Mengenai Saya

Selasa, 30 September 2008

IMPROVEMENT KAWASAN SLUMS DAN SQUATTERS DI PERKOTAAN


ACUAN :
Kumorotomo, W., Darwin, M., dan Faturochman, 1995, The Implementation of Slums and Squatters Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta, Jurnal Populasi, 6 (2), 1995


PENDAHULUAN

Pembangunan kawasan selalu berorientasi pada penyediaan infrastruktur fisik. Umumnya, infrastruktur fisik perkotaan selalu berkutat masalah suplai air bersih, sanitasi, perawatan jalan dan suplai tenaga listrik (Devas, et al, 1993, p.136). Kesalahan perencanaan dan pembangunan fasilitas drainase sering mengakibatkan bencana kekurangan air bersih maupun bencana banjir.
Meski demikian, masalah yang selalu menjadi kendala baik di masyarakat perkotaan maupun pedesaan hampir disemua negara adalah permasalahan perumahan, pelayanan kesehatan, pelayanan oleh aparat pemerintahan (human service), isue etnik, agama, kelas sosial-ekonomi, kesetaraan gender dan eksploitasi anak-anak. Apalagi dinegara berkembang di Asia Tenggara yang memiliki heterogenitas tinggi permasalahan tersebut. Indonesia adalah yang paling kaya dalam kepemilikan perbedaan Etnik, Agama, strata, value tentang gender dan eksploitasi anak dibawah umur.
Cepatnya perubahan sosial tersebut merupakan konsekuensi proses pembangunan dengan istilah modernisasi, industrialisasi dan ilmu dan teknologi yang membawa perubahan pola pikir dan pola perilaku masyarakat , sebagaimana pendapat Clark yang dikutip oleh Purwanita Setijanti(Setijanti, 2001, pp. 1-1).
Meski disadari bahwa ujuan dinamika sosial yang demikian cepat itu adalah terciptanya masyarakat-kesejahteraan (re-establishing the welfare-citizenship), yaitu pendekatan humanity, equity, progresive redistribution, caring and socal justice, sebagai pertanda masyarakat berkesejahteraan. ( Ife, 1996, p. 5) dan masyarakat setuju serta berbagi kepercayaan bahwa komunitas adalah unit untuk memecahkan berbagi variasi yang ada dalamnya (Durning, 1989 dalam Checkoway, 1995 p. 1) namun disadari pula bahwa tujuan ideal tersebut tidak dapat dicapai sesuai dengan harapan. Selalu ada kekurangan dan kelemahan pada akhir program pembangunan.

PENGERTIAN KUMUH (SLUMS) DAN LIAR (SQUATTERS)

Masyarakat umumnya menggeneralisasi istilah kumuh dan liar itu sebagai satu kesatuan bentuk makna meliputi (Kumorotomo, et al., 1995. p. 34):
a. Menempati wilayah orang lain tanpa ijin;
b. Tinggal di rumah yang bobrok dan padat;
c. Biasanya hidup dibawah garis kemiskinan.
Namun ditekankan oleh Kumorotomo dkk. bahwa ada perbedaan krusial antara lingkungan kumuh (slums) dengan lingkungan liar (squatters). Squatters adalah suatu bagian wilayah atau bagian bangunan yang diganggu/ditempati tanpa ijin dari pemiliknya sedangkan slums adalah suatu lingkungan yang ditempati masyarakat dengan kondisi rumah rata-rata bobrok (reyot), padat dan cenderung tidak memenuhi unsur kesehatan, rentan terhadap kebakaran dan rentan terhadap terjadinya tindak kejahatan (Kumorotomo, dkk., 1995, p.34).
Pendapat senada disampaikan oleh Lana Winayanti yang menyatakan bahwa squatter sebagai illegal settlements (tempat tinggal ilegal) atau informal settlements. Sedangkan Slums sebagai komunitas kota yang miskin dan tidak memiliki akses kepemilikan tanah dan hak atas keamanan tempat tinggal tetap (Winayanti, 2001, p. 5-1). Sementara Emiel A. Wegelin menyatakan bahwa squatter and slums area adalah wilayah yang memiliki akses terbatas terhadap persediaan air bersih, drainase dan pengendalian banjir, sanitasi dan jalan (Wegelin dalam Suselo, et l, 1995, p. 236). Sedangkan Pius S Prasetyo hanya menyatakan bahwa Slums and squatter sebagai pemukiman-pemukiman spontan (spontaneous settlement) sebagai dampak perkembangan kota dan tergesernya petani-petani tradisional (Prasetyo dalam Potensia, 1995, p. 44-46).
Dari penjelasan diatas, maka sebenarnya dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. yang dimaksud squatter adalah lingkungan tempat tinggal masyarakat dimana (sebagain atau seluruhnya) lahan dan/atau bangunan yang ditempati mereka tidak memperoleh ijin dari pemiliknya (pemerintah, swasta atau individu lain);
2. yang dimaksud slums adalah lingkungan tempat tinggal yang tidak layak huni dan tergolong berada pada substandart hidup dengan karakteristik rumah reyot/bobrok, padat dan rendahnya akses terhadap air bersih, drainase, sanitasi, jalan serta rentan terhadap penyakit dan tindak kejahatan;
3. penyebab terjadinya slums dan squatter adalah :
a. perkembangan kota yang menarik minat penduduk sekitarnya untuk mengambil kesempatan memperoleh pekerjaan (formal) dan biasanya lebih banyak pada akses pekerjaan informal;
b. tergesernya petani-petani tradisional oleh kebutuhan lahan untuk industri dan pemukiman diwilayah pinggiran kota dan pedesaan.

PEMBERDAYAAN KAWASAN (COMMUNITY EMPOWERMENT)

Pemerintah biasanya terjebak oleh identifikasi masalah kawasan pada sudut pandang perbaikan fisik (fisically improvement). Karena infrastruktut fisik memang sangat mudah diidentifikasi dan juga sangat mudah untuk diintervensi guna perbaikan. Pada saat awal proses pembangunan di Indonesia, pembangunan fisik juga menjadi target utama perbaikan kualitas kawasan. Baru setelah disadari bahwa pembangunan fisik tanpa ada dukungan perilaku dan moral yang baik, pembangunan fisik mulai diikuti oleh konsep pembangunan nonfisik. Perubahan perilaku, tingkat pendidikan, ketrampilan dan wacana pengetahuan menjadi faktor penting dalam pembangunan.
Banyak program yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun pemimpin informal diwilayah tertentu guna meningkatkan kondisi kawasan yang lebih baik. Kampong Improvement Program (KIP), Community Based Development, Proyek Kali Bersih, dan sebagainya, adalah beberapa contoh program peningkatan kondisi kawasan. Program ini dijalankan hampir merata disemua kota-kota besar khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Di Indonesia, Kampong Improvement Program misalnya diselenggarakan di Yogyakarta tepatnya di Terban (Kumorotomo, dkk., 1995, p. 35). Kemudian di Aceh disekitar sungai Krueng Aceh (Arif, 2001). Di Surabaya KIP diselenggarakan untuk normalisasi sungai Kalimas (Rusli, 2001) selanjutnya Urban Projects yang diselenggarakan di Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Ujungpandang, Padang, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Yogyakarta, Denpasar (dibiayai IBRD), Bandung, Medan dan Kota-kota di Jawa Tengah dibiayai ADB (Hendropranoto Suselo dan John L Taylor dalam Suselo, et al., 1995, p.14) adalah contoh upaya empowerment komunitas kota besar dan kecil di Indonesia yang cenderung kumuh dan liar.
Namun demikian, program empowering komunitas tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan komunitas di perkotaan. Saban kali dilakukan proyek perbaikan, akan muncul permasalahan serupa di tempat lain didalam kota itu sendiri.
Observasi yang dilakukan oleh penulis di kota Semarang atas Community Based Development Programs di Kelurahan Bandarharjo dan Kuningan hanyalah mampu menyelesaikan permasalahan fisik lingkungan. Sedangkan faktor nonfisiknya terlihat sepintas tidaklah maksimal.
Perlu disampaikan disini kondisi Bandarharjo Semarang sebelum CBD dilaksanakan bahwa wilayah tersebut selalu tergenang air. Pada musim kemarau, air laut menggenangi sebagian besar perkampungan tersebut selama 24 jam terus menerus sedang sebagian lain dapat terhindar dari genangan hanya pada siang hari antara pukul 11.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB. Sedangkan pada musim penghujan wilayah tersebut seolah menjadi “dam penampungan” aliran air hujan dari kota.
Kondisi perumahan yang padat, kumuh dan tentu saja sangat tidak higienis karena ‘banjir tetap’ banyak memberikan kerugian dibandingkan keuntungan bagi masyarakat di kawasan tersebut. Pemerintah Kota Semarang mencoba merencanakan perbaikan kawasan tersebut pada dengan dana dari IBRD dan ADB berupa pembangunan Flat, pavingisasi jalan, drainase, dan sistem pompa buka tutup untuk sungai Semarang dan sungai Kali Baru. Secara Fisik, Bandarharjo saat ini (2002) telah terbebas dari genangan dan menjadi kawasan yang sedikit layak huni dan telah ada program sertifikasi tanah negara untuk dimiliki sah sebagai tanah rakyat.




Gambar 1 disini .








Gambar 2 disini





Temuan yang diperoleh penulis dari observasi yang dilaksanakan di kawasan bandarharjo kota Semarang setelah pelaksanaan Community Based Development meliputi :
a. bahwa kualitas hubungan interpersonal yang keras,
b. budaya membuang sampah dan membuang hajat di selokan/kali,
c. banyaknya tenaga muda pengangguran,
d. jumlah wanita produktif yang tidak dapat mengakses upaya pencarian income tambahan (ekonomi),
e. tergesernya penduduk asli oleh pendatang baru yang lebih mampu (memiliki aset)
f. kurangnya upaya pemberdayaan wanita/ibu rumah tangga untuk mengembangkan potensi usaha pengrajin ikan (dapat dikembangkan usaha pengasapan ikan, kerupuk ikan, keripik kulit ikan kakap, dll. dimana Bandarharjo memiliki sumberdaya alam tersebut),
g. Jumlah anak usia sekolah yang besar , serta
h. rendahnya akses terhadap pendidikan adalah kondisi yang saat ini dihadapi oleh pemerintahan lokal (kelurahan).
Penulis meyakini, jika observasi dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama, kemungkinan besar akan terdapat banyak temuan masalah dikawasan yang sekarang tampak lebih baik itu. Sebab penulis berasumsi bahwa ada banyak sekali warga lama yang pindah karena tergiur oleh naiknya harga tanah di Kawasan itu setelah selesai program CBD. Beberapa penduduk yang pindah dari kawasan Bandarharjo (diinformasikan oleh warga yang masih menetap) telah menjual tanah dan rumahnya dan sekarang ada yang menempati kawasan baru (penulis mengindikasikan sebagai kawasan liar setelah diamati) di sisi jalan bebas hambatan (jalan Tol) Tembalang – Kaligawe (Semarang). Mereka menghuni gubug kecil yang tidak sehat serta besar kemungkinan mereka menempati tanah orang lain. Menurut warga disekitar wilayah ini, tanah tersebut adalah tanah wakaf masjid besar Semarang.
Perlu dikemukakan oleh penulis juga bahwa untuk bisa memasuki kawasan-kawasan yang terkena program Improvement fisik, biasanya sangat sulit. Seolah-olah ada sesuatu yang sengaja ingin disembunyikan dan penulis belum mampu menyusun asumsi awal adanya masalah yang spesifik sehingga ada upaya penolakan terhadap observer yang secara formal datang kepada pengurus paguyuban kawasan improvement.
Oleh sebab itu, penulis berasumsi bahwa ada faktor lain yang menyebabkan seseorang untuk tetap bertahan pada komunitas slums dan squatter. Bisa jadi mereka telah memiliki budaya miskin.
Banyaknya masalah nonfisik tersebut justru muncul setelah secara fisik permasalahan kawasan kumuh dan liar diselesaikan, menuntut improvement kawasan dari segi nonfisik. Program pengubahan perilaku warga suatu kawasan yang hendak diimprovement agar sesuai dengan tata nilai kita. Memang improvement nonfisik membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar karena berkait dengan ciri-ciri perilaku seseorang maupun kelompok.

BAGAIMANA CARA MELAKUKAN PENGUBAHAN KOMUNITAS ?

Memberdayakan seharusnya memiliki pengertian meningkatkan (Improvement). Improvement adalah proses pengubahan (to change), yaitu mengubah perilaku seseorang atu sekelompok orang agar sesuai dengan perilaku yang kita harapkan. Pengubahan meliputi aspek :
a. Fisik yaitu kondisi rumah, jalan, drainase, penyediaan air bersih, fasilitas pendidikan, fasilitas pelayanan kepemerintahan, fasilitas rohani;
b. Nonfisik meliputi tata nilai dan perilaku masyarakat (keacuhan pada kesehatan, pendidikan, etika, dan care kepada sesama).

Berikut adalah faktor-faktor yang dapat dijadikan setrategi pengubahan kawasan :

a. PARTISIPASI DAN MOBILISASI MASA
Kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan lebih besar terhadap terselenggaranya partisipasi masyarakat (Prasetyo, 1995, p.62). Selanjutnya Prasetyo menyatakan bahwa tanpa asas kebersamaan maka pemerintah yang mengalami kendala dalam hal kurangnya kemampuan dan dana untuk pembangunan kota disamping pengendalian pembangunan perumahan liar (squatter) dan upaya pengelolaan lingkungan (slums), tak mungkin memecahkan sendiri.
Pendapat senada dikemukakan oleh Kumorotomo, Darwin dan Faturochman bahwa partisipasi diantara penghuni (squatters and slums area’s) dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Kumorotomo dkk., 1995, p. 42). Sementara Checkoway menyebutkan partisipasi dalam bentuk lain yakni mobilisasi masa (mass mobilization) untuk menjalankan aktivitas tertentu sebagai ujud keikutsertaan follower (Checkoway, 1995, p. 5).

b. SOCIAL ACTION
Hampir menyerupai bentuk mobilisasi massa, aksi sosial bertujuan mengorganisir masyarakat dalam kawasan tertentu agar tertarik untuk terlibat dalam perubahan kawasan tersebut. Aksi sosial memiliki makna pemilik kekuasaan (powerful) yang harus aktif mengimprovement orang-orang dilingkungannya agar bersedia berubah dan pemilik kekuasaan juga bersedia share kekuasaan dengan orang-orang dilingkungannya tersebut (Checkoway, 1995, p.7).
Pendapat serupa disampaikan Kumorotomo dan kawan-kawan bahwa pemerintah harus mengetahui peran informal leaders (to share the power) sebagai perantara pengakomodasian interest antara pemerintah dengan masyarakat kawasan yang hendak dikenai kebijakan (Kumorotomo, 1995, P. 42).

c. ADVOKASI PUBLIK
Strategi intervensi kepada kepentingan publik ini masih jarang dilakukan. Kecenderungan yang terjadi adalah adokasi yang diberikan kepada pemilik kekuasaan dan/atau advokasi kepada pemilik modal. Rakyat yang selama ini menjadi obyek proses pembangunan sering terabaikan dari pembelaan atas ketidakadilan. Legislatif sebagai wakil rakyat yang seharusnya memberikan advokasi kepada rakyat, justru berfungsi sebagai alat bagi partai politik untuk mencapai tujuan kelompok dan memandulkan fungsinya sebagai pembela kepentingan rakyat. Seharusnya, legislatif aktif melakukan reasearch, personal contact untuk mencari informasi guna pembelaan pada masyarakat demi kesejahteraan seluruh masyarakat (Checkoway, 1995, p. 11). Maka menurut hemat penulis, yang harus diimprovement dalam lingkup lembaga negara, sesungguhnya justru adalah lembaga legislatif agar mereka bisa care (peduli) sehingga mampu menjalankan fungsi cure (merawat) rakyatnya.

d. PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS PENDIDIKAN
Akses terhadap pendidikan di Indonesia sangatlah rendah, terlebih pada masyarakat dikawasan slums dan squatter yang biasanya kawasan marjinal perkotaan dan kawasan pedesaan. Indonesia selama inipun merupakan negara yang sangat terbelakang dalam peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Banyak generasi yang tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang mereka harapkan. Bahkan ketika program pendidikan dasar 9 tahuh dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru, masih cukup besar masyarakat yang tidak dapat memberikan kesempatan kepada warga usia sekolah untuk mendapatkan pendidikan di sekolah.
Kondisi rendahnya akses pada jalur pendidikan diperparah oleh merebaknya resesi pasca reformasi. Kesulitan ekonomi yang mendera masyarakat terlebih kalangan bawah, menjadi pemicu makin lemahnya akses masyarakat pada pemenuhan kebutuhan pendidikan dasar dan menengah pertama.
e. PENINGKATAN PELAYANAN OLEH PEMERINTAHAN LOKAL
Ujung tombak pelayanan pemerinatahan dalam konteks otonomi daerah saat ini terletak pada jajaran pemerinatahan Keluarahan/Desa. Baru setelah itu pada jajaran pemerintahan tingkat atasnya. Artinya, profesionalisme aparat pemerinatahan ditingkat bawah menjadi faktor yang perlu diperhatikan secara seksama.
Penulis berasumsi bahwa guna meningkatkan kemampuan intervensi pemerintah, improvement kelembagaan pada tingkat bawah dengan empowerment sumber daya manusia dan fasilitas pelayanan pulik perlu dilakukan sesegera mungkin.
Jarang ada masyarakat memenuhi kebutuhan pelayanan publik oleh pemerinatah, harus bersusah datang ke kabupaten yang berjarak cukup jauh. Masyarakat akan menganggapnya tidak efisien. Sehingga untuk pelayanan publik, pemerintah harus berani mem-breakdown kebijakan dan kewenangannya kepada pemerintahan di tingkat bawah yang memiliki keintiman link dengan masyarakat.

f. KETERLIBATAN PIMPINAN INFORMAL
Didalam masyarakat, dipastikan terdapat tokoh-tokoh yang dianggap tetua oleh masyarakat dikawasan itu. Tokoh masyarakat ini memiliki ikatan psikologis yang kuat dengan masyarakat kawasannya sehingga memiliki kemampuan yang besar untuk mengintervensi masyarakatnya (Kumorotomo, et al., 1995, p.36). Oleh sebab itu, keterlibatan langsung tokoh masyarakat ini akan sangat membantu keberhasilan pelaksanaan program pengubahan komunitas. Di Yogyakarta, masyarakat pasti mengenal tokoh Kapung Improvement Program dengan model selp help mechanism yang dikenal bernama Romo Mangun (Kumorotomo et al., 1995, p. 36)

KESIMPULAN
Faktor yang utama dalam program pemberdayaan kawasan apapun nama programnya, yang pertama kali harus dibangun adalah Trust. Yakni kepercayaan masyarakat kawasan itu kepada pihak yang melakukan improvement, bahwa mereka (masyarakat kawasan) akan memperoleh keuntungan dari program itu, kepercayaan masyarakat bahwa dengan program itu mereka akan dapat hidup lebih baik. Dengan trust, seorang agen perubah akan menjadi bagian tak terpisahkan (Wonge dhewe) dari masyarakat itu sehingga memudahkan intervensi.
Selanjutnya adalah bagaimana membentuk care. Yakni kepedulian kepada masing-masing individu dalam kawasan bahwa mereka memiliki hak dan tanggungjawab yang sama untuk merencanakan, melaksanakan dan saling mengontrol proses improvement kawasannya. Dengan modal care, masyarakat merasa diperhatikan sehingga ada nilai diri (diwongke). Akibatnya tentu diharapkan akan muncul kesadaran diri (self consciousness) yang memacu tumbuhnya selp help mechanism dalam community change.
Baru setelah terbentuk trust dan care, agen pengubah memilih strategi yang dianggap lebih berdaya dan berhasil guna. Hendaknya, sebuah program improvement kawasan harus bersifat sustainability empowerment.


-----------dd----------








DAFTAR BACAAN

Arif, K.A., 2001, Contributing of Heritage Conservation to Urban Revitalization in Banda Aceh, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Checkoway, B., 1995, Six Strategies of Community Change, Community Development Journal Vol. 30 No. 1

Devas, N., and Rakodi, C., 1993, Managing Fast Growing Cities : New Approaches to Urban Planning and Management in the Developing World, England : Longman Scientific and Technical

Ife, J., 1996, Community Development, Creating Community Alternatives-vision, Analysis and Practice, Melbourne Australia : Longman

Kumorotomo, W., Darwin, M., Faturrohman, 1995, The Implementation of Slum and Squatter Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta, Jurnal Populasi, 6(2), 1995

Potensia, 1995, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tahun VI Nomor 13, April 1995

Purwanita Setijanti, 2001, The Urban Kampung : A Question of Identity, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Rusli, H., 2001, Multicultural Aptness of Space, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Suselo, H., Taylor, J.L., and Wegelin, E. A., 1995, Indonesia’s Urban Infrastructure Development Experience : Critical Lessons of Good Practice, Jakarta Indonesia : HABITAT



Winayanti, L., 2001, Informal Housing in Jakarta : The Struggle for Land, A Case Study of Kampung Penas Tanggul, Cipinang Riverbank Settlement, “Kumpulan Naskah Seminar Urbanisasi : Proceeding International Seminar on Urbanization in the Information Age : New Perspectives on the Transformation of Fast Growing Cities in the Pasific Rim, 22 – 23 August 2001 “ , Jakarta : Universitas Indonesia dan The University of Melbourne

Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, Bappeda dan CV Tiga Jaya Consultant, 1999, Laporan Pendahuluan Supervisi Konstruksi Community Based Development Bandarharjo.

Tidak ada komentar: