Mengenai Saya

Selasa, 30 September 2008

Communal Minoroties

COMMUNAL MINORITIES DAN ETNISITAS : POTENSI KONFLIK DAN PROSES RESOLUSINYA
Oleh Didik Agus Setyo P.

Acuan :
James R. Scarritt, 1995, Communal Conflicts and Contention for Power in Africa South of the Sahara, Washington : US Institute of Peace


A. PENDAHULUAN

Komunitas lebih banyak diartikan sebagai sekumpulan orang yang berada pada kawasan tertentu. Misalnya komunitas kota, komunitas desa budaya. Komunitas juga sering diartikan sebagai sekumpulan individu dengan kesamaan karakteristik tertentu yang sama. Misalnya komunitas pedesaan, komunitas orang tua, komunitas anak-anak. Atau komunitas juga diartikan sebagai sekumpulan individu dengan ideologi atau tujuan yang sama. Misalnya komunitas muslim, komunitas pendidikan.
Namun sebenarnya hakikat terpenting dari komunitas adalah sebuah wahana kesatuan yang memiliki fungsi untuk memecahkan permasalahan antara individu-individu yang ada didalamnya. Komunitas juga menjadi wahana kesatuan untuk menjalin relationship (state-community relationships, between community relationships dan intermember community relationships). Pengertian komunitas belakangan ini sangat jarang sekali dijadikan pedoman memaknai komunitas. Sehingga, komunitas menjadi tidak berdaya untuk membentangkan fungsi welfare organization. Komunitas tidak mampu mereduksi dan memanfaatkan potensi konflik sebagai modal pencapaian welfarecitizenship.
Karena komunitas hanya dipandang sebagai kumpulan orang yang berada pada kawasan terntentu (biasanya lalu merasa homogen) dan komunitas berisi orang dengan karakter, ideologi dan tujuan yang sama, maka komunitas sering beralih fungsi menjadi alat kelompok untuk kontra dengan komunitas lain. Maka yang terjadi kemudian adalah kontraproduktif komunitas. Komunitas menjadi penggalangan masa untuk sebuah pergerakan dan kekuasaan kelompok tertentu.
Manakala komunitas menjadi penggalangan masa guna pergerakan (mass movement), yang terjadi adalah perang antar umat, konflik perebutan kepentingan dan saling mengalahkan yang lain. Terciptalah kelompok pemenang dan kelompok tertindas. Akhirnya keadilan sebagai jalan menuju welfare state semakin jauh.

B. COMMUNAL MINORITIES

Communal groups memiliki hakekat komunitas yang lebih ditentukan oleh ikatan psikologis. Communal groups ditunjukan oleh adanya share kejelasan identitas kolektif dan ‘penderitaan´bersama dari anggota kelompok didasarkan pada konstruk/ciri budaya dan gaya hidup/lifeways (Gurr, 1995, p. 3). Identitas komunal ditandai oleh adanya kesamaan bahasa, pengalaman mistis, agama dan kepercayaan, etnis, tempat tinggal, sistem kasta/klas sosial dan budaya konsumerisme.
Karena identitas group yang relatif homogen tersebut, memunculkan kohesivitas group yakni semakin intimnya hubungan antara anggota-anggota group tersebut. Kohesivitas group mendorong terciptanya perasaan (belong) yang sama dalam group. Irving L Janis menyebut perasaan yang sama kepada group dengan istilah Groupy (Janis dalam Pines, et al., 1993, p. 136). Lebih jauh Janis menyatakan bahwa communal group adalah kelompok yang memiliki fenomena-fenomena tertentu dalam sebuah kerangka konformitas kelompok dan mendorong kelompok itu menjalankan fungsinya secara teratur.
Jadi pada intinya, communal group ditandai karakteristik adanya homogenitas angota atau fenomena dan terdapatnya konformitas kelompok. Komunal group juga ditandai oleh kuatnya konsensus antar anggota kelompok mengenai struktur peran masing-masing anggota kelompok yang saling menguatkan kerekatan hubungan mereka.
Sementara Hal G. Rainey menyimpulkan Communal Groups dari sudut pandang keintiman komunikasi yang terjadi antar anggotanya dan konsensus yang dibuat sebagai hasil komunikasi tersebut (Rainey, 1997, p. 296). Bagi Reiney, hakekat komunal group terletak pada seberapa akrabkah anggota-anggota kelompok itu berkomunikasi, bertukar ide dan informasi. Keakraban komunikasi ini dapat diidentifikasi dari banyaknya produk aturan yang disepakati (konsensus) oleh masing-masing group member.
Pendapat yang hampir sempurna memberikan batasan tentang (communal) group menyatakan bahwa group adalah kumpulan beberapa individu yang memiliki karakteristik (Johnson, et al., 2000, p.18):
a. bekerja bersama
b. untuk mencapai tujuan bersama,
c. saling interdependensi satu sama lain,
d. melakukan interaksi (communication, relationships),
e. memiliki perasaan (persepsi) kepada group,
f. interaksi dipedomani oleh norma dan peranan (norm and roles) yang terstruktur,
g. terjadi saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain,
h. ada upaya untuk saling memberi kepuasan (satisfy),
Sebuah group, anggota-anggotanya cenderung saling bekerja sama dan memiliki tujuan yang sama. Masing-masing anggota untuk memenuhi kebutuhannya akan saling bergantung satu sama lain dikarenakan kodrat manusia yang tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhannya bertumpu pada usaha real yang bersangkutan. Anggota-anggota group juga melakukan interaksi baik secara langsung (face to face) ataupun dengan memanfaatkan media interaksi yang ada, proses interaksi ditata oleh suatu norma (tertulis dan tidak tertulis) serta mengikuti perbedaan peran/role masing-masing anggota. Anggota Group memiliki perasaan Group yang oleh Janis disebut Groupy. Masing-masing anggota group saling mempengaruhi sebagai upaya mencapai kesepakatan kelompok (group conformity) sehingga dicapai kepuasan bersama.
Communal minorities adalah communal group yang berdasarkan statistik anggota lebih kecil dibanding anggota kelompok lain. Namun dalam realitas komunitas, communal minorities tidak dibatasi oleh jumlah anggota groupnya. Diasumsikan penulis bahwa minoritas dapat disebabkan oleh ketidakmampuan kelompok untuk memperoleh kesempatan (opportunities), meliputi:
a. ketidakmampuan kelompok mengakses informasi,
b. ketidakmampuan kelompok mengakses modal,
c. ketidakmampuan kelompok mendapatkan kekuasaan (politics),
d. ketidakmampuan kelompok memperoleh ilmu pengetahuan, dan
e. ketidakmampuan kelompok memperoleh keadilan (justice/hukum, equity/keseimbangan dan equality/kesetaraan).
Pada umumnya, minoritas merupakan kelompok yang dideskriminasi oleh kelompok lain yang kuat/besar. Seperti halnya minoritas aborigin di Australia, minoritas taiwan di Malaysia, minoritas muslim di Bosnia dan sebagainya (Gurr, 1995, p.12-17). Akan tetapi bukan berarti minoritas jumlah selalu dideskriminasi, minoritas jumlah yang memiliki aset kuat (sehingga menjadi mayoritas ekonomi) justru dapat mendominasi kelompok mayoritas jumlah.
Dengan memanfaatkan modal ekonomi yang dimiliki, sebuah kelompok mampu menjadi dominator kelompok lain yang jumlahnya jauh lebih besar namun memiliki aaset kecil. Minoritas Yahudi di Amerika adalah contoh minoritas jumlah yang menjadi mayoritas, mampu menguasai bidang kerja politik, hukum dan pendidikan. Yang sangat terasa adalah kekuatannya sebagai pressure group dalam parlemen Amerika.

