Mengenai Saya

Selasa, 30 September 2008

PENGUBAHAN SIKAP INDIVIDU DALAM MASYARAKAT

PENGUBAHAN SIKAP INDIVIDU DALAM MASYARAKAT
(UPAYA MINIMALISASI KORUPSI DALAM TUBUH BIROKRASI)

Oleh : Didik Agus Setyo P.



I. PENDAHULUAN

Kita, dan hampir seluruh masyarakat Indonesia sering mengetahui bahkan menemui sendiri perilaku jahat yang dilakukan oleh oknum (sebagai pembenar) birokrasi. Bahkan karena seringnya orang membicarakan perilaku jahat itu, masyarakat salalu ogah-ogahan memberikan respon. Kalaupun bersedia memberikan respon biasanya hanya sekedar membicarakannya dan tanpa ekspresi. Lihat saja hasil penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 1999 yang berbasis di Hongkong, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan tingkat Korupsi Tertinggi (skor 9,91) dan sarat dengan Kroniisme (skor 9,09). Jauh dibawah Thailand yang berkisar antara 6,5 sampai dengan 7,5.
Demikian juga laporan Jurnal Masyarakat Transparansi Indonesia edisi 18 Maret 2000, disebutkan bahwa ekspatriats sebagai responden penelitian mempersespikan masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang terdekat.
Bahkan pada masyarakat, dimana didalamnya kita berada, sering mengalami perilaku jahat dari birokrasi. Mengurus pembuatan KTP yang lama, mengurus IMB dapat dipercepat penyelesaiannya asal bersedia membayar dalam jumlah yang lebih besar dari pada ketentuan yang berlaku, megurus sertifikat tanah yang terlalu bertele-tele (yang pimpinannya keluar kotalah, arsipnya ketlisut, petugasnya baru pergi; sementara sebagian dari mereka asyik ngobrol atau baca koran).
Maka sebenarnya misteri apa yang menyelimuti sikap masyarakat sehingga mereka atau kita lebih suka berperilaku datar, dingin dan tanpa ekspresi memperoleh stimuli jahat itu. Apakah karena kita sendiri menyadari bahwa kita juga terkadang berperilaku yang substansinya hampir sama, kita sudah bosan ataukah kita telah mencapai derajad frustrasi sosial yang jenuh. Akhirnya, upaya apa yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki sikap kita sebagai individu dalam konteks interaksi sosial terhadap perilaku jahat oknum birokrasi sehingga individu mampu memberikan respon perilaku yang bermuara pada perbaikan perilaku birokrasi di negara ini.


II. PERMASALAHAN

Dengan mendasarkan asumsi sementara pada pengantar diatas, kita akan mencoba menarik permasalahan penting sebagai berikut :
1. Keterpasungan perilaku individu selama lebih dari 30 tahun membawa akibat membusuknya sikap individu (dari upaya-upaya perbaikan moralitas lingkungannya);
2. Sikap Individu saat ini di Indonesia dan model upaya pengubahan sikap sebagai starting point pembentukan perilaku perlawanan terhadap korupsi di dalam birokrasi.


III. PENGERTIAN

Birokrasi
Birokrasi, dalam bayangan kita tak ubahnya sebagai seekor gurita raksasa yang dirancang secara jenius namun dikerjakan oleh banyak orang tolol. Perkerjaan birokrasi merupakan sebuah mesin yang bergerak teratur dan lamban, terpecah menjadi banyak bagian dan hierarkis serta monopolistik sehingga menciptakan kesempatan berperilaku curang dan penyelewengan serta selalu diatur oleh hukum, tata cara dan kontrol internal yang tak ada habisnya.
Anggapan diatas merupakan ide, uangkapan yang umum ditemui dalam masyarakat di negara berkembang. Ide menilai birokrasi sebagai kolektivitas pemerintahan yang lamban, sering menyeleweng, curang, mementingkan diri sendiri, tidak responsif dan tidak mampu menampung perubahan serta tidak inovatif.
Osborne dan Plastirk menyimpulkan bahwa Ada keyakinan yang meluas bahwa pemerintah hanyalah melayani diri sendiri, tidak efisien dan efektif. Respon ini menunjukkan kemarahan yang mendasar, namun sentimen negatif ini telah lama dijadikan bukti untuk memberi ciri kepada mereka yang pemarah. Barangkali kebendian dan frustrasi yang mendalam ini merupakan penjelasan untuk kondisi kejiwaan masyarakat dewasa ini.

Kepribadian Manusia Indonesia
Masalah, dimanapun tempatnya, timbul sebagai akibat tidak tercapainya kualitas (ideal) manusia. Kualitas ideal manusia digambarkan sebagai karakteristik terbaik yang diharapkan ditampilkan oleh manusia dalam perilakunya sehari-hari. GBHN RI selalu menyebutkan karakteristik manusia Indonesia Seutuhnya adalah serba berkesinambungan dan selaras dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dengan bangsa-bangsa lain dan dengan alam lingkungannya. Dengan demikian kualitas manusia Indonesia seharusnya mampu membentuk perilaku individu berkaitan dalam hubungannya dengan Yang Memiliki Idee Tertinggi, hubungannya dengan sesama manusia, hubungannya dengan bangsa-bangsa lain serta hubungannya dengan alam lingkungannya.
Ketidak selarasan hubungan akan mengakibatkan fenomena agresi sebagai bentuk kondisi psychological disorder. Pada akhirnya Agresi akan menyebabkan frustrasi pada kelompok yang dikenai.
Freud menyebutkan frustrasi sebagai gejala kejiwaan yang diakibatkan dihambatnya dorongan untuk mencapai kepuasan dan membiarkan terlepasnya dorongan erotik.
Lebih lanjut Dollard. Dkk. menyatakan bahwa frustasi mampu membentuk kesatuan sinergi (dari kelompok terkena agresi) yang sewaktu-waktu dapat mengejawantah / terimplementasi dalam bentuk pelampiasan (displacement) dan proyeksi prasangka pada kelompok agresor.
Pada realitas hubungan sosial, agresor merupakan peta kekuatan yang tak terlawankan. Kalaupun tidak, agresor disimbolkan sebagai agen yang mampu memberikan punishment pada diri subyek terkena agresi, sehingga bahkan untuk menunjukkan aktualisasi dirpun dirasakan terdapat larangan.
Agresi yang mengenai suatu kelompok akan berfungsi sebagai rangsangan/stimuli yang memicu timbulnya respon. Respon bisa jadi berujud perlawanan terbuka dan memunculkan protes, kekerasan, anarkhisme, perkelahian bahkan perang antar kelompok. Namun perlawanan bisa mersifat tertutup, sebagai akibat direpresikannya dorongan untuk memberontak, protes atau bahkan menghindari terjadinya kekerasan phisik.
Paling tidak terdapat 2 faktor penyebab terjadinya perlawanan sebagai bentuk meredakan frustrasi, yakni :
1. Kondisi internal, yakni kondisi pribadi subyek, merasa kecil/tidak mampu, mudah mengalah dan menerima kekalahan sebagai sesuatu yang wajar, subyek lebih menyukai menghindar dari konflik. Biasanya individu ini lebih sering mengeksplorasi perlawanannya dalam bentuk fantasi perlawanan (day-dreams).
2. Kondisi eksternal, yakni kondisi lingkungan. Meliputi besarnya fasilitasi sosial untuk melakukan perlawanan, konformitas sosial dan prososial dan tingkat kepatuhan individu pada kelompok atau tata cara yang berlaku.
Gagalnya upaya perlawanan terhadap agresi dapat menimbulkan perilaku agresi baru yang berwajah lain karena respon agresi itu dipelajari selagi individu itu berproses dalam sosialisasi. Namun perlu ditekankan bahwa tidak semua frustrasi dapat menimbulkan agresi baru.
Kembali kepada karakteristik manusia Indonesia, M Alwi Dahlan menyebutkan bahwa kualitas manusia Indonesia diukur dari Kondisi Fisik meliputi kesegaran jasmani, kesehatan dan daya tahan fisik; selain Kondisi Fisik kualitas manusia Indonesia juga diukur dari Kondisi Non Fisiknya, yang terdiri dari beberapa faktor berikut :
1. Kualitas Kepribadian, yakni kecerdasan, kemandirian, kreativitas, ketahanan mental, dan keseimbangan antara emosi dan rasio;
2. Kualitas bermasyarakat, yakni keselarasan hubungan sesama manusia;
3. Kualitas Spiritual dan moralitas;
4. Kualitas Kekaryaan, yakni kemampuan untuk berprestasi tinggi;
5. Kualitas Berbangsa, tingkat kesadaran berbangsa dan bernegara;
6. Kualitas Lingkungan, Kemampuan individu untuk mengembangkan lingkungannya.
Harus diakui bahwa rata-rata kepribadian bangsa Indonesia pada banyak kasus belum mampu mencapai ukuran ideal sebagaimana tersebut diatas. Oleh sebab itu perlu pula upaya membangun kepribadian manusia Indoensia yang ideal dan baik. Pada upaya pengembangan kepribadian manusia Indonesia, perlu diketahui aspek yang berpengaruh yakni faktor genetika, stimulasi, lingkungan, dan kurun waktu kejadian. Fungsi stimulasi genetika, lingkungan dan kurun waktu kejadian diharapkan memberikan perubahan pada baik organisme maupun perilaku.













Gambar 1. Perubahan Kepribadian


Korupsi
Merupakan perilaku orang dan atau sekelompok orang yang dengan sengaja mempergunakan segala sesuatu yang bukan haknya, tidak atas persetujuan yang berhak, serta tidak mempertanggungjawabkan penggunaannya. Korupsi bisa pula berarti perilaku penyelewengan atas benda/harta negara/instansi untuk kepentingan sendiri.
Korupsi lahir sebagai penjelmaan atas ketimpangan kepribadian manusia sebagai akibat terdeferensiasinya kepentingan dan informasi ke dalam diri dan lemahnya kontrol superego terhadap id.
Dalam berbagai kasus besar, korupsi merupakan perilaku bayak orang dalam banyak hierarkhi yang tidak dapat dicari ujung pertama pelakunya dan ujung akhirnya. Dengan begitu korupsi terangkai dalam jalinan yang berkesinambungan, tidak terputuskan dan sangat kuat.
Korupsi dalam perkembangannya tidak hanya berupa penyelewengan atas sejumlah barang dan/atau uang semata, namun juga dapat berupa informasi, tingkat pelayanan publik, waktu bahkan kepercayaan orang lain.
WJS Purwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian Korupsi sebagai “Perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya)”.

Sikap
Adalah merupakan cara individu mengungkapkan suasana hati kepada orang lain. WJS Purwadarminta mengartikan sikap sebagai “Perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian, pendapat atau keyakinan”. . Sedangkan Kartini Kartono mengasumsikan sikap/attitude/pendirian sebagai “kecenderungan untuk memberi respon baik positif maupun negatif kepada orang lain, benda-benda atau situasi-stuasi tertentu” (kamus Psikologi, DR. Kartini Kartono & Dali Gulo).
Dengan demikian sikap adalah merupakan cara mental individu untuk melihat dari dalam diri sebagai sebuah isyarat yang berpusat pada perhatian terhadap faktor-faktor lingkungan. Stimulasi positif lingkungan akan memberikan pancaran mental individu yang positif kepada orang atau benda lain. Sementara stimlulasi negatif akan mengakibatkan goncangan diri dan membentuk sikap negatif yang ditantang untuk melakukan perubahan kearah pembentukan pancaran individu yang positif.
LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai “….., tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan” .
Sementara Secord dan Backman (1964) mendefinisikan sikap sebagai “Keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dari lingkungan sekitarnya”
Dari pengertian tersebut diatas, paling tidak, dapat dipahami bahwa sikap merupakan penilaian mental individu terhadap stimuli lingkungan sosialnya berupa kecenderungan untuk berperilaku. Sikap individu sedikitnya dipengaruhi oleh 3 (tiga) aspek yaitu :
a. Perasaan (afeksi) individu terhadap obyek/stimuli;
b. Pemikiran (kognisi) antara lain terdapat pengetahuan yang dipelajari dan pengalaman individu yang disimpan dalam memori;
c. Predisposisi tindakan, yakni kecondongan atau kecenderungan untuk mereaksi dengan satu cara tertentu.

Maka berasumsi dari adanya pengaruh afeksi, kognisi dan predisposisi, perubahan/pembentukan sikap manusia terhadap stimuli digambarkan dalam skema berikut :
AFEKSI R. Saraf

STIMULUS SIKAP KOGNISI RESPONS R. Verbal
(Obyek) (Perilaku)
PREDISPOSISI R. Aktivitas


IV. PEMECAHAN MASALAH

A. Keterpasungan dan Pembusukan Sikap
Lebih dari 30 tahun berlalu, kehidupan di Indonesia berada dalam alam kemerdekaan yang dibelenggu. Individu-individu yang memiliki hak atas kemerdekaan berperilaku baik verbal maupun aktivitas selama itu dipasung sehingga yang tampak adalah homogenitas sosial yang berisi ratusan juta individu dengan berbagai macam heterogenitasnya.
Setiap kali, salah satu dari sekian banyak individu diantara kita menemukan perilaku korupsi dimanapun tempatnya, terutama di jajaran birokrasi, maka sudah hampir dapat dipastikan individu ini akan dikucilkan, dijebloskan ke penjara dengan berbagai upaya yang (katanya) didasari atas hukum.
Pada waktu itu, harus diakui, untuk memperoleh informasi yang mendekati akurat mengenai data-data perbuatan korupsi memang sangat sulit. Boleh dibilang, semua akses informasi berada dalam kendali kekuasaan birokrasi. Alhasil, tidak ada seorangpun anggota masyarakat yang mampu mendekati dan berkompromi dengan pusat-pusat informasi.
Rentang kendali yang sangat luas dan besar dari birokrasi hampir menyentuh semua urat nadi kehidupan individu. Sehingga pada saat itu, bukannya individu-individu dalam masyarakat yang mampu mempressure birokrasi, namun justru birokrasi-lah yang menekan individu.
Sebagai sebuah robot yang kokoh dan kuat, birokrasi pada waktu itu merupakan mesin yang mampu melindungi kepentingannya sendiri dan menjaga keamanan orang-orang didalamnya dari ancaman lingkungan luarnya. Sungguh luar biasa memang, kekuatan birokrasi waktu itu. Bahkan sikap individu di luar lingkungannya dapat dipersuasi menjadi kecemasan dan ancaman.
Kondisi kejiwaan individu dalam masyarakat Indonesia dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun yang baru lalu secara sederhana dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut :


















Gambar 3. Analogi Frustrasi Akibat Ancaman Birokrasi
(Diolah oleh Didik Agus Setyo P. dari berbagai sumber, 2001)


Skema di atas menggambarkan betapa sulitnya individu-individu di dalam masyarakat mengekspresikan sikap anti korup terhadap birokrasi pada lebih dari 30 tahun yang lalu.
Sikap Individu yang anti korup diancam melalui persuasi yang merupakan andalah birokrasi untuk melindungi dirinya. Akibatnya sikap anti korup tidak dapat berkembang, individu merasakan adanya ancaman atas sikap mereka. Ancaman-ancaman ini dirasakan tidak nyaman/tidak mengenakkan sehingga individu merepresi ancaman tersebut. Semakin banyak ancaman direpresi oleh individu, makin besar kemungkinannya individu mengalami frustrasi sosial yang kronis.
Sebaliknya, apabila individu memaksakan untuk mengekspresikan sikapnya, attitudnya atau pendiriannya, maka individu akan dikenai ancaman hukuman atas perilakunya. Perilaku baik verbal maupun non verbal atas perlawanan terhadap indikasi stimuli korupsi yang dilakukan birokrasi, sepanjang itu dirasakan mengganggu dan bahkan membahayakan birokrasi, maka selalu akan berproses dalam wacana hukum.
Seseorang secara mental jika merasa dirinya terancam secara hukum maka dia akan berada pada ketakutan yang sangat. Ketakutan dalam diri individu akan mengarah pada terciptanya frustrasi yang berat. Ketakutan terutama yang direpresikan akan sangat mengganggu mentalitas individu dan memiliki kecenderungan terciptanya abnormalitas.
Kemudian, seorang individu yang jelas-jelas dikenai hukum sudah barang tentu akan merasa tertekan, terancam, bahkan tragisnya, kelak ia akan dikucilkan oleh lingkungan sosialnya. Maka dapat pula dipastikan individu pada stage ini akan mengalami depresi mental yang berat.
Yang menjadi masalah adalah apabila seseorang telah mengalami beberapa kali ancaman dan atau hukuman, maka dia tidak lagi mempersepsikan itu sebagai sebuah punishment, sebaliknya individu mempersepsi itu sebagai reward atau sesuatu yang menyenangkannya. Akibatnya, individu yang demikian ini justru menikmati dan merasa memperoleh kepuasan, maka akan sulit bagi orang lain untuk mengakomodir sikap dan kecenderungan perilakunya dalam sebuah wahana organisatoris anti korupsi.
Jika kita menengok ke masa lalu, maka banyak produk hukum yang lemah dan diciptakan produk hukum baru sebagai pelengkap yang didalamnya masih juga terdapat produk-produk hukum yang memberikan peluang/kesempatan korup. Salah satu contoh adalah hak imunitas pejabat negara dari jeratan hukum.
Pada perkembangan lanjut, bahkan, pelaku hukum mulai mengembangkan pola perilaku baru untuk menyelamatkan target hukum atas birokrat korup dengan mengkondisikan si target sakit, dan sebagainya.
Upaya-upaya birokrasi yang dibuat “legal” untuk mengancam, membuat takut dan menciptakan depresi individu dalam masyarakat telah pula melahirkan stereotip bahwa individu anti korup itu tidak baik, membahayakan diri sendiri, menciptakan frustrasi diri yang bisa berakibat abnormalitas phisik dan psikis.
Dalam kata lain “kebijakan birokrasi” pada waktu itu telah membelenggu sikap individu sehingga tidak terjadi perilaku anti korupsi. Akibatnya, sikap-sikap anti korupsi yang tumbuh tidak dapat hidup, mengalami kematian segera, dan membusuk dalam negara yang berideologikan demokratisasi.

B. Model Pengubahan Sikap Individu kearah Anti Korupsi
Telah ditelaah dimuka bahwa lebih dari 30 tahun lalu, individu-individu di negara Indonesia ini mengalami pembelengguan atas sikap antikorup. Akibatnya perilaku antikorup-pun tidak dapat termanifestasikan dalam rangka society-control/citizen control terhadap terciptanya good governance/birokrasi.
Akibatnya sikap yang semula antikorup berangsur-angsur tidak acuh terhadap semua fenomena korupsi birokrasi. Individu lebih menyukai diam, mungkin tidak menciptakan sikap/pendirian dalam dirinya terhadap fenomena korupsi. Individu lebih mencintai diri dan kesibukannya untuk mengejar sejumlah materi dan itu membuat mereka lebih berbahagia.
Yang menjadi tugas kemasa depan adalah bagaimana menciptakan pembaharuan kondisi yang memungkinkan terciptanya kembali sikap antikorupsi yang kritis dari sejumlah besar saja individu dalam masyarakat kita. Tidak perlu semua orang memiliki sikap anti korupsi, karena keseluruhan adalah harapan ideal saja. Model pengubahan sikap individu yang bagaimana hingga bisa memunculkan kembali sikap antikorup yang sempat memudar, mengembalikan kembali perilaku citizen control terhadap terciptanya good governance.
Telah kita ketahui bahwa sikap dipengaruhi oleh komponen afektif, kognitif dan konatif. Mann (1969) mengasumsikan bahwa komponen kognitif berisikan persepsi, kepercayaan dan stereotip yang dimiliki individu mengenai obyek . Oleh karena dalam aktivitas ini adalah pengubahan sikap kembali kepada sikap yang pernah ada sebelumnya dan membutuhkan penguatan (empowering), maka dibutuhkan penemuan kembali persepsi, pembangunan kembali kepercayaan diri atas moralitas dan hukum serta pembentukan stereotif positif diri bahwa diri individu adalah bagian citizen control yang memiliki akses menciptakan good governance, sikap dan perilaku anti korup baik, dan tidak membahayakan diri serta tidak ada ancaman apapun selama memiliki data akurat.
Komponen afektif adalah pembentukan kembali perasaan diri individu untuk menyelamatkan negara dari kehancuran akibat ulah oknum birokrasi yang korup. Menciptakan kembali perasaan bersalah jika mengetahui, memiliki data akurat atas perilaku korup namun tidak melaporkan dan memberitahukannya kepada publik.
Komponen konatif adalah membentuk evaluasi atas data akurat, temuan perilaku korupsi dan menyusun rencana respons sebagai susunan alternatif perilaku yang rasional-logis-berdedikasi dan bermoral.
Maka kemudian skema pengubahan sikap yang diharapkan terjadi adalah sebagai berikut :





















Gambar 4. Skema Pengubahan Sikap
(Diolah dari berbagai sumber oleh Didik Agus Setyo P.)


Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi pengubahan sikap individu dalam meminimalisasi korupsi antara lain :
a. Pemberdayaan kontrol individu, bahwa masyarakat terdiri atas banyak individu. Semakin banyak individu yang mengembangkan sikap anti korup dan memanifestasikannya dalam bentuk kontrol sosial, maka upaya minimalisasi korupsi setingkat lebih dapat diperjuangkan;
b. Pemberdayaan individu dalam mengakses informasi sebanyak mungkin;
c. Sistem pendidikan yang secara psikologis mendidik individu memiliki sikap positif terhadap upaya pemberantasan korupsi;
d. Memaksakan realitas bahwa birokrasi adalah alat untuk mensejaherakan individu-individu dalam masyarakat;
e. Memberdayakan sikap individu untuk bisa berperilaku agar mengerti lebih banyak tentang hukum dan moralitas;
f. Adanya perlindungan hukum yang pasti bagi individu/informator;
g. Terdapatnya lembaga independen yang mampu menindaklanjuti temuan individu mengenai tindak korupsi dan mampu pula melakukan persuasi kepada anggota masyarakat lain untuk merubah sikap mereka dan kemudian berperilaku memusuhi tindak korupsi.

Kapan kita dapat memulai pengubahan sikap kearah anti korupsi ? Jika pertanyaannya adalah demikian, jawabannya adalah semakin cepat individu dapat mengamalkannya, semakin baik dan semakin banyak harta negara, hak individu yang dikuasai negara, dapat diselamatkan.
Memang, semenjak bergulirnya reformasi, banyak kasus dugaan korupsi yang dapat dijerat hukum. Namun sekali lagi, dengan beberapa dalih hukum pula para tersangka ini dilepas begitu saja dari peradilan. Contoh nyata adalah kasus dugaan manipulasi Joko S Candra (kasus Bank Bali), yang dilepas hanya karena alasan transaksi yang dilakukan Joko S Candra merupakan perkara perdata dan tidak dapat diadili dalam sidang perkara pidana.
Menyikapi kenyataan tersebut sangat jelas bahwa rantai pelaku korupsi mengimbas pula ke wacana hukum. Sehingga dengan demikian benar-benar perlu adanya lembaga independen anti korupsi yang mampu mengakomodasi informasi, mencari data dan fakta dan menindaklanjutinya serta mampu mempersuasi individu-individu dalam kesatuan masyarakat majemuk hingga terbentuk kembali sikap anti korupsi dan memunculkan keberanian berperilaku anti korupsi.
Umar Kayam mengingatkan bahwa korupsi sulit diberantas karena telah membudaya dikalangan masyarakat Indonesia . Namun kendala itu bukanlah lalu menyebabkan korupsi tidak mungkin diberantas. Jika sedikit-dikitnya separo saja dari jumlah individu masyarakat Indonesia memiliki sikap keras, tegas, tidak pandang bulu, mengedepankan terciptanya birokrasi yang bersih dengan mereduksi rasa sungkan dan ewuh pekewuh.
Pada dasarnya, individu selalu menginginkan kepuasan atas sikap dari stimuli yang diperolehnya. Oleh sebab itu, jika sikap yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku individu untuk melawan korupsi terbukti menguntungkan dan memberikan kepuasan kepada mereka, tentu mereka akan dengan senang hati melakukan perilaku yang sama. Semakin besar individu merasa puas dengan perilakunya itu, semakin besar pula keinginan mereka untuk berperilaku, semakin inovatif pula sikap individu yang dapat diwujudkan dalam perilaku yang tampak (overt behavior).
Pondamen derajad keberhasilan minimalisasi korupsi memang bukan hanya dipengaruhi pengubahan sikap individu-individu dalam masyarakat Indonesia, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku aparat birokrasi itu sendiri serta juga keseriusan birokrasi dalam membersihkan dirinya dari perilaku korupsi.
Jika ketiga komponen mampu melakukan perubahan sikap ke arah upaya pemberantasan korupsi, maka akan terbentuk sikap bangsa yang anti korupsi. Dalam skema hubungan antar variabel, terlihat sebagai berikut :



















Gambar 5. Hubungan antar variabel dari sikap yang telah berubah
(Diolah dari berbagai sumber oleh Didik Agus Setyo P.)

V. KESIMPULAN
Sikap individu sebagai bagian dari masyarakat indonesia terhadap perilaku korupsi aknum birokrasi selama lebih dari 30 tahun ini terbelenggu. Keterpasungan sikap menjadikan tidak adanya perilaku yang sungguh-sungguh dari individu-individu untuk melawan korupsi birokrasi.
Keterpasungan sikap dan perilaku selama kurun waktu itu sengaja diciptakan oleh birokrasi untuk menciptakan rasa aman bagi diri dan kroninya, sehingga perilaku korup mereka aman, tidak diganggu dan berjalan lancar. Pemasungan sikap antikorup yang dilakukan birokrasi antara lain dengan persuasi ancaman (tidak memperoleh pelayanan publik secara wajar, penculikan, pemutusan informasi, dan sebagainya). Lebih jauh lagi brokrasi sering memberikan ancaman hukum kepada individu yang bersikap apalagi berperilaku anti korupsi tanpa didasari data dan fakta akurat. Sementara semua akses informasi dikuasai oleh birokrasi secara pampat.
Selanjutnya seiring dengan bergulirnya reformasi, semua individu dalam masyarakat memiliki kesempatan yang sama luas untuk mengakses informasi. Oleh sebab itu sudah saatnya dibangun kembali sikap-sikap individu antikorupsi.
Pengubahan sikap individu anti korupsi dipengaruhi oleh komponen afeksi yakni perasaan untuk menyelamatkan negara dan tanggung jawab moralitas sebagai individu yang taat hukum dan kepedulian atas welfare citizen. Komponen kedua adalah Kognisi yakni empowering persepsi, kepercayaan dan stereotif positif untuk meminimalisir perilaku korup birokrasi. Komponen ketiga adalah aspek konasi yakni predisposisi tindakan berupa konsep, rencana dan alternatif abstrak untuk berperilaku melawan korupsi yang secara faktual dan ditemukan adanya data yang akurat.
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi efektivitas pengubahan perilaku antara lain adalah keleluasaan kontrol sosial, sistem pendidikan, keluasan akses informasi, pemahaan hukum dan moral. Dengan demikian Media massa memiliki pengaruh pula secara signifikan dalam pengubahan sikap individu.
Keberhasilan meminimalisasi korupsi melalui pengubahan sikap ditentukan oleh semakin cepatnya starting point pengubahan sikap itu sendiri. Yang akan menjadi masalah seberapa besar konsistensi individu untuk secara tetap melakukan inovasi sikap anti korupsi. Sebab bisa jadi individu merasa tidak puas untuk selalu berada dalam stimuli tenang dan anti korup, dalam arti terkadang individu juga mengharapkan terjadinya konflik dan perilaku immoral.
Akhirnya, mentalitas dan lingkungan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam menentukan berhasil atau tidaknya upaya pengubahan sikap individu. Jika berhasil maka perilakunya akan bernilai moral “baik – seperti yang diharapkan oleh individu-individu lain (persona/superego)”. Sementara jika mentalitas dan lingkungan gagal melakukan pengubahan sikap individu maka akan bernilai “negatif – melawan harapan individu-individu lain dalam masyarakat”.


-----Yogyakarta, Oktober 2001.








DAFTAR PUSTAKA

KEPUSTAKAAN :

Alwi M Dahlan, Membangun Martabat Manusia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1992;

A.J. Dollard, IW. Dobb, NE Miller & RR Sears, Frustration and Agression, New Haven, Coun Yale Unversity Press;

Bob Widyahartomo, MA, Artikel : Good Governance dan Empowerment dalam Era Reformasi, Website : News Indonesia SuratkabarCom;

David Osborn dan Peter Plastirk, alih bahasa : Abdul Rosyid, Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Jakarta, Penerbit PPM, 2000;

Kartini Kartono, Dr., dan Dali Gulo, Kamus Psikologi, Bandung, Pioner Jaya, Maret 2000;

Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Yogyakarta, Pustaka Belajar, 1999;

Saifuddin Azwar, MA, Drs., Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2000;



JURNAL DAN ARTIKEL INTERNET :

Jurnal Transparansi online, Website Masyarakat Transparansi Indonesia, Edisi 18 Maret 2000;

-----, Edisi 20 Mei 2000;

-----, Edisi Juli 2000;

Muhd. K Salim, Artikel : Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Website Masyarakat Transparansi Indonesia, Pekanbaru, Oktober 2000;

Syaifuan Rozi Soebhan, Artikel : Model Reformasi Birokrasi Indonesia, PPW LIPI, 2000.

Tidak ada komentar: