter adalah :
a. perkembangan kota yang menarik minat penduduk sekitarnya untuk mengambil kesempatan memperoleh pekerjaan (formal) dan biasanya lebih banyak pada akses pekerjaan informal;
b. tergesernya petani-petani tradisional oleh kebutuhan lahan untuk industri dan pemukiman diwilayah pinggiran kota dan pedesaan.

PEMBERDAYAAN KAWASAN (COMMUNITY EMPOWERMENT)

Pemerintah biasanya terjebak oleh identifikasi masalah kawasan pada sudut pandang perbaikan fisik (fisically improvement). Karena infrastruktut fisik memang sangat mudah diidentifikasi dan juga sangat mudah untuk diintervensi guna perbaikan. Pada saat awal proses pembangunan di Indonesia, pembangunan fisik juga menjadi target utama perbaikan kualitas kawasan. Baru setelah disadari bahwa pembangunan fisik tanpa ada dukungan perilaku dan moral yang baik, pembangunan fisik mulai diikuti oleh konsep pembangunan nonfisik. Perubahan perilaku, tingkat pendidikan, ketrampilan dan wacana pengetahuan menjadi faktor penting dalam pembangunan.
Banyak program yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun pemimpin informal diwilayah tertentu guna meningkatkan kondisi kawasan yang lebih baik. Kampong Improvement Program (KIP), Community Based Development, Proyek Kali Bersih, dan sebagainya, adalah beberapa contoh program peningkatan kondisi kawasan. Program ini dijalankan hampir merata disemua kota-kota besar khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Di Indonesia, Kampong Improvement Program misalnya diselenggarakan di Yogyakarta tepatnya di Terban (Kumorotomo, dkk., 1995, p. 35). Kemudian di Aceh disekitar sungai Krueng Aceh (Arif, 2001). Di Surabaya KIP diselenggarakan untuk normalisasi sungai Kalimas (Rusli, 2001) selanjutnya Urban Projects yang diselenggarakan di Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Ujungpandang, Padang, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Yogyakarta, Denpasar (dibiayai IBRD), Bandung, Medan dan Kota-kota di Jawa Tengah dibiayai ADB (Hendropranoto Suselo dan John L Taylor dalam Suselo, et al., 1995, p.14) adalah contoh upaya empowerment komunitas kota besar dan kecil di Indonesia yang cenderung kumuh dan liar.
Namun demikian, program empowering komunitas tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan komunitas di perkotaan. Saban kali dilakukan proyek perbaikan, akan muncul permasalahan serupa di tempat lain didalam kota itu sendiri.
Observasi yang dilakukan oleh penulis di kota Semarang atas Community Based Development Programs di Kelurahan Bandarharjo dan Kuningan hanyalah mampu menyelesaikan permasalahan fisik lingkungan. Sedangkan faktor nonfisiknya terlihat sepintas tidaklah maksimal.
Perlu disampaikan disini kondisi Bandarharjo Semarang sebelum CBD dilaksanakan bahwa wilayah tersebut selalu tergenang air. Pada musim kemarau, air laut menggenangi sebagian besar perkampungan tersebut selama 24 jam terus menerus sedang sebagian lain dapat terhindar dari genangan hanya pada siang hari antara pukul 11.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB. Sedangkan pada musim penghujan wilayah tersebut seolah menjadi “dam penampungan” aliran air hujan dari kota.
Kondisi perumahan yang padat, kumuh dan tentu saja sangat tidak higienis karena ‘banjir tetap’ banyak memberikan kerugian dibandingkan keuntungan bagi masyarakat di kawasan tersebut. Pemerintah Kota Semarang mencoba merencanakan perbaikan kawasan tersebut pada dengan dana dari IBRD dan ADB berupa pembangunan Flat, pavingisasi jalan, drainase, dan sistem pompa buka tutup untuk sungai Semarang dan sungai Kali Baru. Secara Fisik, Bandarharjo saat ini (2002) telah terbebas dari genangan dan menjadi kawasan yang sedikit layak huni dan telah ada program sertifikasi tanah negara untuk dimiliki sah sebagai tanah rakyat.




Gambar 1 disini .








Gambar 2 disini





Temuan yang diperoleh penulis dari observasi yang dilaksanakan di kawasan bandarharjo kota Semarang setelah pelaksanaan Community Based Development meliputi :
a. bahwa kualitas hubungan interpersonal yang keras,
b. budaya membuang sampah dan membuang hajat di selokan/kali,
c. banyaknya tenaga muda pengangguran,
d. jumlah wanita produktif yang tidak dapat mengakses upaya pencarian income tambahan (ekonomi),
e. tergesernya penduduk asli oleh pendatang baru yang lebih mampu (memiliki aset)
f. kurangnya upaya pemberdayaan wanita/ibu rumah tangga untuk mengembangkan potensi usaha pengrajin ikan (dapat dikembangkan usaha pengasapan ikan, kerupuk ikan, keripik kulit ikan kakap, dll. dimana Bandarharjo memiliki sumberdaya alam tersebut),
g. Jumlah anak usia sekolah yang besar , serta
h. rendahnya akses terhadap pendidikan adalah kondisi yang saat ini dihadapi oleh pemerintahan lokal (kelurahan).
Penulis meyakini, jika observasi dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama, kemungkinan besar akan terdapat banyak temuan masalah dikawasan yang sekarang tampak lebih baik itu. Sebab penulis berasumsi bahwa ada banyak sekali warga lama yang pindah karena tergiur oleh naiknya harga tanah di Kawasan itu setelah selesai program CBD. Beberapa penduduk yang pindah dari kawasan Bandarharjo (diinformasikan oleh warga yang masih menetap) telah menjual tanah dan rumahnya dan sekarang ada yang menempati kawasan baru (penulis mengindikasikan sebagai kawasan liar setelah diamati) di sisi jalan bebas hambatan (jalan Tol) Tembalang – Kaligawe (Semarang). Mereka menghuni gubug kecil yang tidak sehat serta besar kemungkinan mereka menempati tanah orang lain. Menurut warga disekitar wilayah ini, tanah tersebut adalah tanah wakaf masjid besar Semarang.
Perlu dikemukakan oleh penulis juga bahwa untuk bisa memasuki kawasan-kawasan yang terkena program Improvement fisik, biasanya sangat sulit. Seolah-olah ada sesuatu yang sengaja ingin disembunyikan dan penulis belum mampu menyusun asumsi awal adanya masalah yang spesifik sehingga ada upaya penolakan terhadap observer yang secara formal datang kepada pengurus paguyuban kawasan improvement.
Oleh sebab itu, penulis berasumsi bahwa ada faktor lain yang menyebabkan seseorang untuk tetap bertahan pada komunitas slums dan squatter. Bisa jadi mereka telah memiliki budaya miskin.
Banyaknya masalah nonfisik tersebut justru muncul setelah secara fisik permasalahan kawasan kumuh dan liar diselesaikan, menuntut improvement kawasan dari segi nonfisik. Program pengubahan perilaku warga suatu kawasan yang hendak diimprovement agar sesuai dengan tata nilai kita. Memang improvement nonfisik membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar karena berkait dengan ciri-ciri perilaku seseorang maupun kelompok.

BAGAIMANA CARA MELAKUKAN PENGUBAHAN KOMUNITAS ?

Memberdayakan seharusnya memiliki pengertian meningkatkan (Improvement). Improvement adalah proses pengubahan (to change), yaitu mengubah perilaku seseorang atu sekelompok orang agar sesuai dengan perilaku yang kita harapkan. Pengubahan meliputi aspek :
a. Fisik yaitu kondisi rumah, jalan, drainase, penyediaan air bersih, fasilitas pendidikan, fasilitas pelayanan kepemerintahan, fasilitas rohani;
b. Nonfisik meliputi tata nilai dan perilaku masyarakat (keacuhan pada kesehatan, pendidikan, etika, dan care kepada sesama).

Berikut adalah faktor-faktor yang dapat dijadikan setrategi pengubahan kawasan :

a. PARTISIPASI DAN MOBILISASI MASA
Kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan lebih besar terhadap terselenggaranya partisipasi masyarakat (Prasetyo, 1995, p.62). Selanjutnya Prasetyo menyatakan bahwa tanpa asas kebersamaan maka pemerintah yang mengalami kendala dalam hal kurangnya kemampuan dan dana untuk pembangunan kota disamping pengendalian pembangunan perumahan liar (squatter) dan upaya pengelolaan lingkungan (slums), tak mungkin memecahkan sendiri.
Pendapat senada dikemukakan oleh Kumorotomo, Darwin dan Faturochman bahwa partisipasi diantara penghuni (squatters and slums area’s) dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Kumorotomo dkk., 1995, p. 42). Sementara Checkoway menyebutkan partisipasi dalam bentuk lain yakni mobilisasi masa (mass mobilization) untuk menjalankan aktivitas tertentu sebagai ujud keikutsertaan follower (Checkoway, 1995, p. 5).

b. SOCIAL ACTION
Hampir menyerupai bentuk mobilisasi massa, aksi sosial bertujuan mengorganisir masyarakat dalam kawasan tertentu agar tertarik untuk terlibat dalam perubahan kawasan tersebut. Aksi sosial memiliki makna pemilik kekuasaan (powerful) yang harus aktif mengimprovement orang-orang dilingkungannya agar bersedia berubah dan pemilik kekuasaan juga bersedia share kekuasaan dengan orang-orang dilingkungannya tersebut (Checkoway, 1995, p.7).
Pendapat serupa disampaikan Kumorotomo dan kawan-kawan bahwa pemerintah harus mengetahui peran informal leaders (to share the power) sebagai perantara pengakomodasian interest antara pemerintah dengan masyarakat kawasan yang hendak dikenai kebijakan (Kumorotomo, 1995, P. 42).

c. ADVOKASI PUBLIK
Strategi intervensi kepada kepentingan publik ini masih jarang dilakukan. Kecenderungan yang terjadi adalah adokasi yang diberikan kepada pemilik kekuasaan dan/atau advokasi kepada pemilik modal. Rakyat yang selama ini menjadi obyek proses pembangunan sering terabaikan dari pembelaan atas ketidakadilan. Legislatif sebagai wakil rakyat yang seharusnya memberikan advokasi kepada rakyat, justru berfungsi sebagai alat bagi partai politik untuk mencapai tujuan kelompok dan memandulkan fungsinya sebagai pembela kepentingan rakyat. Seharusnya, legislatif aktif melakukan reasearch, personal contact untuk mencari informasi guna pembelaan pada masyarakat demi kesejahteraan seluruh masyarakat (Checkoway, 1995, p. 11). Maka menurut hemat penulis, yang harus diimprovement dalam lingkup lembaga negara, sesungguhnya justru adalah lembaga legislatif agar mereka bisa care (peduli) sehingga mampu menjalankan fungsi cure (merawat) rakyatnya.

d. PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS PENDIDIKAN
Akses terhadap pendidikan di Indonesia sangatlah rendah, terlebih pada masyarakat dikawasan slums dan squatter yang biasanya kawasan marjinal perkotaan dan kawasan pedesaan. Indonesia selama inipun merupakan negara yang sangat terbelakang dalam peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Banyak generasi yang tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang mereka harapkan. Bahkan ketika program pendidikan dasar 9 tahuh dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru, masih cukup besar masyarakat yang tidak dapat memberikan kesempatan kepada warga usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan di sekolah.
Kondisi rendahnya akses pada jalur pendidikan diperparah oleh merebaknya resesi pasca reformasi. Kesulitan ekonomi yang mendera masyarakat terlebih kalangan bawah, menjadi pemicu makin lemahnya akses masyarakat pada pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar dan menengah pertama.
e. PENINGKATAN PELAYANAN OLEH PEMERINTAHAN LOKAL
Ujung tombak pelayanan pemerinatahan dalam konteks otonomi daerah saat ini terletak pada jajaran pemerinatahan Keluarahan/Desa. Baru setelah itu pada jajaran pemerintahan tingkat atasnya. Artinya, profesionalisme aparat pemerinatahan ditingkat bawah menjadi faktor yang perlu diperhatikan secara seksama.
Penulis berasumsi bahwa guna meningkatkan kemampuan intervensi pemerintah, improvement kelembagaan pada tingkat bawah dengan empowerment sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan pulik perlu dilakukan sesegera mungkin.
Jarang ada masyarakat memenuhi kebutuhan pelayanan publik oleh pemerinatah, harus bersusah datang ke kabupaten yang berjarak cukup jauh. Masyarakat akan menganggapnya tidak efisien. Sehingga untuk pelayanan publik, pemerintah harus berani mem-breakdown kebijakan dan kewenangannya kepada pemerintahan di tingkat bawah yang memiliki keintiman link dengan masyarakat.

f. KETERLIBATAN PIMPINAN INFORMAL
Didalam masyarakat, dipastikan terdapat tokoh-tokoh yang dianggap tetua oleh masyarakat dikawasan itu. Tokoh masyarakat ini memiliki ikatan psikologis yang kuat dengan masyarakat kawasannya sehingga memiliki kemampuan yang besar untuk mengintervensi masyarakatnya (Kumorotomo, et al., 1995, p.36). Oleh sebab itu, keterlibatan langsung tokoh masyarakat ini akan sangat membantu keberhasilan pelaksanaan program pengubahan komunitas. Di Yogyakarta, masyarakat pasti mengenal tokoh Kapung Improvement Program dengan model selp help mechanism yang dikenal bernama Romo Mangun (Kumorotomo et al., 1995, p. 36)

KESIMPULAN
Faktor yang utama dalam program pemberdayaan kawasan apapun nama programnya, yang pertama kali harus dibangun adalah Trust. Yakni kepercayaan masyarakat kawasan itu kepada pihak yang melakukan improvement, bahwa mereka (masyarakat kawasan) akan memperoleh keuntungan dari program itu, kepercayaan masyarakat bahwa dengan program itu mereka akan dapat hidup lebih baik. Dengan trust, seorang agen perubah akan menjadi bagian tak terpisahkan (Wonge dhewe) dari masyarakat itu sehingga memudahkan intervensi.
Selanjutnya adalah bagaimana membentuk care. Yakni kepedulian kepada masing-masing individu dalam kawasan bahwa mereka memiliki hak dan tanggungjawab yang sama untuk merencanakan, melaksanakan dan saling mengontrol proses improvement kawasannya. Dengan modal care, masyarakat merasa diperhatikan sehingga ada nilai diri (diwongke). Akibatnya tentu diharapkan akan muncul kesadaran diri (self consciousness) yang memacu tumbuhnya selp help mechanism dalam community change.
Baru setelah terbentuk trust dan care, agen pengubah memilih strategi yang dianggap lebih berdaya dan berhasil guna. Hendaknya, sebuah program improvement kawasan harus bersifat sustainability empowerment.


-----------dd----------








DAFTAR BACAAN

Arif, K.A., 2001, Contributing of Heritage Conservation to Urban Revitalization in Banda Aceh, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Checkoway, B., 1995, Six Strategies of Community Change, Community Development Journal Vol. 30 No. 1

Devas, N., and Rakodi, C., 1993, Managing Fast Growing Cities : New Approaches to Urban Planning and Management in the Developing World, England : Longman Scientific and Technical

Ife, J., 1996, Community Development, Creating Community Alternatives-vision, Analysis and Practice, Melbourne Australia : Longman

Kumorotomo, W., Darwin, M., Faturrohman, 1995, The Implementation of Slum and Squatter Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta, Jurnal Populasi, 6(2), 1995

Potensia, 1995, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tahun VI Nomor 13, April 1995

Purwanita Setijanti, 2001, The Urban Kampung : A Question of Identity, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Rusli, H., 2001, Multicultural Aptness of Space, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Suselo, H., Taylor, J.L., and Wegelin, E. A., 1995, Indonesia’s Urban Infrastructure Development Experience : Critical Lessons of Good Practice, Jakarta Indonesia : HABITAT



Winayanti, L., 2001, Informal Housing in Jakarta : The Struggle for Land, A Case Study of Kampung Penas Tanggul, Cipinang Riverbank Settlement, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, Bappeda dan CV Tiga Jaya Consultant, 1999, Laporan Pendahuluan Supervisi Konstruksi Community Based Development Bandarharjo.
IMPROVEMENT KAWASAN SLUMS DAN SQUATTERS DI PERKOTAAN


ACUAN :
Kumorotomo, W., Darwin, M., dan Faturochman, 1995, The Implementation of Slums and Squatters Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta, Jurnal Populasi, 6 (2), 1995


PENDAHULUAN

Pembangunan kawasan selalu berorientasi pada penyediaan infrastruktur fisik. Umumnya, infrastruktur fisik perkotaan selalu berkutat masalah suplai air bersih, sanitasi, perawatan jalan dan suplai tenaga listrik (Devas, et al, 1993, p.136). Kesalahan perencanaan dan pembangunan fasilitas drainase sering mengakibatkan bencana kekurangan air bersih maupun bencana banjir.
Meski demikian, masalah yang selalu menjadi kendala baik di masyarakat perkotaan maupun pedesaan hampir disemua negara adalah permasalahan perumahan, pelayanan kesehatan, pelayanan oleh aparat pemerintahan (human service), isue etnik, agama, kelas sosial-ekonomi, kesetaraan gender dan eksploitasi anak-anak. Apalagi dinegara berkembang di Asia Tenggara yang memiliki heterogenitas tinggi permasalahan tersebut. Indonesia adalah yang paling kaya dalam kepemilikan perbedaan Etnik, Agama, strata, value tentang gender dan eksploitasi anak dibawah umur.
Cepatnya perubahan sosial tersebut merupakan konsekuensi proses pembangunan dengan istilah modernisasi, industrialisasi dan ilmu dan teknologi yang membawa perubahan pola pikir dan pola perilaku masyarakat , sebagaimana pendapat Clark yang dikutip oleh Purwanita Setijanti(Setijanti, 2001, pp. 1-1).
Meski disadari bahwa ujuan dinamika sosial yang demikian cepat itu adalah terciptanya masyarakat-kesejahteraan (re-establishing the welfare-citizenship), yaitu pendekatan humanity, equity, progresive redistribution, caring and socal justice, sebagai pertanda masyarakat berkesejahteraan. ( Ife, 1996, p. 5) dan masyarakat setuju serta berbagi kepercayaan bahwa komunitas adalah unit untuk memecahkan berbagi variasi yang ada dalamnya (Durning, 1989 dalam Checkoway, 1995 p. 1) namun disadari pula bahwa tujuan ideal tersebut tidak dapat dicapai sesuai dengan harapan. Selalu ada kekurangan dan kelemahan pada akhir program pembangunan.

PENGERTIAN KUMUH (SLUMS) DAN LIAR (SQUATTERS)

Masyarakat umumnya menggeneralisasi istilah kumuh dan liar itu sebagai satu kesatuan bentuk makna meliputi (Kumorotomo, et al., 1995. p. 34):
a. Menempati wilayah orang lain tanpa ijin;
b. Tinggal di rumah yang bobrok dan padat;
c. Biasanya hidup dibawah garis kemiskinan.
Namun ditekankan oleh Kumorotomo dkk. bahwa ada perbedaan krusial antara lingkungan kumuh (slums) dengan lingkungan liar (squatters). Squatters adalah suatu bagian wilayah atau bagian bangunan yang diganggu/ditempati tanpa ijin dari pemiliknya sedangkan slums adalah suatu lingkungan yang ditempati masyarakat dengan kondisi rumah rata-rata bobrok (reyot), padat dan cenderung tidak memenuhi unsur kesehatan, rentan terhadap kebakaran dan rentan terhadap terjadinya tindak kejahatan (Kumorotomo, dkk., 1995, p.34).
Pendapat senada disampaikan oleh Lana Winayanti yang menyatakan bahwa squatter sebagai illegal settlements (tempat tinggal ilegal) atau informal settlements. Sedangkan Slums sebagai komunitas kota yang miskin dan tidak memiliki akses kepemilikan tanah dan hak atas keamanan tempat tinggal tetap (Winayanti, 2001, p. 5-1). Sementara Emiel A. Wegelin menyatakan bahwa squatter and slums area adalah wilayah yang memiliki akses terbatas terhadap persediaan air bersih, drainase dan pengendalian banjir, sanitasi dan jalan (Wegelin dalam Suselo, et l, 1995, p. 236). Sedangkan Pius S Prasetyo hanya menyatakan bahwa Slums and squatter sebagai pemukiman-pemukiman spontan (spontaneous settlement) sebagai dampak perkembangan kota dan tergesernya petani-petani tradisional (Prasetyo dalam Potensia, 1995, p. 44-46).
Dari penjelasan diatas, maka sebenarnya dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. yang dimaksud squatter adalah lingkungan tempat tinggal masyarakat dimana (sebagain atau seluruhnya) lahan dan/atau bangunan yang ditempati mereka tidak memperoleh ijin dari pemiliknya (pemerintah, swasta atau individu lain);
2. yang dimaksud slums adalah lingkungan tempat tinggal yang tidak layak huni dan tergolong berada pada substandart hidup dengan karakteristik rumah reyot/bobrok, padat dan rendahnya akses terhadap air bersih, drainase, sanitasi, jalan serta rentan terhadap penyakit dan tindak kejahatan;
3. penyebab terjadinya slums dan squatter adalah :
a. perkembangan kota yang menarik minat penduduk sekitarnya untuk mengambil kesempatan memperoleh pekerjaan (formal) dan biasanya lebih banyak pada akses pekerjaan informal;
b. tergesernya petani-petani tradisional oleh kebutuhan lahan untuk industri dan pemukiman diwilayah pinggiran kota dan pedesaan.

PEMBERDAYAAN KAWASAN (COMMUNITY EMPOWERMENT)

Pemerintah biasanya terjebak oleh identifikasi masalah kawasan pada sudut pandang perbaikan fisik (fisically improvement). Karena infrastruktut fisik memang sangat mudah diidentifikasi dan juga sangat mudah untuk diintervensi guna perbaikan. Pada saat awal proses pembangunan di Indonesia, pembangunan fisik juga menjadi target utama perbaikan kualitas kawasan. Baru setelah disadari bahwa pembangunan fisik tanpa ada dukungan perilaku dan moral yang baik, pembangunan fisik mulai diikuti oleh konsep pembangunan nonfisik. Perubahan perilaku, tingkat pendidikan, ketrampilan dan wacana pengetahuan menjadi faktor penting dalam pembangunan.
Banyak program yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun pemimpin informal diwilayah tertentu guna meningkatkan kondisi kawasan yang lebih baik. Kampong Improvement Program (KIP), Community Based Development, Proyek Kali Bersih, dan sebagainya, adalah beberapa contoh program peningkatan kondisi kawasan. Program ini dijalankan hampir merata disemua kota-kota besar khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Di Indonesia, Kampong Improvement Program misalnya diselenggarakan di Yogyakarta tepatnya di Terban (Kumorotomo, dkk., 1995, p. 35). Kemudian di Aceh disekitar sungai Krueng Aceh (Arif, 2001). Di Surabaya KIP diselenggarakan untuk normalisasi sungai Kalimas (Rusli, 2001) selanjutnya Urban Projects yang diselenggarakan di Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Ujungpandang, Padang, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Yogyakarta, Denpasar (dibiayai IBRD), Bandung, Medan dan Kota-kota di Jawa Tengah dibiayai ADB (Hendropranoto Suselo dan John L Taylor dalam Suselo, et al., 1995, p.14) adalah contoh upaya empowerment komunitas kota besar dan kecil di Indonesia yang cenderung kumuh dan liar.
Namun demikian, program empowering komunitas tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan komunitas di perkotaan. Saban kali dilakukan proyek perbaikan, akan muncul permasalahan serupa di tempat lain didalam kota itu sendiri.
Observasi yang dilakukan oleh penulis di kota Semarang atas Community Based Development Programs di Kelurahan Bandarharjo dan Kuningan hanyalah mampu menyelesaikan permasalahan fisik lingkungan. Sedangkan faktor nonfisiknya terlihat sepintas tidaklah maksimal.
Perlu disampaikan disini kondisi Bandarharjo Semarang sebelum CBD dilaksanakan bahwa wilayah tersebut selalu tergenang air. Pada musim kemarau, air laut menggenangi sebagian besar perkampungan tersebut selama 24 jam terus menerus sedang sebagian lain dapat terhindar dari genangan hanya pada siang hari antara pukul 11.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB. Sedangkan pada musim penghujan wilayah tersebut seolah menjadi “dam penampungan” aliran air hujan dari kota.
Kondisi perumahan yang padat, kumuh dan tentu saja sangat tidak higienis karena ‘banjir tetap’ banyak memberikan kerugian dibandingkan keuntungan bagi masyarakat di kawasan tersebut. Pemerintah Kota Semarang mencoba merencanakan perbaikan kawasan tersebut pada dengan dana dari IBRD dan ADB berupa pembangunan Flat, pavingisasi jalan, drainase, dan sistem pompa buka tutup untuk sungai Semarang dan sungai Kali Baru. Secara Fisik, Bandarharjo saat ini (2002) telah terbebas dari genangan dan menjadi kawasan yang sedikit layak huni dan telah ada program sertifikasi tanah negara untuk dimiliki sah sebagai tanah rakyat.




Gambar 1 disini .








Gambar 2 disini





Temuan yang diperoleh penulis dari observasi yang dilaksanakan di kawasan bandarharjo kota Semarang setelah pelaksanaan Community Based Development meliputi :
a. bahwa kualitas hubungan interpersonal yang keras,
b. budaya membuang sampah dan membuang hajat di selokan/kali,
c. banyaknya tenaga muda pengangguran,
d. jumlah wanita produktif yang tidak dapat mengakses upaya pencarian income tambahan (ekonomi),
e. tergesernya penduduk asli oleh pendatang baru yang lebih mampu (memiliki aset)
f. kurangnya upaya pemberdayaan wanita/ibu rumah tangga untuk mengembangkan potensi usaha pengrajin ikan (dapat dikembangkan usaha pengasapan ikan, kerupuk ikan, keripik kulit ikan kakap, dll. dimana Bandarharjo memiliki sumberdaya alam tersebut),
g. Jumlah anak usia sekolah yang besar , serta
h. rendahnya akses terhadap pendidikan adalah kondisi yang saat ini dihadapi oleh pemerintahan lokal (kelurahan).
Penulis meyakini, jika observasi dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama, kemungkinan besar akan terdapat banyak temuan masalah dikawasan yang sekarang tampak lebih baik itu. Sebab penulis berasumsi bahwa ada banyak sekali warga lama yang pindah karena tergiur oleh naiknya harga tanah di Kawasan itu setelah selesai program CBD. Beberapa penduduk yang pindah dari kawasan Bandarharjo (diinformasikan oleh warga yang masih menetap) telah menjual tanah dan rumahnya dan sekarang ada yang menempati kawasan baru (penulis mengindikasikan sebagai kawasan liar setelah diamati) di sisi jalan bebas hambatan (jalan Tol) Tembalang – Kaligawe (Semarang). Mereka menghuni gubug kecil yang tidak sehat serta besar kemungkinan mereka menempati tanah orang lain. Menurut warga disekitar wilayah ini, tanah tersebut adalah tanah wakaf masjid besar Semarang.
Perlu dikemukakan oleh penulis juga bahwa untuk bisa memasuki kawasan-kawasan yang terkena program Improvement fisik, biasanya sangat sulit. Seolah-olah ada sesuatu yang sengaja ingin disembunyikan dan penulis belum mampu menyusun asumsi awal adanya masalah yang spesifik sehingga ada upaya penolakan terhadap observer yang secara formal datang kepada pengurus paguyuban kawasan improvement.
Oleh sebab itu, penulis berasumsi bahwa ada faktor lain yang menyebabkan seseorang untuk tetap bertahan pada komunitas slums dan squatter. Bisa jadi mereka telah memiliki budaya miskin.
Banyaknya masalah nonfisik tersebut justru muncul setelah secara fisik permasalahan kawasan kumuh dan liar diselesaikan, menuntut improvement kawasan dari segi nonfisik. Program pengubahan perilaku warga suatu kawasan yang hendak diimprovement agar sesuai dengan tata nilai kita. Memang improvement nonfisik membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar karena berkait dengan ciri-ciri perilaku seseorang maupun kelompok.

BAGAIMANA CARA MELAKUKAN PENGUBAHAN KOMUNITAS ?

Memberdayakan seharusnya memiliki pengertian meningkatkan (Improvement). Improvement adalah proses pengubahan (to change), yaitu mengubah perilaku seseorang atu sekelompok orang agar sesuai dengan perilaku yang kita harapkan. Pengubahan meliputi aspek :
a. Fisik yaitu kondisi rumah, jalan, drainase, penyediaan air bersih, fasilitas pendidikan, fasilitas pelayanan kepemerintahan, fasilitas rohani;
b. Nonfisik meliputi tata nilai dan perilaku masyarakat (keacuhan pada kesehatan, pendidikan, etika, dan care kepada sesama).

Berikut adalah faktor-faktor yang dapat dijadikan setrategi pengubahan kawasan :

a. PARTISIPASI DAN MOBILISASI MASA
Kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan lebih besar terhadap terselenggaranya partisipasi masyarakat (Prasetyo, 1995, p.62). Selanjutnya Prasetyo menyatakan bahwa tanpa asas kebersamaan maka pemerintah yang mengalami kendala dalam hal kurangnya kemampuan dan dana untuk pembangunan kota disamping pengendalian pembangunan perumahan liar (squatter) dan upaya pengelolaan lingkungan (slums), tak mungkin memecahkan sendiri.
Pendapat senada dikemukakan oleh Kumorotomo, Darwin dan Faturochman bahwa partisipasi diantara penghuni (squatters and slums area’s) dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Kumorotomo dkk., 1995, p. 42). Sementara Checkoway menyebutkan partisipasi dalam bentuk lain yakni mobilisasi masa (mass mobilization) untuk menjalankan aktivitas tertentu sebagai ujud keikutsertaan follower (Checkoway, 1995, p. 5).

b. SOCIAL ACTION
Hampir menyerupai bentuk mobilisasi massa, aksi sosial bertujuan mengorganisir masyarakat dalam kawasan tertentu agar tertarik untuk terlibat dalam perubahan kawasan tersebut. Aksi sosial memiliki makna pemilik kekuasaan (powerful) yang harus aktif mengimprovement orang-orang dilingkungannya agar bersedia berubah dan pemilik kekuasaan juga bersedia share kekuasaan dengan orang-orang dilingkungannya tersebut (Checkoway, 1995, p.7).
Pendapat serupa disampaikan Kumorotomo dan kawan-kawan bahwa pemerintah harus mengetahui peran informal leaders (to share the power) sebagai perantara pengakomodasian interest antara pemerintah dengan masyarakat kawasan yang hendak dikenai kebijakan (Kumorotomo, 1995, P. 42).

c. ADVOKASI PUBLIK
Strategi intervensi kepada kepentingan publik ini masih jarang dilakukan. Kecenderungan yang terjadi adalah adokasi yang diberikan kepada pemilik kekuasaan dan/atau advokasi kepada pemilik modal. Rakyat yang selama ini menjadi obyek proses pembangunan sering terabaikan dari pembelaan atas ketidakadilan. Legislatif sebagai wakil rakyat yang seharusnya memberikan advokasi kepada rakyat, justru berfungsi sebagai alat bagi partai politik untuk mencapai tujuan kelompok dan memandulkan fungsinya sebagai pembela kepentingan rakyat. Seharusnya, legislatif aktif melakukan reasearch, personal contact untuk mencari informasi guna pembelaan pada masyarakat demi kesejahteraan seluruh masyarakat (Checkoway, 1995, p. 11). Maka menurut hemat penulis, yang harus diimprovement dalam lingkup lembaga negara, sesungguhnya justru adalah lembaga legislatif agar mereka bisa care (peduli) sehingga mampu menjalankan fungsi cure (merawat) rakyatnya.

d. PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS PENDIDIKAN
Akses terhadap pendidikan di Indonesia sangatlah rendah, terlebih pada masyarakat dikawasan slums dan squatter yang biasanya kawasan marjinal perkotaan dan kawasan pedesaan. Indonesia selama inipun merupakan negara yang sangat terbelakang dalam peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Banyak generasi yang tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang mereka harapkan. Bahkan ketika program pendidikan dasar 9 tahuh dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru, masih cukup besar masyarakat yang tidak dapat memberikan kesempatan kepada warga usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan di sekolah.
Kondisi rendahnya akses pada jalur pendidikan diperparah oleh merebaknya resesi pasca reformasi. Kesulitan ekonomi yang mendera masyarakat terlebih kalangan bawah, menjadi pemicu makin lemahnya akses masyarakat pada pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar dan menengah pertama.
e. PENINGKATAN PELAYANAN OLEH PEMERINTAHAN LOKAL
Ujung tombak pelayanan pemerinatahan dalam konteks otonomi daerah saat ini terletak pada jajaran pemerinatahan Keluarahan/Desa. Baru setelah itu pada jajaran pemerintahan tingkat atasnya. Artinya, profesionalisme aparat pemerinatahan ditingkat bawah menjadi faktor yang perlu diperhatikan secara seksama.
Penulis berasumsi bahwa guna meningkatkan kemampuan intervensi pemerintah, improvement kelembagaan pada tingkat bawah dengan empowerment sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan pulik perlu dilakukan sesegera mungkin.
Jarang ada masyarakat memenuhi kebutuhan pelayanan publik oleh pemerinatah, harus bersusah datang ke kabupaten yang berjarak cukup jauh. Masyarakat akan menganggapnya tidak efisien. Sehingga untuk pelayanan publik, pemerintah harus berani mem-breakdown kebijakan dan kewenangannya kepada pemerintahan di tingkat bawah yang memiliki keintiman link dengan masyarakat.

f. KETERLIBATAN PIMPINAN INFORMAL
Didalam masyarakat, dipastikan terdapat tokoh-tokoh yang dianggap tetua oleh masyarakat dikawasan itu. Tokoh masyarakat ini memiliki ikatan psikologis yang kuat dengan masyarakat kawasannya sehingga memiliki kemampuan yang besar untuk mengintervensi masyarakatnya (Kumorotomo, et al., 1995, p.36). Oleh sebab itu, keterlibatan langsung tokoh masyarakat ini akan sangat membantu keberhasilan pelaksanaan program pengubahan komunitas. Di Yogyakarta, masyarakat pasti mengenal tokoh Kapung Improvement Program dengan model selp help mechanism yang dikenal bernama Romo Mangun (Kumorotomo et al., 1995, p. 36)

KESIMPULAN
Faktor yang utama dalam program pemberdayaan kawasan apapun nama programnya, yang pertama kali harus dibangun adalah Trust. Yakni kepercayaan masyarakat kawasan itu kepada pihak yang melakukan improvement, bahwa mereka (masyarakat kawasan) akan memperoleh keuntungan dari program itu, kepercayaan masyarakat bahwa dengan program itu mereka akan dapat hidup lebih baik. Dengan trust, seorang agen perubah akan menjadi bagian tak terpisahkan (Wonge dhewe) dari masyarakat itu sehingga memudahkan intervensi.
Selanjutnya adalah bagaimana membentuk care. Yakni kepedulian kepada masing-masing individu dalam kawasan bahwa mereka memiliki hak dan tanggungjawab yang sama untuk merencanakan, melaksanakan dan saling mengontrol proses improvement kawasannya. Dengan modal care, masyarakat merasa diperhatikan sehingga ada nilai diri (diwongke). Akibatnya tentu diharapkan akan muncul kesadaran diri (self consciousness) yang memacu tumbuhnya selp help mechanism dalam community change.
Baru setelah terbentuk trust dan care, agen pengubah memilih strategi yang dianggap lebih berdaya dan berhasil guna. Hendaknya, sebuah program improvement kawasan harus bersifat sustainability empowerment.


-----------dd----------








DAFTAR BACAAN

Arif, K.A., 2001, Contributing of Heritage Conservation to Urban Revitalization in Banda Aceh, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Checkoway, B., 1995, Six Strategies of Community Change, Community Development Journal Vol. 30 No. 1

Devas, N., and Rakodi, C., 1993, Managing Fast Growing Cities : New Approaches to Urban Planning and Management in the Developing World, England : Longman Scientific and Technical

Ife, J., 1996, Community Development, Creating Community Alternatives-vision, Analysis and Practice, Melbourne Australia : Longman

Kumorotomo, W., Darwin, M., Faturrohman, 1995, The Implementation of Slum and Squatter Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta, Jurnal Populasi, 6(2), 1995

Potensia, 1995, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tahun VI Nomor 13, April 1995

Purwanita Setijanti, 2001, The Urban Kampung : A Question of Identity, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Rusli, H., 2001, Multicultural Aptness of Space, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Suselo, H., Taylor, J.L., and Wegelin, E. A., 1995, Indonesia’s Urban Infrastructure Development Experience : Critical Lessons of Good Practice, Jakarta Indonesia : HABITAT



Winayanti, L., 2001, Informal Housing in Jakarta : The Struggle for Land, A Case Study of Kampung Penas Tanggul, Cipinang Riverbank Settlement, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, Bappeda dan CV Tiga Jaya Consultant, 1999, Laporan Pendahuluan Supervisi Konstruksi Community Based Development Bandarharjo.

Communal Minoroties

COMMUNAL MINORITIES DAN ETNISITAS : POTENSI KONFLIK DAN PROSES RESOLUSINYA
Oleh Didik Agus Setyo P.

Acuan :
James R. Scarritt, 1995, Communal Conflicts and Contention for Power in Africa South of the Sahara, Washington : US Institute of Peace


A. PENDAHULUAN

Komunitas lebih banyak diartikan sebagai sekumpulan orang yang berada pada kawasan tertentu. Misalnya komunitas kota, komunitas desa budaya. Komunitas juga sering diartikan sebagai sekumpulan individu dengan kesamaan karakteristik tertentu yang sama. Misalnya komunitas pedesaan, komunitas orang tua, komunitas anak-anak. Atau komunitas juga diartikan sebagai sekumpulan individu dengan ideologi atau tujuan yang sama. Misalnya komunitas muslim, komunitas pendidikan.
Namun sebenarnya hakikat terpenting dari komunitas adalah sebuah wahana kesatuan yang memiliki fungsi untuk memecahkan permasalahan antara individu-individu yang ada didalamnya. Komunitas juga menjadi wahana kesatuan untuk menjalin relationship (state-community relationships, between community relationships dan intermember community relationships). Pengertian komunitas belakangan ini sangat jarang sekali dijadikan pedoman memaknai komunitas. Sehingga, komunitas menjadi tidak berdaya untuk membentangkan fungsi welfare organization. Komunitas tidak mampu mereduksi dan memanfaatkan potensi konflik sebagai modal pencapaian welfarecitizenship.
Karena komunitas hanya dipandang sebagai kumpulan orang yang berada pada kawasan terntentu (biasanya lalu merasa homogen) dan komunitas berisi orang dengan karakter, ideologi dan tujuan yang sama, maka komunitas sering beralih fungsi menjadi alat kelompok untuk kontra dengan komunitas lain. Maka yang terjadi kemudian adalah kontraproduktif komunitas. Komunitas menjadi penggalangan masa untuk sebuah pergerakan dan kekuasaan kelompok tertentu.
Manakala komunitas menjadi penggalangan masa guna pergerakan (mass movement), yang terjadi adalah perang antar umat, konflik perebutan kepentingan dan saling mengalahkan yang lain. Terciptalah kelompok pemenang dan kelompok tertindas. Akhirnya keadilan sebagai jalan menuju welfare state semakin jauh.

B. COMMUNAL MINORITIES

Communal groups memiliki hakekat komunitas yang lebih ditentukan oleh ikatan psikologis. Communal groups ditunjukan oleh adanya share kejelasan identitas kolektif dan ‘penderitaan´bersama dari anggota kelompok didasarkan pada konstruk/ciri budaya dan gaya hidup/lifeways (Gurr, 1995, p. 3). Identitas komunal ditandai oleh adanya kesamaan bahasa, pengalaman mistis, agama dan kepercayaan, etnis, tempat tinggal, sistem kasta/klas sosial dan budaya konsumerisme.
Karena identitas group yang relatif homogen tersebut, memunculkan kohesivitas group yakni semakin intimnya hubungan antara anggota-anggota group tersebut. Kohesivitas group mendorong terciptanya perasaan (belong) yang sama dalam group. Irving L Janis menyebut perasaan yang sama kepada group dengan istilah Groupy (Janis dalam Pines, et al., 1993, p. 136). Lebih jauh Janis menyatakan bahwa communal group adalah kelompok yang memiliki fenomena-fenomena tertentu dalam sebuah kerangka konformitas kelompok dan mendorong kelompok itu menjalankan fungsinya secara teratur.
Jadi pada intinya, communal group ditandai karakteristik adanya homogenitas angota atau fenomena dan terdapatnya konformitas kelompok. Komunal group juga ditandai oleh kuatnya konsensus antar anggota kelompok mengenai struktur peran masing-masing anggota kelompok yang saling menguatkan kerekatan hubungan mereka.
Sementara Hal G. Rainey menyimpulkan Communal Groups dari sudut pandang keintiman komunikasi yang terjadi antar anggotanya dan konsensus yang dibuat sebagai hasil komunikasi tersebut (Rainey, 1997, p. 296). Bagi Reiney, hakekat komunal group terletak pada seberapa akrabkah anggota-anggota kelompok itu berkomunikasi, bertukar ide dan informasi. Keakraban komunikasi ini dapat diidentifikasi dari banyaknya produk aturan yang disepakati (konsensus) oleh masing-masing group member.
Pendapat yang hampir sempurna memberikan batasan tentang (communal) group menyatakan bahwa group adalah kumpulan beberapa individu yang memiliki karakteristik (Johnson, et al., 2000, p.18):
a. bekerja bersama
b. untuk mencapai tujuan bersama,
c. saling interdependensi satu sama lain,
d. melakukan interaksi (communication, relationships),
e. memiliki perasaan (persepsi) kepada group,
f. interaksi dipedomani oleh norma dan peranan (norm and roles) yang terstruktur,
g. terjadi saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain,
h. ada upaya untuk saling memberi kepuasan (satisfy),
Sebuah group, anggota-anggotanya cenderung saling bekerja sama dan memiliki tujuan yang sama. Masing-masing anggota untuk memenuhi kebutuhannya akan saling bergantung satu sama lain dikarenakan kodrat manusia yang tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhannya bertumpu pada usaha real yang bersangkutan. Anggota-anggota group juga melakukan interaksi baik secara langsung (face to face) ataupun dengan memanfaatkan media interaksi yang ada, proses interaksi ditata oleh suatu norma (tertulis dan tidak tertulis) serta mengikuti perbedaan peran/role masing-masing anggota. Anggota Group memiliki perasaan Group yang oleh Janis disebut Groupy. Masing-masing anggota group saling mempengaruhi sebagai upaya mencapai kesepakatan kelompok (group conformity) sehingga dicapai kepuasan bersama.
Communal minorities adalah communal group yang berdasarkan statistik anggota lebih kecil dibanding anggota kelompok lain. Namun dalam realitas komunitas, communal minorities tidak dibatasi oleh jumlah anggota groupnya. Diasumsikan penulis bahwa minoritas dapat disebabkan oleh ketidakmampuan kelompok untuk memperoleh kesempatan (opportunities), meliputi:
a. ketidakmampuan kelompok mengakses informasi,
b. ketidakmampuan kelompok mengakses modal,
c. ketidakmampuan kelompok mendapatkan kekuasaan (politics),
d. ketidakmampuan kelompok memperoleh ilmu pengetahuan, dan
e. ketidakmampuan kelompok memperoleh keadilan (justice/hukum, equity/keseimbangan dan equality/kesetaraan).
Pada umumnya, minoritas merupakan kelompok yang dideskriminasi oleh kelompok lain yang kuat/besar. Seperti halnya minoritas aborigin di Australia, minoritas taiwan di Malaysia, minoritas muslim di Bosnia dan sebagainya (Gurr, 1995, p.12-17). Akan tetapi bukan berarti minoritas jumlah selalu dideskriminasi, minoritas jumlah yang memiliki aset kuat (sehingga menjadi mayoritas ekonomi) justru dapat mendominasi kelompok mayoritas jumlah.
Dengan memanfaatkan modal ekonomi yang dimiliki, sebuah kelompok mampu menjadi dominator kelompok lain yang jumlahnya jauh lebih besar namun memiliki aaset kecil. Minoritas Yahudi di Amerika adalah contoh minoritas jumlah yang menjadi mayoritas, mampu menguasai bidang kerja politik, hukum dan pendidikan. Yang sangat terasa adalah kekuatannya sebagai pressure group dalam parlemen Amerika.

C. INDONESIA’s MINORITIES/ETHNIC MOVEMENT

Salah satu ciri menonjol perilaku minoritas adalah konsekuensi yang harus mereka bayar dengan kerja keras dan semangat memperoleh ‘suatu faktor’ yang dapat dijadikan alat mendapatkan aktualisasi diri.
Konsekuensi dapat berupa upaya maksimal untuk memperoleh ilmu pengetahuan, kekuasaan/pengaruh politik dan ekonomi. Namun umumnya minoritas lebih memilih konsekuensi yang berorientasi ekonomi, yaitu perjuangan memperoleh kekayaan melebihi kelompok mayoritas.
Komunitas Tionghoa di Indonesia adalah sebuah komunitas yang gigih untuk mengoleksi aset ekonomi. Sehingga tidak aneh jika sebagian besar pemilik modal (konglomerasi) di Indonesia berasal dari komunitas ini.
Etnis lokal yang sangat bekerja keras di tengah mayoritas adalah etnis Madura migrasi. Budaya bekerja keras tampaknya sangat dominan dan menjadi hal biasa bagi etnis ini. Secara psikologis, upaya etnis minoritas tersebut dilatarbelakangi terbatasnya social support yang dapat diperolehnya jika mereka memperoleh kesulitan.
Jika salah satu anggota keluarga mereka sakit misalnya, adalah merupakan tanggungjawab untuk mencari obatnya. Karena eksistensinya sebagai minoritas, ada perasaan ketidakmugkinan bagi mereka untuk mencari bantuan dari kelompok lain (out group) meskipun itu berupa pinjaman. Contoh tersebut menunjukkan faktor penyebab minoritas berjuang maksimal memperoleh dukungan ekonomi.
Ketika kelompok minoritas ini memiliki aset ekonomis yang besar, barulah mereka memperjuangkan keadilan. Konsep keadilan sendiri dapat dilihat dari segi equitas (keseimbangan), equalitas (kesamaan/kesetaraan) dan justice (perlakuan hukum/kebijakan).
Equitas dipandang dari rasio faktor yang telah disumbangkan dan hasilnya antara individu/kelompok yang satu dengan kelompok lain. Homans dan Adams (dalam West, et al., 1980, p.83) menggambarkan equitas dalam diagram berikut :




Aplikasi teori ini bagi minoritas group adalah dicarinya keseimbangan melalui komparasi (social comparation theory) besarnya keuntungan yang diperolehnya dengan besarnya keuntungan yang diperoleh kelompok lain. Keuntungan diperoleh dari pembandingan besaran hasil (outcomes) yang dinikmatinya dibagi atau dikurangi besarnya partisipasi/sumbangan (inputs) yang diberikan.
Equalitas didasarkan kepada sistem distribusi hasil-hasil kebijakan yang proporsional kepada semua kelompok yang ada. Distribusi kebijakan itu antara lain adalah kesempatan memperoleh penghasilan, pendidikan dan kekuasaan. Equalitas juga bermakna terdapatnya kesetaraan tanggungjawab, antara lain membayar pajak, turut menjaga soliditas pemerintah.
Sedangkan justice melibatkan perlakuan hukum yang tidak dideferensiasi antara satu kelompok dengan kelompok lain. Bukan berarti jika minoritas group lalu diberikan perlakuan hukum yang lebih merugikan dibandingkan mayoritas.
Harapan terjadinya equity, equality dan justice inilah yang mendasari upaya kelompok minoritas melakukan aksi-aksi. Terlebih hingga orde baru, banyak sekali kelompok yang ditekan oleh kepentingan kekuasaan dengan alasan untuk menjaga kesatuan dan persatuan negara. Padahal justru dengan pressure models yang diajalankan pemerintah waktu itu malahan memupuk benih-benih permusuhan tidak hanya kepada kekuasaan negara tetapi juga kelompok yang dianggap mayoritas.
Historical hostility yang mungkin telah bertahun-tahun direpresi minoritas group ditambah pressure pemerintah sebagai bentuk kebijakan legal, menjadi bentuk minority movement liberation. Minority movement liberation ini harus dicermati dengan sungguh sungguh. Sebab pergerakan ini merupakan bentuk konflik latent yang telah potensial menjadi konfrontasi (overt conflict).

III. PROSES MUNCULNYA KONFLIK

Tertekannya kelompok-kelompok minoritas selama bertahun-tahun dan menanamkan historical hostility sebagai bentuk latent/covert conflict seolah memperoleh kesempatan yang besar ketika orde baru tumbang pada sekitar akhir tahun 1997. Beberapa kelompok minoritas dan etnis mulai bergolak dan sulit diantisipasi oleh pemerintah. Euphoric kebebasan yang berlebihan pada era reformasi membuktikan bahwa sebelum era ini, dalam kurun waktu yang lama, minoritas dan etnis dialineasi oleh “sistem” dengan dalih untuk kepentingan yang lebih tinggi, yaitu kesatuan dan persatuan negara.
Etnis sekaligus kelompok minoritas yang terlihat sangat ‘agresif’ menyambut era kebebasan (menurut hemat penulis : kebebasan yang belum menemukan bentuknya) adalah keturunan Tionghoa. Banyak aktivitas terkait dengan etnis ini yang sekarang nyata-nyata dan tidak perlu takut-takut diselenggarakan bahkan secara masal. Tampaknya, untuk saat ini etnis yang lain masih dengan suka cita menyambut “hadirnya” budaya baru dari saudara mereka yang berkulit kuning.
Memang, dari sudut budaya, fenomena tersebut memberikan andil bagi pemerkaya budaya nasional. Namun dari sudut deferensiasi, semakin besar perbedaan yang ada dan terbuka di masyarakat. Tidak dipungkiri bahwa deferensiasi adalah pangkal konflik dalam komunitas. Terlebih jika terdapat sistem yang diskrimatif, sangatlah besar potensi konflik antar komunitas.
Apabila selama ini ada anggapan bahwa konflik dapat dimanajemen untuk peningkatan efektivitas, penulis ingin menegaskan bahwa retorik tersebut hanyalah berlaku bagi kelompok kecil dengan deferensiasi yang kecil pula. Jika sebuah kelompok memiliki anggota melebihi jumlah ratusan dengan heterogenitas anggota yang sangat tinggi, konflik hanya berfungsi sebagai pemecah kohesivitas kelompok.
Konflik, apapun bentuknya bukan merupakan modal untuk memperbaiki situasi. Namun dengan konflik akan tercipta kecenderungan kompetisi antar anggota kelompok maupun antar kelompok. Justru dengan kerjasamalah situai komunitas dapat ditingkatkan efektivitasnya. Kompetisi hanya diperlukan untuk proses inovasi, bukan untuk perebutan kekuasaan, perebutan kepentingan dan perebutan akses ekonomi.
Menurut dasar asal (nature source), konflik dapat dilihat dari sudut pandang berikut (Dennis J. D. Sandole dalam Sandole, et al., 1993, p. 7-12):
a. Faktor biologis;
Secara biologis manusia membawa sifat-sifat kebinatangan (etology) sehingga instingtifnya membawa pada sifat nature of the beast. Manusia suka untuk berkonfrontasi dengan manusia lain.
Freud mendefinisikan sifat manusia terdiskrit atas eros dan tanatos, individu akan berusaha untuk bertahan hidup sekaligus memiliki kecenderungan mati. Ketika eros mendominasi sifat dasar manusia, individu akan melakukan agresi untuk mengalahkan lingkungan luarnya (to be explotion). Tetapi ketika tanatos mendominasi, individu lebih suka dikuasai, dieksploitasi (to be implosion).
Sifat dasar spesies adalah keinginan untuk mempertahankan dirinya serta mempertahankan spesiesnya dari kepunahan. Alasan inilah yang menyebabkan spesies sering melakukan agresi dan tindakan (movement).
b. Psikologis
Menurut penelitian, sifat agresi manusia cenderung dipengaruhi oleh kapasitas saraf pusat manusia yang kontradiktif. Sistem limbic dengan amigdalanya membawa unsur agresivitas emosi (feelings) sedangkan neocortical membawa manusia pada penalaran yang panjang (rasional). Karena perbedaan itulah Paul MacLean menyatakan bahwa dalam diri manusia sendiri telah ada konflik kejiwaan (Restak, 1979, p. 51-52). Konflik kejiwaan manusia terbawa dalam perilaku hubungannya dengan masyarakat luar. Malah, ketika emosi tidak dapat dikendalikan berakibat pada munculnya symptom agresi terhadap pemberi rangsangan emosi.
c. Bandura’s Learning Theory
Learning theory menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh adanya proses belajar individu. Stimulus yang diberikan oleh lingkungan akan dipelajari dan diberikan respon. Setiap kali stimulus ditanggapi, maka efektivitas respon yang diberikan akan dipelajari individu. Stimulus yang menyebabkan ketidaksenangan individu akan direspon negatif dan respon akan menjadi sangat agresif jika respon yang nilai negatifnya rendah tidak mampu menanggapi stimulus.


d. Dissonan Theory
Disonan teori berkaitan dengan adanya ketidaksesuaian antara nilai yang diharapkan (Value expectation) dengan nilai yang pada akhirnya diperoleh seseorang (value capabilities). Karena terjadi disonan, individu akan berusaha mencari konsonannya salah satunya adalah dengan melakukan bargaining dengan lingkungannya. Bargaining dilakukan dengan berdiplomasi dan dapat muncul menjadi konflik terbuka. Open conflict terjadi manakala terjadi frustrasi mengalami peningkatan, peningkatan frustrasi adalah sebagai berikut :
Frustrasi karena agresi – agresi berlanjut dikuatkan dengan campurtangan pihak ketiga yang cenderung memihak – meningkatnya frustrasi – melahirkan “dendam keturunan” – berujung pada terjadinya konfrontasi.

Sedangkan Ted Robert Gurr menyatakan terjadinya konflik dalam skema berikut ini (Gurr, 1995, p. 125) :



gambar disini









Catatan : disesuaikan untuk communal-minority conflict

Terdapat faktor dukungan sosial dan kondisi tidak menguntungkan yang menjadi karakteristik communal minority. Ditambah kontrol yang sangat menekan oleh pemerintah (atau kelompok lain yang lebih kuat), mendominasi communal minority maka memunculkan keluhan sekaligus menjadi potensi termobilisasikannya massa. Menguatnya keluhan sebagai manifestasi ketidakpuasan communal minority, terjadilah mobilisasi massa dalam bentuk demonstrasi dan bahkan pembangkangan kebijakan. Apalagi jika sistem politik dalam institusi bersifat sangat demokratis, besar kemungkinan terjadi konflik.
Penulis, menggambarkan skema terjadinya konflik antara communal minority dengan kelompok lain terlihat dalam skema berikut :















Penulis menganggap bahwa ada semacam pola pikir kelompok (groupthink) baik resional maupun irasional. Pola pikir kelompok sangat dipengaruhi oleh kedewasaan, kecakapan dan pengalaman emosi pengikut/anggota. Selain itu, pikiran kelompok juga dipengaruhi oleh pola kepemimpinan leader kelompok tersebut.
Groupthink ini berisikan faktor-faktor penyusun kohesivitas kelompok sekaligus menemukan stereotyping outgroup. Nilai-nilai ingroup dan pertentangan antara stereotyping versus realitas outgroup menjembatani munculnya potensi konflik. Jika terjadi stimulasi spesifik (masalah ekonomi, sosial, politik, agama, dan lain-lain) akan memunculkan respon berupa konfrontasi dengan kelompok lain.
Pines dan Maslach menyatakan terdapatnya 8 symptom groupthink dimana salah satunya adalah symptom stereotypes kepada outgroup (Pines, et al., 1993, p. 139). Pendapat senada disampaikan oleh Andrea Williams bahwa stereotyping dapat bernilai negatif namun juga bisa bernilai positif. Ketika stereotipe bernilai negatif, terpiculah konflik antar kelompok (Williams dalam Herman, 1995, P. 16).

IV. RESOLUTION FOR CONFLICT BETWEEN COMMUNITY : ALTERNATIVES

Penulis ingin menegaskan kembali bahwa apapun bentuknya, konflik akan menimbulkan kerugian bagi komunitas. Jika terdapat keuntungan, yang diperoleh hanyalah pengalaman yang berisikan konsep kognitif tentang faktor penyebab konflik dan alternatif mengatasi konflik. Namun penulis juga lebih menandaskan bahwa konflik dalam komunitas adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan.
Kerjasama yang saling menguntungkan akan lebih bermakna dibandingkan konflik, tentu saja demikian hipotesisnya. Namun karena konflik dapat dipastikan akan selalu ada, bukan berarti konflik harus dicegah kemunculannya. Tidak baik juga jika konflik direduksi atau bahkan direpresi, proses itu hanya akan memupuk potensi konflik dan sewaktu-waktu dapat meledak dalam kapasitas yang sangat besar.
Karena sifat konflik yang tidak dapat dihindari dan tidak sehat apabila direpresi, maka konflik harus dipelajari untuk diketahui sebab-sebab dasarnya, proses terjadinya, tipologi komunitas yang terlibat konflik dan model resolusi yang dapat dijadikan acuan alternatif penyelesaian konflik.
Selanjutnya apabila diamati, terjadinya konflik baik yang melibatkan communal minorities maupun communal ethno-nationalist menurut penulis cenderung disebabkan faktor-faktor berikut :
a. Kesenjangan ekonomi sosial antar kelompok;
b. Prasangka etnis (stereotyping);
c. Ketersinggungan budaya;
d. Akumulasi konflik yang direduksi sebelumnya;
e. Ketidakkonsistenan implementasi kebijakan dan sistem negara;
f. Ambiguitas hukum dan tertib (norma) sosial;
g. Keterbatasan komunikasi (human relation) dan kerjasama lintas kelompok yang berdeferensiasi (agama, etnis);
h. Arogansi politik dan kekuasaan;
i. Upaya pembangkitan kembali ritus kekerasan (budaya perang ada pada hampir semua suku di Indonesia).
Konflik etnis Cina – Jawa di kota Semarang (1980-an) dimotori oleh faktor-faktor kesenjangan ekonomi sosial, prasangka etnis, akumulasi konflik dan keterbatasan komunikasi dan kerjasama secara simultan. Faktor-faktor dasar tersebut kemudian dipicu oleh spesifically accident yang dibiaskan informasinya oleh kelompok tertentu atau mungkin karena ketidakjelasan informasi yang kemudian dengan tidak sengaja terjadi bias informasi. Keajdian khusus itu adalah kecelakaan kecil (serempetan mobil/Cina dengan sepeda motor/Jawa) yang menyebabkan luka kecil pengendara sepeda motor dan harus dirawat di rumah sakit. Informasi yang kemudian menyebar adalah kecelakaan yang menyebabkan luka berat dan kemudian diikuti pemukulan(kekerasan) kepada pengendara sepeda motor hingga korban tewas. Bias informasi inilah yang yang menyulut faktor dasar menjadi sebuah konflik antar etnis (confrontasi) terbuka.
Demikian juga yang terjadi ketika konflik etnis Cina- Jawa di Surakarta terjadi pada tahun 1997-an, kemudian konflik etnis Cina-Sasak di Lombok. Atau juga konflik etnis lain misalkan Dayak-Madura (2001), Madura – Sunda. Kondisi serupa terjadi pada konflik agama (di Ambon) yang faktor-faktornya kemudian menjadi rancu karena informasi yang berkembang mengalami bias.
Meski banyak faktor penyebab konflik, sebenarnya penulis mengasumsikan hanya ada satu inti penyebab (nucleus factor) yang berfungsi general yaitu adanya struktur/stratifikasi kelas (class structure) dalam masyarakat. Struktur kelas yang unequilibrium merupakan pemicu potensi konflik. Struktur kelas melahirkan deferensiasi kelompok menjadi :
a. Kelompok yang memiliki kekuasaan (mayoritas/dominan);
b. Kelompok yang memiliki fungsi kontrol (netral);
c. Kelompok yang berada pada kelas minoritas (submit);
Sehingga untuk menjaga social equilibrium harus dibuatkan keseimbangan kesempatan (equilibrium opportunity) bagi semua kelompok dengan cara memperpendek jarak kelas. Pemberdayaan kelas minoritas (minority empowerment based equilibrium community) adalah strategi yang mungkin dapat diterapkan. Hanya menyusun alternatif konseptual minority empowerment based equilibrium community approach itu sangat sulit. Karena equilibrium menyangkut persepsi nilai keadilan. Keadilan sendiri memiliki hakekat yang subyektif, terlebih persepsi individu memiliki bias subyektif yang sangat tinggi.
Pendekatan resolusi konflik yang ditawarkan oleh Bazerman dan Neale (dalam Herrman, 1994, p. 70) sebagaimana dibawah ini merupakan alternatif resolusi :
a. Identifikasi kelompok/individu yang berkonflik;
Lagkah awal resolusi konflik adalah mengidentifikasi kelompok-kelompok mana yang berkonflik dan bagaimana karakteristiknya. Langkah ini sekaligus untuk membuka wilayah privat kelompok yang berkonflik dengan intervenee (penengah/arbritator) sehingga tercipta keterusterangan dan ‘penerimaan’ guna memperoleh informasi yang lebih besar;
b. Mengidentifikasi apakah kelompok yang berkonflik menyadari exsistence, nature and cause of the conflict;
Intervenee hendaknya mencari tahu seberapa besar kelompok/bagian dari kelompok menyadari bahwa mereka sedang berkonflik dengan kelompok lain. Fungsi social mapping memiliki peran besar pada fase ini, yakni menentukan jangkauan/luas konflik dalam komunitas. Intervenee juga hendaknya mengidentifikasi sejauh mana kelompok memahami aspek-aspek prinsip konflik (seperti apa konflik dimunculkan : cognitif conflict, argument conflict, or violence conflict). Selanjutnya diidentifikasi juga apakah kelompok mengerti sebab-sebab konflik. Jika kelompok mengerti sebab-sebab konflik akan memudahkan melakukan intervensi resolusi konflik.
c. Indentifikasi homogenitas pemahaman sebab-sebab konflik, eksistensi konflik dan aspek konflik;
Menentukan adakah persamaan penilaian kelompok yang berkonflik mengenai sebab konflik, kesadaran sepenuhnya bahwa mereka berkonflik dan memahami aspek konflik. Semakin banyak kesamaan antara kelompok yang berkonflik, semakin besar kemungkinan resolusi konflik berjalan mudah. Intervenee dapat memberikan pandangannya kepada kelompok berkonflik untuk menyatukan pandangan terhadap konflik komunitas.
d. Identifikasi isu-isu kelompok yang bertikai;
Menentukan sejumlah isu yang muncul dari kelompok yang bertikai, mempelajarinya dan menentukan sejauhmana isu tersebut benar dan disepakati kebenarannya oleh kelompok yang bertikai.
e. Identifikasi kebutuhan-kebutuhan kelompok yang bertikai yang menguatkan meletusnya konfrontasi;
f. Penyusunan agenda pertukaran informasi dan pengembangan jalur komunikasi antara kelompok yang berkonflik dimediasi oleh institusi yang memiliki affirmatif policy.
g. Rekonsiliasi sosial dan penyusunan konsensus sebagai bentuk resoluasi konflik.
Resolusi konflik selalu berhubungan erat dengan menang atau kalah dari kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Nilai yang diperoleh jika terjadi resolusi win-win solution memiliki kecenderungan tidak bertahan lama. Sebab utamanya adalah fenomena sosial yang bergerak sangat cepat, sehingga sebuah nilai sosial cepat pula mengalami perubahan.
Herman menggambarkan konsep win versus lose solution untuk resolusi konflik dalam bagan berikut (Herman, 1994, p. xxvii)


















Disampaikan bahwa respon terhadap konflik dapat berupa menghindari konflik, menyerah tanpa melakukan pertimbangan/tanpa syarat, membangun kerjasama/koalisi dan melakukan konfrontasi (open konflik).
Ketika konflik muncul (baik yang overt maupun covert) maka upaya resolusi dilakukan oleh pihak yang berkonflik. Upaya resolusi dapat dilakukan sendiri oleh pihak yang berkonflik, namun dapat meminta bantuan pihak ketiga. Bantuan pihak ketiga dapat berupa mediasi maupun arbritasi. Mediasi dapat dilakukan pada konflik antar kelompok yang jumlahnya kecil sebab anggota kelompok yang berkonflik dipertemukan oleh seorang ‘penengah’ untuk menyusun konsensus. Arbritasi dilakukan pada kelompok yang jumlah anggotanya besar sehingga tidak semua anggota kelompok yang berkonflik dapat dihadirkan. Pihak berkonflik diwakili oleh tim yang dipilih dan ditengahi oleh pihak ketiga sebagai sebuah tim.
Penyelesaian konflik aceh antara GAM dengan Republik Indonesia dibantu oleh pihak ketiga sebagai arbritator yakni Henry Dunant Center. GAM diwakili oleh tim dari pimpinannya yang dipilih anggota, RI diwakili oleh pejabat-pejabat yang kompeten dan ditengahi oleh tim dari HDC.
Berbeda pada kasus penyelesaian konflik etnis minoritas (khususnya Tionghoa versus Jawa), lebih cenderung direpresi oleh kekuatan legitimasi pemerintah dengan dukungan militer sebagai pressure group. Akibatnya, sebagaimana disebutkan dimuka, konflik etnis yang direpres selama ini justru menghasilkan historical hostility yang memiliki potensi terjadinya konfrontasi dengan kuantitas dan kualitas yang lebih besar. Sistem akulturasi budaya dan asimilasi comunitas merupakan cara yang baik untuk penyelesaian konflik. Namun ketika salah satu etnis mengalami euphoric cultural-exhibiton dan cenderung mendominasi, akan memunculkan cultural competition dan mengundang kerawanan konflik. Sehingga akulturasi dan asimilasi yang dibina dalam tempo yang lama dapat dengan mudah terdestruksi.
Fenomena tersebut diatas terjadi pada konflik etnis Dayak versus Madura di Sampit. Asimilasi dan akulturasi terdestruksi oleh unequal-nya struktur ekonomi dan budaya. Ketika budaya Madura mendominasi dan mengarah pada upaya dominasi politik/kekuasaan, konfrontasi dalam bentuk perang etnis menjadi produk konflik.
Resolusi konflik Sampit sampai saat ini belum dapat tercapai karena terjadi social shock yang sangat berat. Sehingga untuk sementara salah satu konflik sebaiknya menghindar dari wilayah konflik sampai kejadian kekerasan telah dilupakan. Meski demikian kecenderungan munculnya kembali konflik etnis sangat besar potensinya, penyebab prinsipnya adalah terjadinya akumulasi konflik dan social shock yang membekas dalam memori kelompok yang berkonflik.
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk resolusi konflik dapat dipahami dari skema dibawah ini :















Proses komunikasi menjadi faktor utama resolusi konflik. Dengan komunikasi yang terbuka akan membangun pemahaman bersama antara kelompok yang berkonflik. Pemahaman bersama terbangun dalam sebuah diskusi yang memiliki isi yang makin varians. Ekspektansi dilakukannya diskusi adalah dapat tersusunnya opsi dan alternatif kerjasama sebagai bentuk penyelesaian konflik. Dengan Alternatif tersebut diupayakan terbangun trust (percaya) dan komunikasi imbal balik yang produktif. Trust dan komunikasi hendaknya didukung dengan prinsip berbagi informasi (share information) dan pemahaman adanya kepentingan yang sama dan dipahami sebagai kepentingan yang lebih tinggi tanpa memandang rendah adanya kepentingan yang berbeda.
Dengan konsep resolusi konflik tersebut, komunitas akan terjaga dalam jaringan kerjasama dan menghambat munculnya konflik. Karena harus disadari bahwa konflik hanya akan menciptakan kerugian sebagai dampak langsungnya.
------ddk -----
DAFTAR PUSTAKA


Gurr, T. R., 1995, Minorities at Risk; A Global View of Ethnopolitical Conflicts, Washington, USA : Institute of Peace

Hardvard Business Review, 2000, Harvard Business Review on Negotiation and Conflict Resolution, USA : A Harvard Business Review Paperback

Herman, M. S., 1995, Resolving Conflict : Strategies for Local Government, Washington, USA : ICMA

Johnson, D. W., and Johnson, F.P., 2000, Joining Together; Group Theory and Group Skills 7th Ed., London : Allyn and Bacon

Pines, A., and Maslach, C., 1993, Experiencing Social Psychology : Reading and Projects, NY : McGraw-Hill

Rainey, H.G., 1997, Understanding and Managing Public Organizations, San Francisco : Jossey-Bass Publisher

Restak, R. M., 1979, The Brain : The Last Frontier, New york : Doubleday

Sandole, D. J. D., and Merwe, H. v. d., 1993, Conflict Resolution Theory and Practice : Integration and Aplication, Manchester : Manchester University Press

West, S.G., and Wicklund, R.A., 1980, A Premier of Social Psychology Theories, California : Brooks/Cole Pub.