C. INDONESIA’s MINORITIES/ETHNIC MOVEMENT

Salah satu ciri menonjol perilaku minoritas adalah konsekuensi yang harus mereka bayar dengan kerja keras dan semangat memperoleh ‘suatu faktor’ yang dapat dijadikan alat mendapatkan aktualisasi diri.
Konsekuensi dapat berupa upaya maksimal untuk memperoleh ilmu pengetahuan, kekuasaan/pengaruh politik dan ekonomi. Namun umumnya minoritas lebih memilih konsekuensi yang berorientasi ekonomi, yaitu perjuangan memperoleh kekayaan melebihi kelompok mayoritas.
Komunitas Tionghoa di Indonesia adalah sebuah komunitas yang gigih untuk mengoleksi aset ekonomi. Sehingga tidak aneh jika sebagian besar pemilik modal (konglomerasi) di Indonesia berasal dari komunitas ini.
Etnis lokal yang sangat bekerja keras di tengah mayoritas adalah etnis Madura migrasi. Budaya bekerja keras tampaknya sangat dominan dan menjadi hal biasa bagi etnis ini. Secara psikologis, upaya etnis minoritas tersebut dilatarbelakangi terbatasnya social support yang dapat diperolehnya jika mereka memperoleh kesulitan.
Jika salah satu anggota keluarga mereka sakit misalnya, adalah merupakan tanggungjawab untuk mencari obatnya. Karena eksistensinya sebagai minoritas, ada perasaan ketidakmugkinan bagi mereka untuk mencari bantuan dari kelompok lain (out group) meskipun itu berupa pinjaman. Contoh tersebut menunjukkan faktor penyebab minoritas berjuang maksimal memperoleh dukungan ekonomi.
Ketika kelompok minoritas ini memiliki aset ekonomis yang besar, barulah mereka memperjuangkan keadilan. Konsep keadilan sendiri dapat dilihat dari segi equitas (keseimbangan), equalitas (kesamaan/kesetaraan) dan justice (perlakuan hukum/kebijakan).
Equitas dipandang dari rasio faktor yang telah disumbangkan dan hasilnya antara individu/kelompok yang satu dengan kelompok lain. Homans dan Adams (dalam West, et al., 1980, p.83) menggambarkan equitas dalam diagram berikut :




Aplikasi teori ini bagi minoritas group adalah dicarinya keseimbangan melalui komparasi (social comparation theory) besarnya keuntungan yang diperolehnya dengan besarnya keuntungan yang diperoleh kelompok lain. Keuntungan diperoleh dari pembandingan besaran hasil (outcomes) yang dinikmatinya dibagi atau dikurangi besarnya partisipasi/sumbangan (inputs) yang diberikan.
Equalitas didasarkan kepada sistem distribusi hasil-hasil kebijakan yang proporsional kepada semua kelompok yang ada. Distribusi kebijakan itu antara lain adalah kesempatan memperoleh penghasilan, pendidikan dan kekuasaan. Equalitas juga bermakna terdapatnya kesetaraan tanggungjawab, antara lain membayar pajak, turut menjaga soliditas pemerintah.
Sedangkan justice melibatkan perlakuan hukum yang tidak dideferensiasi antara satu kelompok dengan kelompok lain. Bukan berarti jika minoritas group lalu diberikan perlakuan hukum yang lebih merugikan dibandingkan mayoritas.
Harapan terjadinya equity, equality dan justice inilah yang mendasari upaya kelompok minoritas melakukan aksi-aksi. Terlebih hingga orde baru, banyak sekali kelompok yang ditekan oleh kepentingan kekuasaan dengan alasan untuk menjaga kesatuan dan persatuan negara. Padahal justru dengan pressure models yang diajalankan pemerintah waktu itu malahan memupuk benih-benih permusuhan tidak hanya kepada kekuasaan negara tetapi juga kelompok yang dianggap mayoritas.
Historical hostility yang mungkin telah bertahun-tahun direpresi minoritas group ditambah pressure pemerintah sebagai bentuk kebijakan legal, menjadi bentuk minority movement liberation. Minority movement liberation ini harus dicermati dengan sungguh sungguh. Sebab pergerakan ini merupakan bentuk konflik latent yang telah potensial menjadi konfrontasi (overt conflict).

III. PROSES MUNCULNYA KONFLIK

Tertekannya kelompok-kelompok minoritas selama bertahun-tahun dan menanamkan historical hostility sebagai bentuk latent/covert conflict seolah memperoleh kesempatan yang besar ketika orde baru tumbang pada sekitar akhir tahun 1997. Beberapa kelompok minoritas dan etnis mulai bergolak dan sulit diantisipasi oleh pemerintah. Euphoric kebebasan yang berlebihan pada era reformasi membuktikan bahwa sebelum era ini, dalam kurun waktu yang lama, minoritas dan etnis dialineasi oleh “sistem” dengan dalih untuk kepentingan yang lebih tinggi, yaitu kesatuan dan persatuan negara.
Etnis sekaligus kelompok minoritas yang terlihat sangat ‘agresif’ menyambut era kebebasan (menurut hemat penulis : kebebasan yang belum menemukan bentuknya) adalah keturunan Tionghoa. Banyak aktivitas terkait dengan etnis ini yang sekarang nyata-nyata dan tidak perlu takut-takut diselenggarakan bahkan secara masal. Tampaknya, untuk saat ini etnis yang lain masih dengan suka cita menyambut “hadirnya” budaya baru dari saudara mereka yang berkulit kuning.
Memang, dari sudut budaya, fenomena tersebut memberikan andil bagi pemerkaya budaya nasional. Namun dari sudut deferensiasi, semakin besar perbedaan yang ada dan terbuka di masyarakat. Tidak dipungkiri bahwa deferensiasi adalah pangkal konflik dalam komunitas. Terlebih jika terdapat sistem yang diskrimatif, sangatlah besar potensi konflik antar komunitas.
Apabila selama ini ada anggapan bahwa konflik dapat dimanajemen untuk peningkatan efektivitas, penulis ingin menegaskan bahwa retorik tersebut hanyalah berlaku bagi kelompok kecil dengan deferensiasi yang kecil pula. Jika sebuah kelompok memiliki anggota melebihi jumlah ratusan dengan heterogenitas anggota yang sangat tinggi, konflik hanya berfungsi sebagai pemecah kohesivitas kelompok.
Konflik, apapun bentuknya bukan merupakan modal untuk memperbaiki situasi. Namun dengan konflik akan tercipta kecenderungan kompetisi antar anggota kelompok maupun antar kelompok. Justru dengan kerjasamalah situai komunitas dapat ditingkatkan efektivitasnya. Kompetisi hanya diperlukan untuk proses inovasi, bukan untuk perebutan kekuasaan, perebutan kepentingan dan perebutan akses ekonomi.
Menurut dasar asal (nature source), konflik dapat dilihat dari sudut pandang berikut (Dennis J. D. Sandole dalam Sandole, et al., 1993, p. 7-12):
a. Faktor biologis;
Secara biologis manusia membawa sifat-sifat kebinatangan (etology) sehingga instingtifnya membawa pada sifat nature of the beast. Manusia suka untuk berkonfrontasi dengan manusia lain.
Freud mendefinisikan sifat manusia terdiskrit atas eros dan tanatos, individu akan berusaha untuk bertahan hidup sekaligus memiliki kecenderungan mati. Ketika eros mendominasi sifat dasar manusia, individu akan melakukan agresi untuk mengalahkan lingkungan luarnya (to be explotion). Tetapi ketika tanatos mendominasi, individu lebih suka dikuasai, dieksploitasi (to be implosion).
Sifat dasar spesies adalah keinginan untuk mempertahankan dirinya serta mempertahankan spesiesnya dari kepunahan. Alasan inilah yang menyebabkan spesies sering melakukan agresi dan tindakan (movement).
b. Psikologis
Menurut penelitian, sifat agresi manusia cenderung dipengaruhi oleh kapasitas saraf pusat manusia yang kontradiktif. Sistem limbic dengan amigdalanya membawa unsur agresivitas emosi (feelings) sedangkan neocortical membawa manusia pada penalaran yang panjang (rasional). Karena perbedaan itulah Paul MacLean menyatakan bahwa dalam diri manusia sendiri telah ada konflik kejiwaan (Restak, 1979, p. 51-52). Konflik kejiwaan manusia terbawa dalam perilaku hubungannya dengan masyarakat luar. Malah, ketika emosi tidak dapat dikendalikan berakibat pada munculnya symptom agresi terhadap pemberi rangsangan emosi.
c. Bandura’s Learning Theory
Learning theory menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh adanya proses belajar individu. Stimulus yang diberikan oleh lingkungan akan dipelajari dan diberikan respon. Setiap kali stimulus ditanggapi, maka efektivitas respon yang diberikan akan dipelajari individu. Stimulus yang menyebabkan ketidaksenangan individu akan direspon negatif dan respon akan menjadi sangat agresif jika respon yang nilai negatifnya rendah tidak mampu menanggapi stimulus.


d. Dissonan Theory
Disonan teori berkaitan dengan adanya ketidaksesuaian antara nilai yang diharapkan (Value expectation) dengan nilai yang pada akhirnya diperoleh seseorang (value capabilities). Karena terjadi disonan, individu akan berusaha mencari konsonannya salah satunya adalah dengan melakukan bargaining dengan lingkungannya. Bargaining dilakukan dengan berdiplomasi dan dapat muncul menjadi konflik terbuka. Open conflict terjadi manakala terjadi frustrasi mengalami peningkatan, peningkatan frustrasi adalah sebagai berikut :
Frustrasi karena agresi – agresi berlanjut dikuatkan dengan campurtangan pihak ketiga yang cenderung memihak – meningkatnya frustrasi – melahirkan “dendam keturunan” – berujung pada terjadinya konfrontasi.

Sedangkan Ted Robert Gurr menyatakan terjadinya konflik dalam skema berikut ini (Gurr, 1995, p. 125) :



gambar disini









Catatan : disesuaikan untuk communal-minority conflict

Terdapat faktor dukungan sosial dan kondisi tidak menguntungkan yang menjadi karakteristik communal minority. Ditambah kontrol yang sangat menekan oleh pemerintah (atau kelompok lain yang lebih kuat), mendominasi communal minority maka memunculkan keluhan sekaligus menjadi potensi termobilisasikannya massa. Menguatnya keluhan sebagai manifestasi ketidakpuasan communal minority, terjadilah mobilisasi massa dalam bentuk demonstrasi dan bahkan pembangkangan kebijakan. Apalagi jika sistem politik dalam institusi bersifat sangat demokratis, besar kemungkinan terjadi konflik.
Penulis, menggambarkan skema terjadinya konflik antara communal minority dengan kelompok lain terlihat dalam skema berikut :















Penulis menganggap bahwa ada semacam pola pikir kelompok (groupthink) baik resional maupun irasional. Pola pikir kelompok sangat dipengaruhi oleh kedewasaan, kecakapan dan pengalaman emosi pengikut/anggota. Selain itu, pikiran kelompok juga dipengaruhi oleh pola kepemimpinan leader kelompok tersebut.
Groupthink ini berisikan faktor-faktor penyusun kohesivitas kelompok sekaligus menemukan stereotyping outgroup. Nilai-nilai ingroup dan pertentangan antara stereotyping versus realitas outgroup menjembatani munculnya potensi konflik. Jika terjadi stimulasi spesifik (masalah ekonomi, sosial, politik, agama, dan lain-lain) akan memunculkan respon berupa konfrontasi dengan kelompok lain.
Pines dan Maslach menyatakan terdapatnya 8 symptom groupthink dimana salah satunya adalah symptom stereotypes kepada outgroup (Pines, et al., 1993, p. 139). Pendapat senada disampaikan oleh Andrea Williams bahwa stereotyping dapat bernilai negatif namun juga bisa bernilai positif. Ketika stereotipe bernilai negatif, terpiculah konflik antar kelompok (Williams dalam Herman, 1995, P. 16).

IV. RESOLUTION FOR CONFLICT BETWEEN COMMUNITY : ALTERNATIVES

Penulis ingin menegaskan kembali bahwa apapun bentuknya, konflik akan menimbulkan kerugian bagi komunitas. Jika terdapat keuntungan, yang diperoleh hanyalah pengalaman yang berisikan konsep kognitif tentang faktor penyebab konflik dan alternatif mengatasi konflik. Namun penulis juga lebih menandaskan bahwa konflik dalam komunitas adalah fenomena yang tidak dapat dihindarkan.
Kerjasama yang saling menguntungkan akan lebih bermakna dibandingkan konflik, tentu saja demikian hipotesisnya. Namun karena konflik dapat dipastikan akan selalu ada, bukan berarti konflik harus dicegah kemunculannya. Tidak baik juga jika konflik direduksi atau bahkan direpresi, proses itu hanya akan memupuk potensi konflik dan sewaktu-waktu dapat meledak dalam kapasitas yang sangat besar.
Karena sifat konflik yang tidak dapat dihindari dan tidak sehat apabila direpresi, maka konflik harus dipelajari untuk diketahui sebab-sebab dasarnya, proses terjadinya, tipologi komunitas yang terlibat konflik dan model resolusi yang dapat dijadikan acuan alternatif penyelesaian konflik.
Selanjutnya apabila diamati, terjadinya konflik baik yang melibatkan communal minorities maupun communal ethno-nationalist menurut penulis cenderung disebabkan faktor-faktor berikut :
a. Kesenjangan ekonomi sosial antar kelompok;
b. Prasangka etnis (stereotyping);
c. Ketersinggungan budaya;
d. Akumulasi konflik yang direduksi sebelumnya;
e. Ketidakkonsistenan implementasi kebijakan dan sistem negara;
f. Ambiguitas hukum dan tertib (norma) sosial;
g. Keterbatasan komunikasi (human relation) dan kerjasama lintas kelompok yang berdeferensiasi (agama, etnis);
h. Arogansi politik dan kekuasaan;
i. Upaya pembangkitan kembali ritus kekerasan (budaya perang ada pada hampir semua suku di Indonesia).
Konflik etnis Cina – Jawa di kota Semarang (1980-an) dimotori oleh faktor-faktor kesenjangan ekonomi sosial, prasangka etnis, akumulasi konflik dan keterbatasan komunikasi dan kerjasama secara simultan. Faktor-faktor dasar tersebut kemudian dipicu oleh spesifically accident yang dibiaskan informasinya oleh kelompok tertentu atau mungkin karena ketidakjelasan informasi yang kemudian dengan tidak sengaja terjadi bias informasi. Keajdian khusus itu adalah kecelakaan kecil (serempetan mobil/Cina dengan sepeda motor/Jawa) yang menyebabkan luka kecil pengendara sepeda motor dan harus dirawat di rumah sakit. Informasi yang kemudian menyebar adalah kecelakaan yang menyebabkan luka berat dan kemudian diikuti pemukulan(kekerasan) kepada pengendara sepeda motor hingga korban tewas. Bias informasi inilah yang yang menyulut faktor dasar menjadi sebuah konflik antar etnis (confrontasi) terbuka.
Demikian juga yang terjadi ketika konflik etnis Cina- Jawa di Surakarta terjadi pada tahun 1997-an, kemudian konflik etnis Cina-Sasak di Lombok. Atau juga konflik etnis lain misalkan Dayak-Madura (2001), Madura – Sunda. Kondisi serupa terjadi pada konflik agama (di Ambon) yang faktor-faktornya kemudian menjadi rancu karena informasi yang berkembang mengalami bias.
Meski banyak faktor penyebab konflik, sebenarnya penulis mengasumsikan hanya ada satu inti penyebab (nucleus factor) yang berfungsi general yaitu adanya struktur/stratifikasi kelas (class structure) dalam masyarakat. Struktur kelas yang unequilibrium merupakan pemicu potensi konflik. Struktur kelas melahirkan deferensiasi kelompok menjadi :
a. Kelompok yang memiliki kekuasaan (mayoritas/dominan);
b. Kelompok yang memiliki fungsi kontrol (netral);
c. Kelompok yang berada pada kelas minoritas (submit);
Sehingga untuk menjaga social equilibrium harus dibuatkan keseimbangan kesempatan (equilibrium opportunity) bagi semua kelompok dengan cara memperpendek jarak kelas. Pemberdayaan kelas minoritas (minority empowerment based equilibrium community) adalah strategi yang mungkin dapat diterapkan. Hanya menyusun alternatif konseptual minority empowerment based equilibrium community approach itu sangat sulit. Karena equilibrium menyangkut persepsi nilai keadilan. Keadilan sendiri memiliki hakekat yang subyektif, terlebih persepsi individu memiliki bias subyektif yang sangat tinggi.
Pendekatan resolusi konflik yang ditawarkan oleh Bazerman dan Neale (dalam Herrman, 1994, p. 70) sebagaimana dibawah ini merupakan alternatif resolusi :
a. Identifikasi kelompok/individu yang berkonflik;
Lagkah awal resolusi konflik adalah mengidentifikasi kelompok-kelompok mana yang berkonflik dan bagaimana karakteristiknya. Langkah ini sekaligus untuk membuka wilayah privat kelompok yang berkonflik dengan intervenee (penengah/arbritator) sehingga tercipta keterusterangan dan ‘penerimaan’ guna memperoleh informasi yang lebih besar;
b. Mengidentifikasi apakah kelompok yang berkonflik menyadari exsistence, nature and cause of the conflict;
Intervenee hendaknya mencari tahu seberapa besar kelompok/bagian dari kelompok menyadari bahwa mereka sedang berkonflik dengan kelompok lain. Fungsi social mapping memiliki peran besar pada fase ini, yakni menentukan jangkauan/luas konflik dalam komunitas. Intervenee juga hendaknya mengidentifikasi sejauh mana kelompok memahami aspek-aspek prinsip konflik (seperti apa konflik dimunculkan : cognitif conflict, argument conflict, or violence conflict). Selanjutnya diidentifikasi juga apakah kelompok mengerti sebab-sebab konflik. Jika kelompok mengerti sebab-sebab konflik akan memudahkan melakukan intervensi resolusi konflik.
c. Indentifikasi homogenitas pemahaman sebab-sebab konflik, eksistensi konflik dan aspek konflik;
Menentukan adakah persamaan penilaian kelompok yang berkonflik mengenai sebab konflik, kesadaran sepenuhnya bahwa mereka berkonflik dan memahami aspek konflik. Semakin banyak kesamaan antara kelompok yang berkonflik, semakin besar kemungkinan resolusi konflik berjalan mudah. Intervenee dapat memberikan pandangannya kepada kelompok berkonflik untuk menyatukan pandangan terhadap konflik komunitas.
d. Identifikasi isu-isu kelompok yang bertikai;
Menentukan sejumlah isu yang muncul dari kelompok yang bertikai, mempelajarinya dan menentukan sejauhmana isu tersebut benar dan disepakati kebenarannya oleh kelompok yang bertikai.
e. Identifikasi kebutuhan-kebutuhan kelompok yang bertikai yang menguatkan meletusnya konfrontasi;
f. Penyusunan agenda pertukaran informasi dan pengembangan jalur komunikasi antara kelompok yang berkonflik dimediasi oleh institusi yang memiliki affirmatif policy.
g. Rekonsiliasi sosial dan penyusunan konsensus sebagai bentuk resoluasi konflik.
Resolusi konflik selalu berhubungan erat dengan menang atau kalah dari kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Nilai yang diperoleh jika terjadi resolusi win-win solution memiliki kecenderungan tidak bertahan lama. Sebab utamanya adalah fenomena sosial yang bergerak sangat cepat, sehingga sebuah nilai sosial cepat pula mengalami perubahan.
Herman menggambarkan konsep win versus lose solution untuk resolusi konflik dalam bagan berikut (Herman, 1994, p. xxvii)


















Disampaikan bahwa respon terhadap konflik dapat berupa menghindari konflik, menyerah tanpa melakukan pertimbangan/tanpa syarat, membangun kerjasama/koalisi dan melakukan konfrontasi (open konflik).
Ketika konflik muncul (baik yang overt maupun covert) maka upaya resolusi dilakukan oleh pihak yang berkonflik. Upaya resolusi dapat dilakukan sendiri oleh pihak yang berkonflik, namun dapat meminta bantuan pihak ketiga. Bantuan pihak ketiga dapat berupa mediasi maupun arbritasi. Mediasi dapat dilakukan pada konflik antar kelompok yang jumlahnya kecil sebab anggota kelompok yang berkonflik dipertemukan oleh seorang ‘penengah’ untuk menyusun konsensus. Arbritasi dilakukan pada kelompok yang jumlah anggotanya besar sehingga tidak semua anggota kelompok yang berkonflik dapat dihadirkan. Pihak berkonflik diwakili oleh tim yang dipilih dan ditengahi oleh pihak ketiga sebagai sebuah tim.
Penyelesaian konflik aceh antara GAM dengan Republik Indonesia dibantu oleh pihak ketiga sebagai arbritator yakni Henry Dunant Center. GAM diwakili oleh tim dari pimpinannya yang dipilih anggota, RI diwakili oleh pejabat-pejabat yang kompeten dan ditengahi oleh tim dari HDC.
Berbeda pada kasus penyelesaian konflik etnis minoritas (khususnya Tionghoa versus Jawa), lebih cenderung direpresi oleh kekuatan legitimasi pemerintah dengan dukungan militer sebagai pressure group. Akibatnya, sebagaimana disebutkan dimuka, konflik etnis yang direpres selama ini justru menghasilkan historical hostility yang memiliki potensi terjadinya konfrontasi dengan kuantitas dan kualitas yang lebih besar. Sistem akulturasi budaya dan asimilasi comunitas merupakan cara yang baik untuk penyelesaian konflik. Namun ketika salah satu etnis mengalami euphoric cultural-exhibiton dan cenderung mendominasi, akan memunculkan cultural competition dan mengundang kerawanan konflik. Sehingga akulturasi dan asimilasi yang dibina dalam tempo yang lama dapat dengan mudah terdestruksi.
Fenomena tersebut diatas terjadi pada konflik etnis Dayak versus Madura di Sampit. Asimilasi dan akulturasi terdestruksi oleh unequal-nya struktur ekonomi dan budaya. Ketika budaya Madura mendominasi dan mengarah pada upaya dominasi politik/kekuasaan, konfrontasi dalam bentuk perang etnis menjadi produk konflik.
Resolusi konflik Sampit sampai saat ini belum dapat tercapai karena terjadi social shock yang sangat berat. Sehingga untuk sementara salah satu konflik sebaiknya menghindar dari wilayah konflik sampai kejadian kekerasan telah dilupakan. Meski demikian kecenderungan munculnya kembali konflik etnis sangat besar potensinya, penyebab prinsipnya adalah terjadinya akumulasi konflik dan social shock yang membekas dalam memori kelompok yang berkonflik.
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk resolusi konflik dapat dipahami dari skema dibawah ini :















Proses komunikasi menjadi faktor utama resolusi konflik. Dengan komunikasi yang terbuka akan membangun pemahaman bersama antara kelompok yang berkonflik. Pemahaman bersama terbangun dalam sebuah diskusi yang memiliki isi yang makin varians. Ekspektansi dilakukannya diskusi adalah dapat tersusunnya opsi dan alternatif kerjasama sebagai bentuk penyelesaian konflik. Dengan Alternatif tersebut diupayakan terbangun trust (percaya) dan komunikasi imbal balik yang produktif. Trust dan komunikasi hendaknya didukung dengan prinsip berbagi informasi (share information) dan pemahaman adanya kepentingan yang sama dan dipahami sebagai kepentingan yang lebih tinggi tanpa memandang rendah adanya kepentingan yang berbeda.
Dengan konsep resolusi konflik tersebut, komunitas akan terjaga dalam jaringan kerjasama dan menghambat munculnya konflik. Karena harus disadari bahwa konflik hanya akan menciptakan kerugian sebagai dampak langsungnya.
------ddk -----
DAFTAR PUSTAKA


Gurr, T. R., 1995, Minorities at Risk; A Global View of Ethnopolitical Conflicts, Washington, USA : Institute of Peace

Hardvard Business Review, 2000, Harvard Business Review on Negotiation and Conflict Resolution, USA : A Harvard Business Review Paperback

Herman, M. S., 1995, Resolving Conflict : Strategies for Local Government, Washington, USA : ICMA

Johnson, D. W., and Johnson, F.P., 2000, Joining Together; Group Theory and Group Skills 7th Ed., London : Allyn and Bacon

Pines, A., and Maslach, C., 1993, Experiencing Social Psychology : Reading and Projects, NY : McGraw-Hill

Rainey, H.G., 1997, Understanding and Managing Public Organizations, San Francisco : Jossey-Bass Publisher

Restak, R. M., 1979, The Brain : The Last Frontier, New york : Doubleday

Sandole, D. J. D., and Merwe, H. v. d., 1993, Conflict Resolution Theory and Practice : Integration and Aplication, Manchester : Manchester University Press

West, S.G., and Wicklund, R.A., 1980, A Premier of Social Psychology Theories, California : Brooks/Cole Pub.

Tidak ada komentar: