Mengenai Saya

Selasa, 30 September 2008

BENCANA ALAM, TEKNOLOGI, RACUN DAN POLUSI; TINJAUAN PSIKOLOGI

BENCANA ALAM, BENCANA TEKNOLOGI, RACUN DAN POLUSI UDARA;
SEBUAH TINJAUAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Oleh Didik Agus Setyo Prihadiyanto
Materi Ajar MK. Psikologi Lingkungan Magister Sains Psikologi UGM


Prologue :
Sahabat, kita semua adalah parasit
Kita yang bekerja untuk mengubah rerumputan menjadi kehidupan yang teratur
tidak lebih mulia
dari mereka yang menerima langsung kehidupan itu dari rerumputan
(Kahlil Gibran)



A. PENGANTAR

Indonesia adalah wilayah yang sangat rawan terjadi bencana alam. Selain wilayahnya yang dilintasi jajaran pegunungan berapi, letak di antara 2 samudera besar memberikan kemungkinan Indonesia akan sering dilibas bencana badai laut yang hebat. BPPT memberikan peringatan bahwa Indonesia akan menjadi sasaran Tsunami setelah Amerika Selatan dan Jepang (KR, 12-3-2003, h. 1; Jackson & Jackson, 1996). Bencana itu selain merusak lingkungan juga menelan korban jiwa dan menyisakan stres bagi masyarakat yang menjadi korban. Peringatan itu benar terjadi ketika Aceh dan sebagian Sumatera Utara diguncang gempa tektonik tanggal 26 Desember 2004 yang mengakibatkan terjadinya tsunami. Tsunami itu sendiri menghancurkan Aceh, sebagian Sumatera Utara, Srilanka, India, Malaysia, Thailand dan sebagian benua Afrika.
Iklim Indonesiapun menentukan terjadinya bencana. Banjir mudah terjadi ketika musim hujan dan kekeringan akan menyengsarakan pada saat kemarau. Faktor perubahan kondisi alam memang memberi andil bagi membesarnya bencana banjir dan kekeringan, tetapi bukankah penyebab utamanya adalah perilaku manusia yang terlewat serakah.
Berbagai tempat di Indonesia pernah mengalami bencana alam yang amat dahsyat. Gunung Galunggung di Jawa Barat pernah meletus dengan menelan korban harta, benda, dan nyawa yang tidak sedikit. Hampir tiap tahun Gunung Merapi di Jogjayakarta memiliki potensi menyemburkan wedus gembel. Bencana ini juga mengakibatkan korban yang lumayan besar.
Bukan hanya bencana vulkanik, tetapi bencana tektonik acapkali terjadi di Indonesia. Misalnya pada tahun 2002 terjadi bencana tektonik yang menyebabkan Lampung porak poranda. Banyak rumah-rumah roboh. Nyawa manusia melayang sia-sia.
Menurut catatan The Global Seismic Hazard Assesment Program disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang dilintasi secara sinambung jaring kerja geothermal sehingga tidak aneh jika Indonesia rentan terjadi letusan gunung berapi, gempa bumi, retakan lapisan tanah dan semburan gas bumi. Indonesia juga termasuk kawasan kemungkinan gempa berskala tinggi.

LEMPENG TEKTONIK DUNIA
gambar disini











Indonesia merupakan negara yang dikurung oleh lempeng tektonik dengan potensi gempa besar. Potensi gempa bawah laut sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, laut Sulawesi dan sepanjang pantai kepulauan Papua rawan gempa yang memiliki potensi terjadinya tsunami.
Tsunami pernah beberapa kali terjadi di Indonesia. Magnitude dan korban terbesar terjadi beberapa waktu lalu di Aceh dan sebagian Sumatera Utara. Tsunami merupakan bencana yang terjadi secara periodik. Beberapa lokasi berpotensi dan pernah terkena tsunami tampak dalam gambar di bawah :
SEJARAH TSUNAMI INDONESIA

gambar disini















Bencana di Kalibayem Yogyakarta ? Sebuah isu humanmade yang menyebabkan bencana sekaligus keuntungan berupa ditemukannya sumber air yang cukup besar. Kemudian bencana kebocoran depo PT KAI di Kecamatan Gedong Tengen, kesalahan teknologikah atau keteledoran ? (KR, 12-3-2003).
Rupanya bencana alam terjadi di negara lain, misalnya di Typhoon Ruby di Filipina menewaskan 41 orang dan pemerintah terpaksa mengevakuasi sekitar 37.000 orang. Badai Gilbert di Jamaica menewaskan 35 orang, merusak 80 % rumah penduduk dan terpaksa merelokasi 2.000 penduduk.
Mencermati efek bencana alam bagi kehidupan manusia, sebenarnya ada dampak lain yang perlu diperhatikan secara mendalam, yaitu adanya efek psikologis bagi manusia. Menurut Lazarus dan Cohen (dalam Bell, dkk., 1996), terdapat 3 tipologi stressor lingkungan, yaitu :
a. Daily hassles; kejadian singkat tiap hari dan memiliki magnitude yang relatif kecil; antara lain pergi bekerja, pergi sekolah.
b. Personal stressor; yakni kejadian yang memberi dampak kuat pada seseorang berupa perasaan terancam atau kehilangan sesuatu; antara lain kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai.
c. Cataclysmic events; yaitu kejadian yang memiliki intensitas dan potensi merusak / menghancurkan suatu lingkungan secara lebih luas.
Selanjutnya Lazarus dan Cohen (Bell, dkk., 1996) menyatakan bahwa kejadian yang menyebabkan stres dapat bersifat tiba-tiba atau juga kemampuan adaptasi individu dalam rangka behavioral coping. Kejadian stressor tersebut antara lain peperangan, hukuman (seumur hidup), relokasi dan bencana alam.
Karena Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana, maka faktor alam yang luas dan beraneka ragam menjadi potensi penyebab bencana alam. Korban yang ditimbulkannya cukup besar. Selain korban harta benda, juga memiliki efek samping negatif bagi kondisi psikologis manusia.
Melihat realitas tersebut, tulisan ini bermaksud menjelaskan secara definitif, ciri, jenis dan dampak mengenai bencana alam dan bencana teknologi. Selain itu dalam tulisan ini juga menyinggung mengenai bencana racun, bencana biologis, bencana nuklir, bencana elektromagnetik dan polusi udara. Pemaparan lain yang disampaikan pada tulisan ini, juga mengangkat tentang efek samping psikologis bagi manusia yang terkena bencana alam dan sumbangan Ilmu Psikologi dalam mencermati bencana terutama mencermati model coping terhadap bencana.

B. ENVIRONMENTAL / NATURAL DISASTER
Disaster didefinisikan sebagai kosekuensi negatif yang ekstrem sebagai sebuah akibat sekaligus menunjukkan dampak yang dihasilkan oleh interaksi antara kejadian alami dengan sistem sosial. Disaster menghubungkan antara bencana yang menyebabkan kerugian namun juga memberikan dampak menguntungkan (Veitch, dkk., 1995). Selain itu Bell, dkk. (1996) mendefinisikan disarter sebagai kekuatan alam yang bukan di bawah kontrol manusia dan menyebabkan bencana yang menimbulkan kerusakan dan kematian. Peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan disaster antara lain angin ribut (topan), tornado, gempa bumi, dan tsunami.
Pihak yang terlibat dalam disaster, yaitu yang dimaksudkan sebagai penyebab terjadinya bencana, meliputi kejadian alam (act of God) dan perbuatan manusia (humanmade). Gempa bumi dan gunung meletus adalah kejadian alam murni yang pengaruhnya bersifat akut. Banjir dan kekeringan adalah bencana yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia yang mengurangi jumlah tanaman pelindung mata air tanah (Illegal logging, penjarahan).
Revolusi Hijau yang dilaksanakan di Indonesia sejak 1970-an di satu sisi meningkatkan produksi pangan, namun juga mengurangi banyak sekali luas hutan dan berdampak pada banjir. Demikian juga reklamasi pantai pada kota-kota di Pulau Jawa memberikan sumbangan kemajuan kota namun menyebabkan hilangnya rawa-rawa kota sebagai polder penampungan pasang laut, Akibatnya adalah banjir air laut pada wilayah kota yang ketinggian tanahnya di bawah air laut. Surabaya, Semarang dan Jakarta adalah sebagian wilayah Indonesia yang saat ini sibuk mengatasi luapan air pasang laut (Pratiwo, 2001).
Oleh karena sulitnya mengukur karakteristik bencana, banyak ahli yang silang pendapat menilai eksistensi suatu kejadian alam. Quarantelli (dalam Veitch, 1995) menyebutkan karakteristik besar kecilnya bencana alam meliputi :
a. Besarnya populasi yang terkena bencana;
b. Perubahan konstruk sosial yang mempengaruhi populasi;
c. Cakupan kewilayahan bencana;
d. Kecepatan terjadinya bencana (sehingga tidak terduga);
e. Kemampuan memprediksi terjadinya bencana;
f. Derajad familiaritas (kebiasaan) terhadap krisis yang dihadapi;
g. Dampak terdalam (psikis) akibat bencana;
h. Besarnya kerugian material (harta benda);
i. Perhitungan kemungkinan terulangnya krisis (lebih besar/kecil).
Menguatkan pendapat tersebut di atas Berren, Beigel dan Ghertner (dalam Veitch, 1995) menyusun karakteristik bencana alam sebagai berikut :
a. Model bencana (alami/act of God ataukah Humanmade);
b. Durasi bencana;
c. Derajad keterpengaruhan pada manusia;
d. Potensi terjadinya kembali krisis;
e. Kemampuan mengendalikan pengaruh lanjutan.
Sementara itu Bell, dkk., (1996) mencatat beberapa karakteristik bencana alam secara lebih sempurna meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Lebih sering terjadi secara tiba-tiba;
b. Cenderung tidak dapat diprediksikan;
c. Kejadian dan dampaknya umumnya sulit dikendalikan;
d. Besarnya ancaman terhadap kehidupan;
e. Menyebabkan luka/cacat;
f. Menyebabkan luka berpotensi meninggal dan tewas;
g. Memberikan dampak bagi seseorang yang disebabkan luka/tewas orang dekat;
h. Derajad kesiapan komunitas menghadapi bencana;
i. Perubahan Kohesi sosial;
j. Kerugian finansial;
k. Kerugian properti dan benda hak milik;
l. Keterpisahan anggota keluarga.
Ketiga pendapat diatas memiliki kesamaan tujuan yakni menyusun kriteria untuk melakukan penilaian apakah sebuah fenomena alam dapat disebut bencana atau tidak.
Adapun jenis dan ciri bencana menurut Federal Emergency Management Agency/FEMA (dalam Bell, dkk., 1996) antara lain adalah hurricane (topan), tornado, storm (badai), banjir, air banjir yang ditiupkan angin/badai, gelombang pasang, tsunami, genangan limpasan pasang air laut (rob), gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, banjir lumpur, badai salju, kekeringan, kebakaran, ledakan dan bencana lainya yang mengakibatkan kerusakan dan berdampak pada penderitaan dan menimpa wilayah cukup luas. Asumsi FEMA bahwa bencana selalu melibatkan suasana penderitaan dan kerusakan wilayah yang cukup luas, dibantah Bell (1996) dengan menyatakan secara tegas bahwa disaster adalah segala kejadian alam yang bersifat destruktif.
Tidak dipungkiri bahwa bencana akan mengakibatkan kekacauan yang terjadi dalam waktu cukup lama dan mengganggu aktivitas individu, kelompok/komunitas dan fungsi organisasi, sebagaimana disampaikan oleh Bell dkk (1996). Pendapat senada juga ditegaskan Veitch, dkk., (1995) bahwa bencana selain menyebabkan kerusakan fisik juga menyebabkan kekacauan kehidupan sosial.
Meletusnya gunung berapi memberikan kerugian harta benda bahkan jiwa, namun debu vulkanik dapat menambah kesuburan lahan pertanian. Disamping itu, pasir serta batu yang tercurah pada aliran lava dingin merupakan sumber penghasilan penduduk.
Disaster dalam kasus tersebut dilihat bukan hanya sebagai proses alam yang merugikan, namun juga keuntungan yang dihasilkan dan hubungannya dengan sistem sosial lingkungan sekitar. Disaster berkaitan dengan kondisi psikologis, ekonomis bahkan peristiwa-peristiwa politis; yakni berkaitan dengan penentuan kebijakan (Veitch, dkk., 1995). Pendapat senada diungkapkan oleh Ife (Ife, J., 1995) bahwa permasalahan lingkungan berkaitan dengan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi dan politik disamping masalah teknologi untuk mengatasi bencana itu sendiri.
Merujuk pada pendapat Quarantelli (Bell dkk., 1996) dan Ife (1995) bahwa tidak semua natural disaster semata-mata hanya dilihat dari faktor kerugian/kerusakan fisik, terdapat faktor lain yang menguntungkan dari terjadinya sebuah bencana. Pendapat Veitch (1995) bahwa sebagian bencana alam dapat memberi keuntungan bagi penduduk setidaknya alasan tersebut menunjukkan rasionalitas korban bencana alam (khususnya di Indonesia) untuk tetap tinggal dilingkungannya dan tidak bersedia direlokasi. Bencana yang memberikan keuntungan antara lain adalah letusan gunung api yang menyemburkan debu vulkanik dengan potensi menyuburkan tanah pertanian.
Selanjutnya pendapat Quarantelli (dalam Veitch, dkk., 1995) bencana alam selalu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu :
1. adanya pihak yang terlibat;
2. Pengaruh fisik pada pihak-pihak yang terlibat;
3. Penilaian atas pengaruh pisik yang ditimbulkan;
4. Kerusakan faktor sosial yang ditimbulkan oleh terjadinya keterpengaruhan kondisi fisik;
5. Kontruksi sosial dari situasi krisis yang dialami baik terjadi perubahan fisik maupun tidak;
6. Penerjemahan politis tentang situasi krisis;
7. Keseimbangan antara permintaan dan kemampuan mengurangi krisis.
Sangat sulit mengukur apakah suatu peristiwa alam merupakan bencana atau bukan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain besarnya kerugian materiil, fisik (berhubungan dengan tubuh manusia) dan non fisik serta cakupan kewilayahannya.

B.1. Efek Nonpsikologis Akibat Bencana Alam
Efek yang bisa muncul dari bencana alam menyebabkan efek non psikologis maupun psikologis. Efek non psikologis secara jelas dapat dikatakan yaitu hancurnya keseimbangan alam, lingkungan menjadi rusak, korban nyawa manusia, korban harta benda, dan keteraturan ekosistem yang menjadi hancur.
Bencana juga dapat mengakibatkan hilangnya suatu unsur budaya dalam masyarakat, pergeseran norma-norma sosial, perubahan kebijakan politik dan perubahan pola interaksi antar individu. Efek tersebut dapat terjadi jika bencana yang terjadi berskal besar seperti tsunami di Aceh.

B.2. Efek Psikologis Akibat Bencana Alam
Hal lain yang perlu diperhatikan menurut pendapat Bolin (dalam Veitch, 1995) adalah terdapatnya pengaruh terhadap kesehatan mental/Psikologis akibat bencana alam. Kesehatan mental dipengaruhi oleh interaksi perubahan/gangguan fisik, psikologi, situasi sosial dan masalah-masalah material. Quarantelli dan Dynes (dalam Veitch, 1995) menegaskan bahwa sebagian besar orang yang terkena bencana akan terlihat panik walaupun demikian sebagian kecil orang tampak terlihat tenang dan berusaha rasional. Perry, Lindell dan Green (1981 dalam Veitch, 1995, 367) mengatakan bahwa orang-orang yang tenang dan rasional adalah mereka yang biasanya telah memperkirakan terjadinya bencana tersebut (biasanya bencana yang familiar) dan cukup memiliki ‘data’ dari proses learning helplessnessnya.
Korban bencana alam akan mengalami gangguan kurang tidur, mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas, tercerabut dari hubungan sosialnya yang teratur. Karenanya korban akan menjadi stressfull. Dukungan sosial akan memberikan stress-buffering effect bagi korban (Bolin, 1983; Lindy & Grace, 1985 dalam Veitch, 1995).
Bell dkk. (1996) menyatakan bahwa Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD, yaitu gangguan psikologis yang muncul setelah bencana terjadi) lebih berbahaya dibanding stress yang dialami pada saat bencana. Stres yang dialamai pada saat bencana umumnya akan lebih mudah di-adjust/ditreatment dibandingkan PTSD. PTSD akan menyebabkan korban stressfull, mengalami gangguan tidur, terlibat social withdrawl dan kecemasan yang sangat tinggi. PTSD mengakibatkan outcome yang ekstreem, melemahkan motivasi korban dan sulit untuk ditreatment.
Korban anak-anak sering menyebabkan gangguan traumatik sepanjang hidupnya. Meskipun demikian, beberapa kasus menunjukkan bahwa korban anak-anak akan menjalani recovery yang lebih cepat (Green, dkk dalam Bell, dkk., 1996).
Penelitian Cohen (dalam Mehr, 1992) menyimpulkan bahwa bencana meletusnya gunung Armero di Columbia 13 Nopember 1985 menyebabkan hilangnya perasaan cinta pada orang lain. Karena setiap orang ingin menyelamatkan diri sendiri, dia lupa pada orang yang dicintainya untuk diselamatkan. Kasus lain, kematian orang yang dicintai menyebabkan individu kehilangan rasa cinta kepada orang lain.
Selanjutnya, DeAngelis (dalam Mehr, 1992) menyatakan bahwa bencana gempa bumi di Armenia tahun 1988 telah menyebabkan 50.000 jiwa tewas, 80.000 lainnya terluka. Satu setengah tahun kemudian seorang gadis berusia 14 tahun mencoba bunuh diri karena merasa bersalah karena hanya dia yang selamat dari seluruh orang di lingkungannya.
Sementara itu, gangguan psikologis pada korban bencana tsunami di Aceh sangatlah besar. Tsunami sebagai sebuah bencana alam terjadi secara tiba-tiba dan berskala besar mengakibatkan drama psikologis yang berat. Terpisahnya anggota keluarga secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar bahkan individu yang masih dapat selamat berada dalam kondisi yang lelah baik fisik maupun psikis. Ketidakpunyaan materi karena hilangnya harta kepemilikan dan kehilangan keluarga meninggikan kondisi ketidakberdayaan (full-helplessness).
Trauma pasca bencana lebih sering tidak dapat diketahui secara cepat. Pengamatan secara seksama dan dalam waktu cukup panjanglah yang dapat menentukan apakah seseorang mengalami trauma atau tidak dan seberapa berat trauma itu diderita yang bersangkutan. Seseorang secara fisik terlihat sehat, namun dalam kondisi tertentu (misal : pada waktu tidur dapat bermimpi buruk) dapat mengakibatkan perilaku tertentu yang dapat dijadikan indikasi penderitaan trauma. Seorang anak korban banjir atau anak korban bencana tsunami di Aceh misalnya, setiap kali melihat air yang mengalir akan segera berteriak “banjir-banjir”. Seorang nelayan akan segera berlarian meninggalkan pantai manakala ombak laut bergerak lebih tinggi dan menganggapombak itu adalah tsunami. Perilaku-perilaku tersebut merupakan salah satu simptom/tanda bahwa orang tersebut mengalami trauma.
Pada sub bahasan mengenai bencana alam dapat disimpulkan bahwa bencana alam merupakan kosekuensi negatif yang ekstrem sebagai sebuah akibat sekaligus menunjukkan dampak yang dihasilkan oleh interaksi antara kejadian alami dengan sistem sosial. Disarter sebagai kekuatan alam yang bukan di bawah control manusia dan menyebabkan bencana yang menimbulkan kerusakan dan kematian.
Selain dampak dari dimensi psikologis antara lain kecemasan yang sangat tinggi, melemahkan / sangat mengurangi energi (motivasi), meningkatnya ketergantungan pada pihak lain. Ketergantungan masyarakat korban bencana mencakup antara lain ketergantungan pangan, keamanan, perbaikan sarana permukiman dan perbaikan sarana sosial-ekonomi.
Dampak psikologi politik juga muncul ketika korban bencana yang cukup berat harus dirawat intensif di rumah sakit jiwa yaitu dengan diisolir, maka individu ini akan mengembangkan pikiran instan bahwa pemerintah sangat kejam dengan memenjarakan mereka. Kasus ini muncul di Aceh, yakni menolaknya korban tsunami dirawat di rumah sakit jiwa karena individu ini tidak mau di”penjara” oleh pemerintah. Potensi konflik politik di Aceh dapat mengalami peningkatan disebabkan kesalahan persepsi (perception disorder) tentang pola perawatan gangguan perilaku dan penanganan kasus konflik politik.

C. BENCANA TEKNOLOGI
Saat ini dimanapun manusia hidup telah menjadi parasit bagi lingkungannya. Itulah fungsi prologue yang penulis sampaikan diatas. Betapa tidak, sebagai makhluk sosial manusia memiliki ketergantungan yang kronis kepada lingkungan. Tanpa lingkungan manusia tidak bertahan hidup. Kemudian manusia mengatur lingkungan, agar manusia terus mampu bertahan hidup. Berbagai temuan teknologi dicari dan dicoba, untuk meningkatkan kualitas hidup! Namun beberapa temuan teknologi justru mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.
Umumnya, bencana teknologi disebabkan oleh perilaku manusia, baik sengaja dibuat oleh manusia (perang misalnya), human error atau karena miscalculation. Bell dkk. (1996) menyebutkan karakteristik bencana teknologi meliputi :
a. Human-made;
b. Durasi bencana sangat variatif;
c. Umumnya bersifat kronik, namun juga bisa akut dan tiba-tiba;
d. Biasanya lebih mudah dikendalikan dibandingkan bencana alam;
e. Bencana teknologi umumnya lebih mudah diprediksi;
f. Proses kerusakannya banyak yang tidak dapat diamati secara harafiah;
g. Efek post-disaster tidak seberat bencana alam (penelitian Barton 1969; Cuthberson & Nigg, 1987)
Selain hal-hal diatas, karena bencana teknologi yang umumnya lebih mudah diduga, biasanya juga cukup membantu korban untuk merepresi stres (Davidson, Colins & Baum dalam Veitch, 1995). Individu yang mampu memprediksikan terjadinya bencana akan mempersiapkan mental sebaik mungkin, sehingga dapat mengurangi tegangan yang muncul.

C.1. Bencana Teknologi Bersumber dari Unsur Kimia
Di desa, tanaman agar subur diberi pupuk. Bukan lagi pupuk kotoran hewan sapi, kerbau, ayam dan kambing atau mungkin kotoran babi, tetapi pupuk yang dihasilkan pabrik dari senyawa kimia. Pupuk pabrik yakni jenis NPK selain mengandung NP dan K juga mengandung unsur kimia lain Ferum, Magnesium, Mo, S, Zn, Ca, Co, Cu dan B (Ruswahyuni dkk., 1999) juga mengandung Nitrogen, potasium, fosfor, Amonia/NH4 dan urea/CO(NH2)2 (Cutter, dkk., 1991). Selanjutnya Cutter menjelaskan bahwa ketika unsur kimia pupuk bertemu dengan O2 dan unsur-unsur kimia tanah, maka akan terjadi reaksi kimia yang merugikan tanah dalam jangka waktu lama. Akibatnya, terjadilah kerusakan struktur tanah. Pada saat itulah bencana teknologi terjadi pada lingkungan. Ketika tanah telah bebal, dan pupuk tidak lagi memberi sumbangan bagi kesuburannya, kelak muncullah bencana baru : tanah menjadi tandus dan memicu kelaparan masal.
Namun di luar itu, senyawa kimia terserap oleh tubuh pada saat manusia mengkonsumsi makanan tersebut. Dampaknya terhadap tubuh memang sangat pelan dan lama, namun secara pasti akan merugikan kesehatan. Johnson (1982) menegaskan bahwa kontak dengan pestisida dalam kurun waktu yang lama memiliki resiko keracunan yang tinggi. Pada umumnya masyarakat terkontaminasi bahan kimia pertanian, terutama ketika mengkonsumsi pangan yang mengandung zat kimia baik yang terserap ketika proses tanam, transportasi maupun pengawetan.

C.2. Bencana Teknologi bersumber dari Listrik/Elektromagnetik
Arus listrik tegangan tinggi, layar komputer, handphone dan beberapa peralatan listrik yang sering kita pakai memancarkan gelombang elektromagnetik yang berbahaya. Penelitian Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 1997 (Kompas, 2003) menyatakan bahwa jika seseorang berada dalam lingkup radiasi elektromagnetik dalam waktu yang lama (tidak harus terus menerus) dan melampaui ambang batas, maka akan mendorong antara lain terjadinya leukimia, limfoma, infertilitas (khususnya pria), cacat kongenital, proses degeneratif, perubahan ritme jantung, perubahan metabolisme melatonin dan neurosis.
Manusia tidak dapat menghindari kontak dengan peralatan yang memberikan gelombang elektromagnetik, sehingga tidak mungkin menghindari total bahaya teknologi tersebut. Oleh karenanya manusia hanya mampu mereduksi bahayanya (harm reduction) dengan berbagai cara, misalkan pemakaian handphone dengan menggunakan alat serap radiasi.

C.3. Bencana Teknologi Bersumber dari Faktor Biologi
Kompas 4 April 2003 halaman 30 kolom 5 – 9 mewartakan tentang PT Freeport Indonesia mengimpor tanaman pembawa virus (strive virus : virus perusak ekosistem) dari Australia. Artinya, terdapat perbedaan kultur ekosistem antara satu negara dengan negara lain yang justru berakibat fatal berupa perusakan ekosistem asli. Jika ekosistem asli mengalami kerusakan maka potensi terjadinya perubahan genetik organisme dan penduduk setempat menjadi besar. Potensi perubahan genetik memiliki kemungkinan tidak menguntungkan bagi alam dan manusia. Oleh sebab itu, setiap negara akan memiliki lembaga karantina untuk menguji dampak suatu faktor biologi (tumbuhan dan hewan) terhadap eksistensi ekosistem setempat.

C.4. Bencana Teknologi Bersumber Kesalahan Penggunaan Nuklir
Kecelakaan pada Reaktor Nuklir Three Mile Island (TMI) maret 1979 menyebabkan tersebarnya radioaktif di sekitar reaktor. Bencana TMI terjadi karena human error yakni kurangnya kontrol terhadap temperatur pembangkit listrik sehingga terjadi ledakan. Bencana ini menyebabkan stress korban yang tinggal disekitar reaktor, Bahkan lebih dari satu tahun, gas radioaktif terperangkap dalam bangunan di reaktor dan memiliki potensi meluas ke areal pemukiman (Bell, 1996).
Penelitian mengindikasikan korban TMI mengalami stress hingga 6 tahun setelah kejadian (Davidson, 1986; McKinnon et al, 1989 dalam Bell, dkk., 1996). Kecelakaan TMI memiliki kesamaan karakteristik dengan Bencana Chernobyl di Ukraina 1986. Bahkan event Chernobyl memiliki magnitude dan bahaya yang lebih besar. Radiasi kimia nuklir selain mengakibatkan cacat fisik juga menyebabkan stress dan psikosmatik, perubahan pengendalian diri (emosi) dan performance. Bencana TMI dan Chernobyl juga membawa bahaya kimia yang hebat.

C.5. Bencana Teknologi Bersumber dari Limbah Beracun
Limbah beracun berasal dari radiasi, dioksida dan limbah kimia. Limbah beracun dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis. Radiasi yang melewati ambang batas resistensi orang akan mengganggu kesehatan fisik dan psikologis orang itu. Bahkan semakin tinggi levelnya, akan menyebabkan kematian. Efek radiasi terhadap seseorang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa dideteksi karena terkait dengan daya ambang seseorang.
Kangker dan cacat lahir sering terjadi akibat radiasi dan pengaruh racun kimiawi. Baum (dalam Bell, dkk., 1996) menyatakan bahwa gangguan racun mengakibatkan ketidakpastian dan stres jangka panjang yang sulit ditreatment.
Indonesia yang memiliki jajaran gunung berapi juga memiliki cukup banyak gas bumi beracun (natural toxic) yang sewaktu-waktu dapat terpancar keluar. Di Jawa Tengah, Komplek pegunungan Dieng, Wonosobo, memiliki kekayaan alam berupa kawah yang sewaktu-waktu mengeluarkan gas beracun. Bencana kawah Sikidang di dataran Dieng tersebut pernah menelan korban jiwa cukup banyak (Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005) .
Salah satu sumber racun dalam lingkungan pekerjaan adalah zat asbes. Pada industri yang mempergunakan asbes, terdapat banyak pekerja yang terkena gangguan kesehatan (kangker paru) akibat menghisap asbes dalam waktu yang lama (Lebovits, dkk, 1986). Partikel asbes (termasuk juga partikel industri fiber dan kayu) menyebabkan gangguan pernafasan. Terlebih lagi pekerja industri asbes yang merokok, isapan partikel asbes dan rokok menguatkan bahaya racun terhadap kesehatan pernafasan. Meskipun demikian, pekerja industri asbes, kayu dan fiber merasa tidak mengalami gangguan depresi, kecemasan dan problem gangguan mental lain.
Industri lain yang memiliki kemungkinan terkena racun antara lain kerajinan timah, kuningan dan tembaga. Pekerja industri tersebut mengalami defisiensi neuropsikologis yang berkait dengan kecemasan dan penyakit fisik antara lain paru-paru dan liver. Penelitian Spivey dkk (dalam Bell, dkk., 1996) lebih lanjut menegaskan bahwa keracunan partikel timah dapat meningkatkan agresi dan kekerasan.
Tercemarnya mata air oleh bahan kimia (DDT/insektisida, herbisida, fungisida; chloroform, carbon dan bensin) mendorong terjadinya leukimia dan cacat lahir (Cutter dkk, 1991).
“Sick Building Syndrome” Menunjukkan hubungan antara bahaya racun dalam suatu ruangan dengan perilaku manusia. Sick building syndrome memiliki 2 makna yaitu hubungan antara bangunan dengan terjadinya rasa sakit (dalam sebuah ruangan yang terkontaminasi racun sehingga dapat didiaknosa bahwa seseorang yang tinggal disana terkena suatu penyakit tertentu) dan sick building syndrome yang hanya dapat ditemukan symptom perilaku sakit namun tidak diketemukan jenis penyakitnya (Woods dalam Bell, dkk., 1996).
Sick building syndrome sering terjadi pada pekerja setelah masa liburan mereka (weekend). Penyebabnya kemungkinan adalah desain bangunan yang tidak sehat, ventilasi kurang, sistem pencahayaan yang salah, pengaturan temperatur. Symptom sick building syndrome antara lain pusing, mata perih, iritasi saluran pernafasan. Bahkan sindroma yang lebih akut menyebabkan histeria, gangguan sensori, stress, tingginya agresi dan gangguan tidur (Bell, dkk., 1996).
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan ada empat sumber bencana teknologi yang terdiri dari : a) bencana yang bersumber dari sumber kimia, b). bencana dari listrik, c) bencana biologis, d) bencana sumber nuklir, e) bencana limbah beracun.

C.6. Efek Psikologis Bencana Teknologi
Dampak psikologis yang ditimbulkan pada individu umumnya dinamakan Post-Traumatic Stress Disorder akibat bencana teknologi sangat mudah ditreatment (Smith dalam Bell, dkk., 1996). Meskipun korban umumnya mengalami psychiatric disorder (karena terdapat juga yang tidak mengalaminya). Thompson, Chung dan Rosser (dalam Bell, dkk., 1996) menyatakan bahwa korban tidak mengalami neurosis berkepanjangan.
Banjir akibat dam jebol di Buffelo Creek Februari 1972, menyebabkan kecemasan, perubahan gaya hidup, withdrawal (apatis dan marah), depresi, stress berkorelasi dengan sysmtom fisik (psikosomatic), kemarahan yang tidak berfokus, regresi, gangguan tidur (Bell, dkk., 1996, 251). Penelitian Titchener dan Kapp di Buffelo Creek menunjukan 80 % sample mengalami traumatic neurosis, 90 % sample mengalami kecemasan, depresi, perubahan karakter dan gaya hidup, maladjusment dan gangguan perkembangan anak. Symptom yang umum pada korban adalah kecemasan, sedih, putus asa, gangguan tidur, disorganization, gangguan mengendalikan amarah, obsesif dan pobia terhadap kegagalan mempertahankan keselamatanya, perasaan kehilangan dan gusar (Bell, dkk., 1996; Veitch, 1995).

C.7. Efek Nonpsikologis Bencana Teknologi
Adapun dampak non psikologis akibat bencana teknologi seperti yang terjadi pada The Buffalo Creek Flood merupakan jenis bencana teknologi karena hancurnya waduk membuat rumah-rumah menjadi hancur, kerusakan lingkungan, dan korban manusia. Efek samping pada fisik yang lain adalah limbah nuklir menyebabkan pencemaran lingkungan, tanaman-tanaman tidak bisa tumbuh, dan radiasi bisa mengakibatkan cacat pada manusia.

D. BENCANA POLUSI UDARA
Polusi udara dapat terjadi karena faktor alam (natural air pollutans) tetapi juga dapat disebabkan oleh sumber polusi nonnatural (human made). Natural air pollutans antara lain asap akibat terbakarnya hutan pada musim kemarau (meskipun mungkin penyebab kebakarannya adalah manusia), hydrocarbon yang dikeluarkan jenis tumbuhan tertentu, debu dan letusan gunung berapi.
Namun sumber polusi udara yang saat ini sangat mengkawatirkan adalah justru yang dihasilkan oleh manusia. Kebutuhan hidup manusia yang dicukupi dari produk industri, transportasi maupun rumah tangga mengkibatkan pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan.
Kandungan senyawa kimia dalam udara antara lain adalah berikut (Cutter, dkk, 1991) :
a. Partikel (kimia dan debu)
Antara lain meliputi debu pasir, cadnium, arsenic/warangan, timah, besi dan tembaga, jelaga dan abu. Bahan kimia ini menyebabkan gangguan cardioresipatory berupa asma dan bronchitis.
b. Sulfure Dioxida (SO2)
Dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar dari fosil (BBM) yang sering dipakai untuk industri dan transportasi. SO2 menyebabkan bronchitis, astma dan emphysema (bengkak paru-paru). Penyakit yang lebih kronis menyebabkan kegagalan fungsi paru-paru. Kandungan SO2 di udara di kota-kota besar dan kawasan industri rata-rata mencapai 15 % dari beban polusi udara kawasan tersebut.
c. Carbon Monoxide (CO)
Kandungan CO dalam udara kawasan industri dan kota besar adalah yang terbanyak (mencapai + 45 % dari beban polusi kawasan tersebut). CO terserap dalam pernafasan dan bercampur dengan hemoglobin dalam darah. Akibatnya CO mereduksi fungsi oksigen dalam darah dan membuat darah terkontaminasi dan tidak dapat dibersihkan oleh oksigen. Beratnya serapan CO dalam darah dapat menyebabkan gangguan sistem saraf dan mengarahkan terjadinya gangguan psikologis. Taraf ringan, CO menyebabkan sakit kepala (pusing dan mual) namun pada taraf kontaminasi berat terutama di ruangan tertutup dapat menyebabkan kematian. CO dihasilkan dari pembakaran bahan bakar industri dan transportasi.
d. Nitrogen Oxide (Nox)
Terdiri atas NO dan NO2. NOx juga merupakan produk industri dan transportasi meskipun dapat juga dihasilkan oleh alam dalam proses fotosintesis tumbuhan dan ketika terjadi hujan asam. NOx menyebab pneumonia (radang paru) dan kangker paru.
e. Ozone (O3)
O3 adalah hasil proses kimiawi kombinasi antara NO dengan O2. NO melepaskan O dan berproses dengan O2 membentuk O3 sedangkan N terlepas dan berinteraksi dengan kimia lain (NO2 dan VOCs). Ozone menyebabkan gangguan iritasi pernafasan/respirator dan iritasi mata. Semakin berat kontaminasi ozone mengakibatkan sakit cardiovaskuler (jaringan darah ke jantung) dan gangguan paru-paru.
f. Timah (Pb)
Di udara, timah bercampur dengan debu dan zat besi lain. Kandungan timah yang terserap dalam tubuh semakin besar akan menyebabkan penyakit hati (Bell dkk, 1996, 265) dan kemudian akan mengganggu sistem saraf. Selain itu juga menyebabkan anemia bahkan mampu menyebabkan kematian.

D.1. Efek Psikologis Polusi Udara
Sering orang tidak dapat melihat adanya bahaya dan racun dalam udara, satu-satunya cara mengetahuinya adalah ketika orang mengalami simptom berbagai penyakit yang disebabkan oleh bahaya tersebut. Begitu seseorang menyadari adanya bahaya yang disebabkan oleh masalah-masalah lingkungan berdasarkan stres, uncertainty dan agresi yang dialami, maka barulah manusia merespon lingkungannya. Respon manusia akan berlanjut dengan pola coping antara lain pindah dari lingkungan berbahaya tersebut dan berusaha mengurangi ancaman yang diderita.
Akan tetapi toh manusia akan tetap hidup dalam lingkungan atmosfir yang penuh dengan substansi racun. Sebagian besar manusia menyadari hal itu, namun sedikit yang sangat merasa berkepentingan memperbaikinya atau meresponnya seperti ketika orang merespon sebuah fenomena keracunan yang dramatik. Contohlah ketika kita yang hidup di sebuah kota industri, ketika malam tiba cobalah lihat langit kota yang sebagian besar tertutup oleh awan abu-abu atau bahkan gelap (city smog). Manusia tahu ada polusi dan hal itu berbahaya tetapi seberapa persen dari manusia yang merasa berkepentingan.
Maka bedakan dengan heboh bahaya SARS saat ini. Penyebaran virus SARS melalui udara yang dihirup saat bernafas, mengakibatkan orang menjadi sibuk menutup hidungnya dengan masker, menyemprot benda-benda dari negara yang terkena SARS dengan zat kimia agar tidak terjangkiti virus. Apakah zat kimia yang disemprotkan itu juga tidak mengganggu kesehatan lingkungan dan kesehatan manusia ?
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa polusi udara disebabkan kandungan kimia yang berada di udara (partikel, SO2, CO, Nox, 03, Pb) secara psikologis dapat menimbulkan stres, uncertainty, dan agresi. Polusi udara juga dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf manusia yang mengakibatkan gangguan perilaku dan gangguan genetika.

D.2. Efek Nonpsikologis Polusi Udara
Efek nonpsikologisnya adalah gangguan kesehatan baik organ dalam maupun kesehatan kulit dan organ luar manusia. Namun sayang, banyak orang yang memiliki kepedulian rendah terhadap mutu lingkungan, manusia baru terusik ketika terjadi booming kerusakan kualitas lingkungan.

E. SEKILAS TENTANG MASA DEPAN LINGKUNGAN
Heilbroner (dalam Veitch, 1995) menyatakan bahwa tidak ada harapan bagi kita untuk hidup dalam lingkungan yang layak (standard of living) dalam masyarakat industri yang makin besar. Konservasi dan preservasi lingkungan sangat tergantung kepada beberapa hal antara lain kebijakan pemerintah (political will), kontrol masyarakat, persepsi masyarakat mengenai sumber daya alam dan struktur masyarakat kapitalis (ecological capitalist or exploratory capitalist).
Oleh sebab itulah kemudian muncul berbagai perjanjian/undang-undang yang dibuat oleh pemerintah untuk konservasi dan preservasi lingkungan antara lain National Environmental Policy Act (NEPA) yang disusun pemerintahan Presiden Nixon/USA dan konfensi Kyoto (Bell, 1996).
Veitch (1995) menegaskan bahwa masa depan lingkungan dipengaruhi oleh keterbatasan mentalitas berlandaskan asumsi :
a. Derajad pandangan manusia tentang keterbatasan sumber daya alam;
b. Kemampuan melihat diri sendiri sebagai bagian alam yang tidak terpisahkan dan interdependency;
c. Alam seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang menghasilkan manfaat bagi manusia.
Karena asumsi di atas, Chiras (dalam Veitch,dkk., 1995) mengagendakan perlunya upaya-upaya menyehatkan mental. Penyehatan mental adalah penanaman dan pembentukan image individu agar secara sadar dapat meningkatkan kepedulian pada lingkungan antara lain dengan melakukan konservasi / perlindungan (penulis lebih menyukai menambahkan preservasi / pemeliharaan dengan baik, sebagaimana diungkapkan Cutter dkk, 1991), recycling dan memanfaatkan secara maksimal sumber daya yang renewable dalam upaya menghemat unrenewable resources. Kemudian juga membangun sebuah citra bahwa manusia adalah satu kesatuan dengan alam dan masing-masing bagiannya memiliki interdependency mutualistic, serta menyadari bahwa alam memberi manfaat yang harus dijaga kelestariannya bukan sekedar sebagai obyek eksploitasi.
Veitch (Veitch, 1995, 393) mengemukakan ada tiga teori yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan hubungan antara manusia dengan lingkungannya :
a. Theologi
Yakni ajaran agama yang disalahartikan, sehingga dimaknai memberikan keleluasaan bagi umat untuk mengeksploitasi alam.
b. Imperialisme Biologi
Mengajarkan bahwa makluk hidup secara natural berusaha menguasai alam sebesar-besarnya untuk diri sendiri dan keturunannya. Manusia juga memiliki sifat-sifat dasar tersebut, bahkan teknologi kemudian mendukung eksploitasi alam yang dilakukan oleh manusia untuk sebesar-besarnya kepentingan manusia dibandingkan spesies lain yang tidak mengenal teknologi.
c. Psychological Theory
Psikologi mengasumsikan adanya perasaan “aku” dan “bukan aku”. Aku adalah segala sesuatu yang ada dalam seluruh tubuhku sedangkan yang di luar tubuhku bukan aku. Akibatnya, beberapa ilmuwan psikologi memberikan andil bagi kesalahan dikotomi antara manusia dengan lingkungan. Seharusnya psikologi menanamkan makna bahwa aku adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar di luarku (bukan aku), antara aku dan bukan aku berada dalam kesatuan dan saling memberikan manfaatnya masing-masing.

F. PERAN PSIKOLOGI TERKAIT DENGAN BENCANA
Secara teori psikologi yang dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan bencana yang terjadi pada lingkungan adalah adaptation – level theories (teori adaptasi). Teori ini menjelaskan bahwa ada adaptasi dan adjustment. Adaptasi adalah penyesuaian diri terhadap lingkungan. Sedang pada adjustment dapat diartikan respon penyesuaian lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan diri (Bell, dkk, 1996).
Ketika terjadi bencana dan seseorang mampu melakukan adaptasi dan adjustment, maka tidak ada persoalan bagi kondisi psikologi seseorang. Beda halnya seseorang yang tidak mampu melakukan adjustment dan adaptasi maka akan terjadi gangguan psikologi.
Melihat realitas di atas, maka peran psikologi yang bisa dilakukan adalah melakukan proses terapi bagi individu pada daerah yang rawan bencana agar memiliki coping yang baik untuk melakukan adjustment dan adaptasi, sehingga bila terjadi bencana seseorang mampu melakukan adaptasi dan adjustment. Hal ini untuk mencegah terjadinya gangguan psikologis.
Psikologi juga mencermati bagaimana orang melakukan coping terhadap bencana. Terdapat berbagai bentuk mengatasi bencana yang dilakukan oleh individu-individu korban suatu bencana, baik terdapat kesamaan bencana maupun perbedaan jenis bencana. Pola mengatasi bencana itu antara lain dengan Theologi, yaitu berserah diri kepada Tuhan, perubahan pola pikir futuristik yaitu meningkatkan konsentrasi ke masa depan dan mengalihkan pada kegiatan-kegiatan positif.
Oleh sebab itu, lebih lanjut psikologi diharapkan mampu menyusun konsep berisikan strategi melakukan coping terhadap bencana yang applicable dan mudah dipelajari oleh masyarakat. Terutama adalah masyarakat yang bukan langganan bencana, karena masyarakat yang langganan bencana umumnya memiliki strategi coping dari hasil belajar selama bertahun-tahun.



Refferensi :

Bell, P.A., Greene,T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. 1996. Environmental Psychology 4th ed. New York : Harcourt Brace College Pub.
Cutter, S. L., Renwick, H L, and Renwick, W H., 1991, Exploitation, Conservation, Preservation; a Geographic Perspective on Natural Resource Use 2nd Edt., New York : John Wiley & Sons
Ife, J., 1995, Community Development; Creating Community Alternatives – Vision, Analisys and Practice, Australia : Longman
Jackson, A. R. W. and Jackson, J. M., 1996, Environmental Science : The Natural Environment and Human Impact, London : Longman
Johnson, K., 1982, Equity in Hazard Management : Journal of Environment Vol. 24 (9)
Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2003, Halaman 1, Awas Indonesia Sasaran Tsunami, Yogyakarta
Kompas, 4 April 2003, Mewaspadai Penyakit Lingkungan Akibat Radiasi Elektromagnetik, Halaman 28 Kolom 1 – 3
Lebovits, A., Byrne, M., and Strain J, Advances in Environmental Psychology Volume 6, 1986, hal. 3 – 17
Mehr, J., 1992, Human Services; Concepts and Intervention Strategies 5th Edt., London : Allyn and Bacon
Pratiwo, 2001, The Unpredictable Space in Between A Paradox Toward Informatic City, dalam Proceding International Seminar on Urbanization 22-23 August 2001, Jakarta : UI
Ruswahyuni, Titik E., Ninik W., dan Turini Y., 1999, Pengaruh Tingkat Intensitas Cahaya dan Pemupukan Hyponex Hijau yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Jenis Gracilaria Sp, dalam Jurnal Jaringan Penelitian Bappeda Jateng No. 10 hal. 19 – 24
Veitch, R., and Arkkelin, D., 1995, Environmental Psychology; Interdisciplinary Perspective, Englewood Clift, New Jersey : Prentice Hall

Tidak ada komentar: