Mengenai Saya

Jumat, 02 Juli 2010

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MASYARAKAT MISKIN TENTANG KEMISKINAN DAN PROGRAMPEMBANGUNAN KAWASAN (COMMUNITY BASED DEVELOPMENT) DI KOTA SEMARANG

(PEOPLE POOR REASONING ABOUT POVERTY AND COMMUNITY BASED DEVELOPMENT PROGRAM AT SEMARANG MUNICIPALLITY

Didik Agus Setyo P.1 dan Sartini Nuryoto2

Program Studi Psikologi

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Abstract

This Research is a phenomenological descriptive study, which explains the oocasion and facts about reasoning of poor people at Bandarharjo, Semarang municipal about poverty and Community Based Development program (CBD)
The poor people of Bandarharjo, Semarang municipal set up a reason that the poverty cannot solved. Living in illegal settlement and using any kind of things and take any opportunities to achieve needs of live. Its responds is judged as an innovative response from the poor, which is realized as the transformation from helplessness to continue life. Innovative response is a trick to reason and to make a decision to act or worth towards rationality principal. People poor of Bandarharjo realized of their helplessness because of poverty, made unability to handle shelter development and still keep their economical status. Community Based Development ( CBD) that is held to solve the poverty have less motivation towards the poor to participate actively. Most of the run of CBD program by government use a contractor services. Thus Bandarharjo’s poor people just active as watcher, and think of the development as a reward from the government to them. The helplessness perception and the development as a reward stimulate of the poor people dependence of the government development program.
Industrial development policy around Bandarharjo and the labor policy cause the happened of environment exploitation, public facility collision and the laborer payment has not covered the basic needs. The marginalization is never been occurred, the problem is on the effect that is occurred by the policy responses that stimulate the happened of environment exploitation, increase of public facility collision and the policy does not push the reduction of poverty problem completely.

Keywords : Poverty, Rationality, CBD, Marginalization, Heuristic Systematic Model


1. Universitas Pandanaran Semarang
2. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

1
PENGANTAR

A. LATAR BELAKANG

Kemiskinan merupakan masalah umum di setiap Negara manapun. Sebagai sebuah masalah, masyarakat miskin dan pemerintah berusaha keras untuk dapat mengatasi kemiskinan yang mendera. Migrasi penduduk dari desa ke kota merupakan pilihan pemikiran untuk mengatasi kemiskinan (McAuslan, 1986; Mantra, 1981; Abustam, 1989; Herlianto, 1986; Prasetyo, 1995).
Biro Pusat Statistik mencatat bahwa penurunan tingkat kemiskinan perkotaan di Indonesia pada tahun 1998 sampai dengan awal tahun 2000 berjalan lebih lambat dibandingkan penurunan kemiskinan di pedesaan. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional yang diselenggarakan Biro Pusat Statistik pada tahun 1998 penduduk miskin perkotaan mencapai 17,6 juta jiwa atau sebesar 21,9 % sedangkan penduduk miskin pedesaan mencapai jumlah 31,9 juta jiwa atau sebesar 25,7 %. Namun pada Sensus Ekonomi Nasional Biro Pusat Statistik bulan Agustus 1999, jumlah penduduk miskin perkotaan turun menjadi 12,3 juta jiwa atau 17 % sedangkan penduduk miskin pedesaan turun hingga mencapai jumlah 24,8 juta jiwa atau sebesar 20 %. Penurunan jumlah penduduk miskin perkotaan tahun 1998 hingga 1999 berkisar antara 4 % sedangkan penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai kisaran 5 – 6 %.
Migrasi penduduk miskin ke perkotaan menyebabkan tumbuhnya permukiman liar (squatter) dan munculnya kawasan hunian kumuh (slums) disebabkan ketidakmmapuan migran menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi perkotaan yang berjalan cepat. Akibatnya masyarakat migran miskin di perkotaan terjebak dalam jenis pekerjaan informal seperti pengemis, pemulung, tukang becak, pedagang kecil, buruh, penjaja makanan dan pengamen jalanan. Bahkan tidak jarang wanita migran terjerumus dalam lingkaran pelacuran di perkotaan (Papanek, 1975; Breese, 1972; Herbert, 1979; Yudohusodo, 1991).
Pilihan hidup di kawasan hunian kumuh dan liar serta menekuni pekerjaan informal merupakan pemikiran dan modifikasi perilaku masyarakat miskin di perkotaan untuk mempertahankan hidup (Mangin, 1967; Turner, 1962; Pearlman, 1976). Pemikiran dan modifikasi perilaku tersebut merupakan trik untuk memikirkan dan memperhitungkan berbagai peluang menentukan keputusan dan sepadan dengan konsep rasionalitas yang dikemukakan kaum Psikologi Evolusioner (Bower, 1996; Pinker, 1997). Modifikasi perilaku adalah hasil pemikiran inovatif dan menunjukkan kemampuan merespon secara jeli dan rasional kesempatan mempertahankan hidup pada masyarakat miskin (Turner, 1962).
Pembangunan nasional yang ditujukan memperbaiki taraf hidup dan menghilangkan kemiskinan kurang menumbuhkan partisipasi masyarakat. Program Pembangunan Berbasis Kerakyatan atau Community Based Development (CBD) juga kurang mendorong partisipasi masyarakat. Proses pembangunan lebih banyak dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa pemerintah (Wegelin, dkk., 1995; Kumorotomo, dkk., 1995; Santosa, 2002). Rendahnya partisipasi masyarakat kurang dapat meningkatkan taraf hidup dan mengatasi kemiskinan perkotaan. Masyarakat miskin perkotaan sebagai sasaran program pembangunan lebih banyak menjadi penonton dan konsumen proyek-proyek pemerintah (Herlianto, 1986; Santosa, 2002). Masyarakat miskin perkotaan sebagai penonton dan konsumen pembangunan mengindikasikan terjadinya ketergantungan terhadap pembangunan yang diselenggarakan pemerintah (Surbakti, 1984; Prasetyo, 1995).
Kurang berhasilnya upaya mengatasi kemiskinan merupakan masalah besar. Oleh karena itu, dalam permasalahan tersebut tentu terdapat permasalahan-permasalahan yang lebih kecil dan mengerucut pada permasalahan inti. Permasalahan kecil tersebut antara lain adalah bagaimana pemikiran masyarakat tentang kemiskinan yang mendera dan atribusi terhadap pembangunan yang ditujukan untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan juga kurang mampu mengatasi kemiskinan bahkan dinilai meningkatkan ketergantungan masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan disusun dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemikiran (reason) masyarakat miskin terhadap program pembangunan berbasis kerakyatan guna pengentasan kemiskinan ?
2. Bagaimanakah pemikiran masyarakat miskin tentang kemiskinan sebagai sebuah masalah ?
3. Benarkah masyarakat miskin tergantung terhadap program pembangunan dan bagaimanakah pemikiran mereka tentang ketergantungan ?

B. TINJAUAN TEORI PEMIKIRAN MASYARAKAT MISKIN TENTANG KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN BERBASIS KERAKYATAN
Penelitian Herlianto (1986) menemukan fakta dari hasil penelitian terhadap proyek penataan kawasan WR Supratman di Surabaya bahwa keberhasilan program penataan kawasan M Husni Thamrin telah menarik perhatian Bank Dunia sehingga bersedia memberikan donasi terhadap program penataan kawasan di Indonesia. Bank Dunia kemudian mengambil alih pemberian dana bantuan yang kemudian justru berdampak turunya aktifitas masyarakat dalam pembangunan kawasan mereka. Masyarakat yang semula sebagai produsen berubah menjadi konsumen, sekedar menjadi penonton proyek-proyek pemerintah yang ditangani pemborong-pemborong besar.
Kenyataan yang sama ditemukan Santosa (2002) dalam penelitiannya tentang Evaluasi Program Urban Renewal Kawasan Bandarharjo Kota Semarang. Santosa dalam penelitiannya menegaskan bahwa penataan kawasan yang didanai oleh pemerintah telah mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat.
Pemikiran adalah aspek psikologis yang mendasar dalam kehidupan manusia yang kemudian tergambarkan dalam bentuk perilaku teramati (Wicklund, dkk., 1980). Gambaran pemikiran manusia dimulai dari pengumpulan informasi, proses kognisi yang
berjalan pada alur logika dan kemudian penarikan konklusi. Konklusi merupakan penjelasan dari perilaku-perilaku yang dipelajari manusia, meliputi sifat individu, sikap manusia dan kemampuan berperilaku teramati (overt). Menurut Heider (dalam Wiklund, dkk., 1980) pemikiran (reasons) merupakan representasi proses akal kronologis.
Petty dan Cacioppo menegaskan bahwa pemikiran juga merupakan respon terhadap situasi lingkungan dan kejadian-kejadian khusus (Pines, dkk., 1993). Respon kognisi tersebut didasari logika rasional yang beralasan, tersusun dalam skema yang runtut dan dikomunikasikan dengan individu lain (Yandell dalam Pines, dkk., 1993).
Pendapat Pinker (1997) menyebutkan bahwa rasionalitas sepadan dengan trik yang kita lakukan dalam mengkalkulasi kemungkinan yang dapat terjadi terhadap suatu alternatif. Lebih jauh menurut pendapat Pinker (1997), rasionalitas didasari oleh berbagai informasi yang diperoleh dan kemudian secara alami individu memikirkan (to reason) segala kemungkinan yang dapat terjadi. Sehingga dengan demikian, ide pokok rasionalitas adalah pemikiran individu dalam merespon permasalahan yang mereka hadapi.
Pendapat Pinker memperkuat ungkapan Bower (1996) yang menyatakan bahwa kaum Psikologi Evolusioner menemukan rasionalitas manusia dicerminkan oleh kosensus atas keputusan yang diambil meskipun terdapat keterbatasan kemampuan kognitif. Demikian pula rasionalitas masyarakat miskin dalam membentuk pemikiran-pemikiran terhadap kemiskinan mereka sebagai bentuk respon kognitif, yaitu upaya memahami suatu kejadian (atrtibusi) dan juga menyusun pemikiran-pemikiran sebagai
bentuk respon terhadap program pembangunan berbasis kerakyatan memiliki ketergantungan terhadap kepentingan masing-masing.
Pemikiran masyarakat miskin untuk memilih tinggal di permukiman yang kumuh dan liar serta menekuni pekerjaan informal perupakan pola mempertahankan hidup. Rasionalitas masyarakat miskin yang terpaksa menempati rumah-rumah kumuh dan liar di perkotaan merupakan gambaran pemikiran dan keputusan yang inovatif terhadap sedikitnya pilihan bagi mereka untuk dapat tinggal di permukiman layak huni. Turner ( dalam Gilbert, dkk., 1996) bahkan secara tegas menyatakan bahwa gubug-gubug keluarga miskin bukan gambaran rendahnya nilai arsitektur dan kepasrahan mereka dalam kemiskinan. Gubug kumuh masyarakat miskin jusru menawarkan perlindungan yang lebih dapat mendukung aktivitas keseharian.
Namun demikian, pemikiran dan modifikasi perilaku inovatif kaum miskin tersebut dinilai masyarakat sebagai bentuk-bentuk budaya kemiskinan. Alejandro Portes (1972) memberikan preposisi tentang ciri budaya kemiskinan ditandai oleh situasi tempat masyarakat yang telah terjerat lingkungan sosial yang apatis, fatalisme, kurang aspiratif dan keprihatinan eksklusif yang terkait dengan kepuasan sepintas serta sering kali membenarkan perilaku kejahatan. Pandangan budaya kemiskinan cenderung menyalahkan kelompok miskin dan berdampak munculnya stereotip yang menyatakan bahwa kemiskinan merupakan kesalahan kelompok miskin itu sendiri. Menurut pandangan budaya kemiskinan, tidak ada cara untuk mengurangi kemiskinan karena asumsi-asumsi sebagaimana disebutkan Portes (1972; 2000) diturunkan kepada generasi
berikutnya dan dipelajari oleh generasi berikutnya tanpa ada upaya-upaya memperbaiki taraf kehidupannya.
Lewis (1970) dan Shweder (2000 dalam Vermeulen, 2001) mengasumsikan perilaku tersebut sebagai salah satu budaya kemiskinan dalam aktivitas perekonomian.
Secara rinci Shweder menyebutkan bahwa perilaku miskin ditandai dengan pekerjaan informal sebagai mata pencaharian, rendahnya kemampuan berhemat, rendahnya kepercayaan antar individu terlebih yang tidak dikenal, ketidakmampuan orientasi masa depan termasuk didalamnya perencanaan dan perilaku tertentu guna investasi ekonomi dan perbaikan taraf pendidikan.
Kajian ilmiah mengenai pola rasionalitas penduduk miskin terhadap kemiskinan menemukan fakta bahwa kelompok miskin di Peru mampu mengkonsolidasikan seluruh sumber daya yang mereka miliki guna memberikan reaksi secara rasional terhadap kemiskinan yang mereka alami (Turner, 1962; Mangin, 1967). Kelompok miskin memiliki waktu kerja yang jumlahnya jauh lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Mereka juga sangat inovatif, bahkan dalam lingkungan yang mendukung, kelompok miskin ini dapat berkembang dan memperoleh kesempatan perbaikan kondisi ekonomi.
Pada tahun 1950-an Perserikatan Bangsa-bangsa mempersamakan community development dengan community Participation, yaitu sebagai suatu proses pembangunan yang didesain untuk mengatasi kemiskinan memuat upaya penciptaan kondisi kemajuan sosial ekonomi bagi seluruh masyarakat dengan partisipasi aktif (Abbot, 1995). Penekanan pendekatan pembangunan ini diletakkan pada aktivitas masyarakat dalam memberdayakan dirinya sendiri untuk keuntungan dirinya sendiri dan lingkungannya.
Namun dalam pelaksanaan pembangunan tidak menumbuhkan partisipasi. Pelaksanaan pembangunan lebih banyak direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Terlalu berlebihnya kewenangan yang diambil alih oleh pemerintah, justru berdampak turunya aktifitas masyarakat dalam pembangunan kawasan mereka. Masyarakat yang semula sebagai produsen berubah menjadi konsumen, sekedar menjadi penonton proyek -
proyek pemerintah yang ditangani pemborong-pemborong besar (Herlianto, 1986; Santosa, 2002).
Kebiasaan masyarakat menikmati hasil-hasil pembangunan tanpa harus terlibat aktif menumbuhkan rasa senang. Kebiasaan tersebut menumbuhkan keinginan untuk terus menikmati pembangunan tanpa harus berpartisipasi, akibatnya masyarakat menjadi tergantung terhadap pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. David Barker (dalam Prasetyo, 1995) menyatakan bahwa ketergantungan terjadi karena adanya ketimpangan pembagian kekuasaan sehingga kelompok miskin tidak memiliki kemampuan menyampaikan aspirasinya dalam upaya memperbaiki kondisi kehidupannya.

C. CARA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan kebenaran jawaban atas suatu permasalahan dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang logis dan sistematis dengan menggunakan metode kualitatif. Teori dalam penelitian kualitatif berfungsi sebagai kisi-kisi yang membatasi peneliti agar terkonsentrasi pada tujuan penelitiannya (Flick, 2002; Attiq, dkk., 1991).
Penyampelan pertama berdasarkan tipe kasus (Typical case sampling), yaitu jika informan memenuhi kriteria berikut; tinggal di lokasi pembangunan berbasis kerakyatan sejak tahun 1992, yaitu dimulainya program pembangunan kawasan berbasis kerakyatan; Kondisi rumah tinggal yang tidak layak huni; Penghasilan dibawah upah minimum kota yaitu sebesar Rp. 450.000/bln; Pendidikan keluarga tidak memenuhi kewajiban belajar tingkat dasar 9 tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan Bandarharjo terletak di bagian utara wilayah Kota Semarang yang berbatasan langsung dengan laut Jawa. Bandarharjo diapit tiga aliran sungai dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara minus 0,15 sampai dengan 0,75 di atas permukaan air laut, sehingga kawasan Bandarharjo memiliki masalah aliran air. Karakteristik masalah aliran air berupa banjir kiriman yang diakibatkan oleh air hujan di kota Semarang bagian atas maupun air hujan kiriman dari Kabupaten Semarang (Ungaran). Karakteristik lain permasalahan aliran air kawasan Bandarharjo adalah pengaruh limpasan pasang air laut yang lebih dikenal dengan istilah “rob”. Masalah air ini mengakibatkan kerusakan bangunan fisik yang jauh lebih cepat terjadi.
Kawasan perencanaan Pembangunan Kawasan Berbasis Kerakyatan (Community Based Development / CBD) di Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang
meliputi luas lebih kurang 53 Ha, dihuni sekitar 8.978 jiwa. Sebanyak 726 KK diantaranya adalah keluarga miskin yang bekerja disektor informal sebagai pembantu rumah tangga, buruh industri, buruh bangunan, buruh angkutan, tukang becak, tukang


ojek, perbengkelan, pemulung, nelayan, pengrajin ikan, warungan, pedagang pasar, pedagang keliling. Lebih dari 57 % penduduk miskin Bandarharjo bekerja sebagai buruh
dengan upah berkisar antara Rp. 150.000,- sampai dengan Rp.450.000,- . Upah tersebut dibawah upah minimum kota Semarang yang ditetapkan tahun 2005 sebesar Rp. 475.000,-.
Pemikiran-pemikiran masyarakat tentang diri dan lingkungannya bersifat sangat pragmatis dan sederhana. Pola pikir masyarakat miskin dalam mengatasi kemiskinan-pun sangat sederhana dan didasari kenyataan yang sederhana pula. Pemanfaatan aset dan pola konsumsi masyarakat miskin juga tergiring pada benda-benda yang sederhana serta memiliki nilai jual rendah. Kepemilikan barang rumah tangga dari masyarakat miskin cenderung barang konsumsi yang mudah diperjual-belikan antara lain televisi dan pemutar cd (vcd player). Jika dikaji dari teori herarki kebutuhan Maslow ( Slavin, 1991), barang elektronik tersebut pada satu sisi berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan akan perasaan senang (kebutuhan hiburan/aesthetic needs), pemenuhan kebutuhan akan pengetahuan (need to know and understand) , dan pemenuhan kebutuhan harga diri (self esteem). Namun pada saat penduduk miskin mengalami kesulitan keuangan, maka benda elektronik yang dimiliki akan dijual untuk menutupi kebutuhan lain, bahkan dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan pangan atau kesehatan (psychological needs).
Kemiskinan yang dialami informan menyebabkan jarak antara masyarakat miskin dengan perbankan menjadi jauh. Perbankan terutama bank pemerintah yang juga memiliki misi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan kehilangan aksesnya kepada masyarakat yang harus dibantu. Kesulitan masyarakat miskin memenuhi syarat
persyaratan pengajuan pinjaman dari perbankan mendorong masyarakat miskin memilih rentenir (bank plecit) guna memperoleh pinjaman uang.
Masyarakat Bandarharjo harus menerima kondisi alam dan kemiskinannya dalam situasi keterpaksaan. Sebanyak 41 orang dari 52 informan penelitian menerima kenyataan miskin sebagai “ujian dari Tuhan” yang harus diterima dengan iklas. Sebanyak 25 %

informan juga meyakini bahwa kemiskinan merupakan kodrat yang diwariskan secara turun temurun. Kepercayaan fatal tersebut memberikan dampak lemahnya niat untuk memperbaiki kondisi ekonomi.
Informan juga tidak memiliki kepercayaan pada usaha-usaha pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Program pembangunan berbasis kerakyatan dianggap sebagai proyek pemerintah yang hanya bermanfaat bagi aparat pemerintah. Masyarakat merasa tidak banyak menikmati hasil-hasilnya, bahkan informan semula mengira pembangunan tahun 1992 tersebut dijadikan kedok (alasan tersembunyi) pemerintah untuk menggusur penduduk Bandarharjo yang menempati tanah negara secara ilegal. Ketidakpercayaan sosial (social distrust) tersebut menumbuhkembangkan apatisme terhadap pembangunan lingkungan. Masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial rendah menjadi tidak acuh pada perbaikan lingkungan permukiman.
Kepercayaan kepada kodrat menunjukkan kesadaran akan kemampuan diri dalam masyarakat miskin Bandarharjo berada pada taraf rendah (low self awarreness). Kemiskinan menyebabkan masyarakat miskin menyalahkan lingkungan yang sering rob, pemerintah yang tidak memihak kepada mereka (deprivasi) dan Tuhan yang memberikan kodrat (Fatalistik). Tingkat pendidikan anak rendah dan apatisme masyarakat terhadap perbaikan kondisi lingkungan permukiman dapat diterima sebagai tolok ukur psikologis kemiskinan di Bandarharjo. Apatisme masyarakat pula melahirkan derajad partisipasi pada tingkat rendah dalam perbaikan rumah tinggal dan sarana lingkungan permukiman.
Sejumlah 66,39 % informan menunjukkan respon kognitif berupa upaya memahami kemiskinan yang mereka alami. Kesadaran diri (self awarreness) yang menilai kemiskinan sebagai sebuah masalah mendorong individu memberikan respon
psikologis yakni munculnya niat (drive) untuk melakukan perubahan. Niat memberikan kesempatan individu untuk menjalankan proses pikir dalam rangka memahami permasalahan yang dihadapi. Pertimbangan dilakukan seiring dengan penyusunan berbagai cara penyelesaian masalah. Namun, pertimbangan yang dilakukan masyarakat miskin lebih banyak didasari kekuatan intuisi dari pada kekuatan perhitungan prediktif
matematis atau statistika prediktif (Pines, dkk.,1993). Lebih dari 65 % informan melakukan pertimbangan intuitif terhadap alternatif guna menambah penghasilan dan mengatasi kemiskinan.
Prinsip keruntutan dalam memahami permasalahan yang dihadapi merupakan sifat dasar rasionalitas individu. Keruntutan pemahaman tersebut searah dengan teori atribusi yakni proses melakukan persepsi tehadap stimulus yang dihadapi. Persepsi adalah proses analisa situasi dalam kaitan mengatasi permasalahan yang muncul (Wicklund, 1980). Semakin runtut pemahaman permasalahan yang dilakukan individu, maka semakin dalam pula proses pemikiran dan persepsi yang dilakukan. Tingkat keruntutan pemahaman permasalahan tergantung dari banyaknya informasi yang diperoleh. Informasi yang banyak dan lengkap memberikan andil bagi kesempurnaan penyusunan alternatif dan penentuan alternatif utama guna mengatasi permasalahan. Prinsip keterlengkapan (transitivity) informasi membantu memprediksikan hasil terbaik dan juga merangkum resiko-resiko yang mungkin terjadi (Plous, 1993).
Sejumlah 50 % informan penelitian yang mampu memahami kemiskinan sebagai suatu masalah dalam pemikiran yang runtut. Informasi yang dikemukakan cukup banyak dan faktual meskipun sangat sederhana. Informasi diperoleh dari keadaan dirinya sendiri (internal locus of control), pemahamanakan situasi diri sendiri, melakukan perbandingan dengan orang lain dan kelompok masyarakat lain (social comparison), memperdalam
perenungan dan persepsi setiap informasi yang dikumpulkan (self perception), membangkitkan dorongan / drive untuk mencari kesempatan dan peluang mengatasi
masalah, kembali melakukan persepsi terhadap informasi yang telah diperoleh jauh sebelumnya dipertemukan dengan informasi baru tentang peluang dan kesempatan mengatasi masalah.
Pencarian peluang dan kesempatan merupakan pemikiran inovatif masyarakat miskin yang hidup dalam keterpaksaan lingkungan. Harga tanah dan rumah yang mahal di perkotaan mendesak orang miskin mencari tanah yang dibiarkan terlantar dan menggunakannya untuk lahan permukiman secara ilegal. Walaupun salah jika diukur dari kebijakan pemerintahan dan hukum, pemanfaatan tanah terlantar untuk permukiman penduduk miskin merupakan pilihan inovatif pragmatis. Menempati tanah secara ilegal dari sudut kajian hukum memang salah, namun kemiskinan memaksa menempati lahan tersebut sehingga dari sudut padang masyarakat miskin, tindakan tersebut dapat dibenarkan. Fenomena tersebut sebenarnya inti dari rasionalitas. Rasionalitas merupakan proses sadar memahami, mempersepsi, memikirkan, menyusun alternatif pemecahan masalah, membandingkan (comparison) berbagai faktor dan memutuskan dorongan perilaku yang paling menguntungkan dalam sistematika kebenaran tertentu disertai argumentasi yang kuat (Pearlman, 1976; Werner, 1994; Pinker, 1997; Evans, dkk., 1996).
Pragmatisme telah mendorong rasionalitas masyarakat miskin di Bandarharjo berperilaku irasional. Menempati lahan secara ilegal untuk mencukupi kebutuhan tempat tinggal dan perlindungan sebagai pilihan pragmatis merupakan pilihan rasional. Tetapi, perbuatan menempati tanah secara ilegal dan tinggal di gubug yang tidak sehat adalah
pilihan irasional. Rasionalitas yang irasional ini dalam kajian psikologi disebut sebagai model sistem heuristik. (Plous, 1993; Rogers, 2003).
Alasan (argumentation) yang dikemukakan oleh informan penelitian menguatkan arah pikir (mindguard) fokus pada alternatif yang dipilih (Irving L. Janis dalam Pines, dkk., 1993). Arah pikir menjaga agar individu tetap mematuhi keputusan yang telah diambil meskipun berada dalam waktu dan tempat yang berbeda. Kepatuhan individu pada keputusan yang telah diambilnya meskipun dalam situasi dan waktu yang berbeda juga merupakan salah satu aspek kajian teori atribusi yang dikemukakan Kelley (Kelley’s Attribution Theory dalam Wicklund, 1980). Penduduk miskin yang menempati tanah secara ilegal membenarkan perilaku tersebut dan menyatakan bahwa mereka menempati tanah yang tidak ada pemiliknya. Disamping itu, penduduk miskin juga mengakui bahwa tindakan mereka tersebut salah.
Pengakuan kesalahan partisipan dalam menempati tanah secara ilegal adalah bentuk kesadaran diri yang patut dihargai. Namun, ketika individu kembali menanyakan benar/tidaknya tindakan yang dilakukan, individu berusaha mengingkari kesalahan yang dibuat. Individu mencari dukungan untuk menguatkan kebenaran subjektifnya. Rasionalitas tidak banyak berkaitan dengan nilai kebenaran (Niznik, dkk., 2002). Rasionalitas hanya mengarahkan individu mencapai kebenaran, terlepas sama sekali dari nilai kebenaran yang diperoleh, kebenaran subjektif ataukah kebenaran objektif (Leszek Kolanowski dalam Niznik, dkk, 2002; Kelemen, 1998). Subjektivitas adalah bentuk berkembangnya dominasi ego dalam diri individu. Pragmatisme pilihan perilaku yang dikotori oleh dominasi ego mendorong perilaku individu kebentuk-bentuk perilaku negatif dan irasional. Artinya, rasionalitas subjektif adalah juga rasionalitas negatif yang karena dominasi ego individu telah membentuk perilaku heuristik, yaitu perilaku rasionalitas yang irasional.
Tokoh masyarakat yang diharapkan pemerintah menjadi pioner pelaksanaan pembangunan juga tidak memiliki kemampuan menjelaskan argumentasi pelaksanaan
pembangunan kawasan. Akibatnya adalah rendahnya konsensus masyarakat untuk melaksanakan alternatif pemecahan masalah kemiskinan di kawasan Bandarharjo. Program pembangunan berbasis kerakyatan tidak mendapat dukungan aktif masyarakat
miskin di Bandarharjo. Informan yang pasif dalam pembahasan program pembangunan yakni mencapai 90,39 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan informan menjalin hubungan sosial di kota Semarang dapat dikategorikan rendah. Kemampuan menjalin hubungan sosial yang relatif rendah tersebut menyebabkan ruang gerak untuk memperoleh informasi dan peluang formal dalam peningkatan kualitas hidup menjadi terbatas. Terlebih, jalinan sosial yang mampu dibentuk adalah jalinan sosial yang setara yaitu hubungan dengan individu-individu yang memiliki kesamaan (similaritas) kelas ekonomi, pendidikan dan kelas sosial. Kesetaraan kelas hanya memberikan informasi yang relatif sepadan, tidak mengembangkan wawasan dan informasi lebih bervariasi. Situasi tersebut secara tidak langsung justru membatasi penduduk miskin untuk mengembangkan kemampuan berusaha dan turut berkompetisi memperebutkan peluang-peluang formal yang kuantitasnya lebih besar.
Pernyataan sebagian informan yang mengaku tidak mengetahui adanya pinjaman modal lunak bagi masyarakat untuk mengatasi kemiskinan baik dengan program CBD, PDM-DKE maupun P2KP juga merupakan bukti bahwa masyarakat miskin di Bandarharjo tidak mampu menjalin hubungan sosial bahkan dengan organisasi pemerintahan lokal (RT dan Kelurahan) karena program tersebut ditawarkan melalui RT dan/atau keluarahan.
Rusaknya sarana jalan dan kondisi lingkungan yang kotor membawa dampak turunnya mobilitas penduduk akibat tidak beroperasinya angkutan umum melalui kawasan tersebut, selain itu juga mempengaruhi turunnya penghasilan penduduk Bandarharjo yang bekerja disektor jasa angkutan becak dan ojek. Kerusakan jalan turut menghambat upaya pengentasan kemiskinan di kawasan Bandarharjo. Hambatan yang terjadi akibat kondisi alam meskipun tidak disengaja menyebabkan makin marginalnya
penduduk miskin Bandarharjo dari jalinan sosial dengan penduduk lain di luar Bandarharjo. Masyarakat miskin Bandarharjo juga terbatasi ruang geraknya untuk
membangun jalinan sosial (social networking) dan turut berkompetisi memperebutkan peluang guna mencapai kesejahteraan di kota Semarang.
Kebijakan-kebijakan organisasi pemerintahanpun memiliki andil secara tidak langsung pada pembatasan kesempatan berkembang pada masyarakat miskin di Bandarharjo. Penyalahgunaan kekuasaan pemerintah antara lain tidak menginformasikan secara jelas kepada masyarakat tentang adanya bantuan pinjaman modal usaha bergulir dari pemerintah melalui program CBD, PDM-DKE dan P2KP turut pula menjadi sebab terperangkapnya masyarakat miskin di Bandarharjo pada kemiskinan yang berlanjut.
Pembangunan kawasan sekitar Bandarharjo untuk industri semula diharapkan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Bandarharjo justru mengakibatkan rusaknya lingkungan permukiman Bandarharjo akibat genangan rob di kawasan ini. Sekaligus menyebabkan eksploitasi lahan dan lingkungan sepanjang pantai Semarang.
Kesalahan atribusi yang dilakukan sendiri oleh masyarakat miskin di Bandarharjo bahwa mereka tidak mampu bersaing memperebutkan kesempatan yang lebih besar adalah sebab internal termarginalnya penduduk msikin Bandarharjo dalam kompetisi ekonomi. Sedangkan sebab eksternal pertama adalah kebijakan-kebijakan ekonomi organisasi pemerintah yang tidak sengaja telah mempersulit dibukanya kesempatan mengembangkan kemampuan wirausaha masyarakat miskin. Sebab eksternal kedua adalah eksploitasi lingkungan oleh pengembang yang berekses rusaknya sarana lingkungan permukiman masyarakat miskin dan mengganggu mobilitas usaha penduduk.
Sistem penggajian terhadap buruh industri yang rendah, reklamasi pantai yang berakibat rusaknya lingkungan, etika dan kebijakan pembangunan yang sering dilanggar untuk tujuan tertentu oleh pemerintah dan model penggusuran terhadap pedagang kaki
lima tanpa memberikan jalan keluar merupakan eksploitasi yang diterapkan terhadap masyarakat migran miskin. Eksploitasi tersebut yang menjadi sebab musabab terjadinya marginalisasi terhadap masyarakat miskin.

D. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Inovasi masyarakat miskin didasarkan atribusi mereka sendiri dengan dalih pemenuhan kepentingan hidup (self interest ) dan nilai manfaat untuk mempertahankan hidup (Plous, 1993; Pines, 1993; Tickamyer, 200) serta atribusi subjektif tentang kesengsaraan dan ketidakberdayaan, dalam hal ini atribusi subjektif disebabkan ego dominant (Niznik, dkk., 2002). Inovasi tersebut antara lain diwujudkan dalam kebutuhan tempat tinggal dipenuhi gubug sederhana, kumuh dan berdiri diatas lahan secara ilegal. Gubug permukiman masyarakat miskin memiliki nilai strategis sebagai perlindungan dan persinggahan untuk aktivitas di hari berikutnya. Kepentingan pribadi (self interest) dan dominasi ego dalam perilaku pragmatis untuk memenuhi kebutuhan hidup mendorong tersusunnya skema kognisi atas dasar prototipe (Petty dan Cacioppo dalam Rogers, 2003) Skema kognisi yang tersusun juga bukan atas dasar substansi stumulus melainkan akibat ilusi perasaan yang dipengaruhi oleh proses belajar dari pengalaman (Plous, 1993). Akibat menguatnya upaya pemenuhan kebutuhan atas dasar self interest dan dominasi ego serta didukung oleh kepercayaan diri serta pengalaman, respon sikap yang terbentuk terjadi secara otomatis tanpa pemikiran mendalam/heuristic systematic model (Rogers, 2003). Kepentingan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup antara lain kebutuhan tempat tinggal gubug kumuh dan ilegal serta dikuatkan dominasi ego (ego sebagai reinforcement) telah menyebabkan kecenderungan rasionalitas subjektif, dalam terminologi psikologi dikenal dengan istilah heuristic systematic model (Plous, 1993; Faturochman, 1998; Rogers, 2003).
2. Dampak yang muncul dari kebiasaan sebagai konsumen pembangunan, masyarakat miskin menjadi tergantung kepada pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Masyarakat miskin yang mengalami bias atribusi dan menilai diri sendiri tidak mampu secara kognitif dan ekonomi serta merasa lemah
akhirnya menyerahkan proses pembangunan lingkungan permukiman kepada pemerintah. Penyerahan proses pembangunan kepada pemerintah tersebut merupakan konsep ketergantungan (dependency) masyarakat miskin di Bandarharjo.
3. Rasionalitas masyarakat miskin di Bandarharjo adalah inovasi individu akibat terjadinya bias atribusi. Inovasi adalah perwujudan perilaku dari masyarakat, sedangkan distorsi persepsi adalah aspek reasoning/penalaran masyarakat berupa pemaknaan kondisi tidak berdaya, lemah, fatalistik, sengsara serta lingkungan yang tidak berpihak. Distorsi persepsi merupakan substansi rasionalitas masyarakat miskin dan menjadi ukuran subjektivitas kebenaran berperilaku, karena rasionalitas belum tentu benar atau objektif maka rasionalitas bisa menjadi tidak rasional. Rasionalitas yang irasional tersebut terjadi bukan semata karena kemiskinan struktural, namun juga karena bias atribusi /distorsi persepsi dan pengalaman-pengamalan yang dipelajari sehingga membentuk skema pemikiran tanpa penalaran mendalam (heuristic systematic model). Model sistem heuristik dalam atribusi masyarakat miskin Bandarharjo adalah sebagai berikut :













B. SARAN
1. Pendekatan-pendekatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah hendaknya mendorong sebesar-besarnya partisipasi masyarakat. Partisipasi dibentuk dengan pola dialogis emansipatoris, yaitu terdapat pertukaran informasi dan pembicaraan mendalam menyangkut rencana, pelaksanaan, evaluasi dan perawatan hasil-hasil pembangunan. Dialogis emansipatoris merupakan proses yang panjang dan lama, mengingat dalam proses tersebut terjadi proses interaktif mind, yaitu saling tukar substansi pikiran antara komponen pemerintah, swasta dan lembaga kemasyarakatan serta komponen masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan atas dasar dialogis emansipatoris / interaktif mind harus dapat menghasilkan pembagian kewajiban masing-masing komponen yang terdistribusi secara adil. Distribusi kewajiban yang adil adalah jika kewajiban dibagi secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing melalui pembicaraan yang mengarah pada keputusan mufakat. Pembicaraan mufakat dalam interaktif mind memang terkadang terhalang oleh perbedaan kepentingan (self interest) masing-masing komponen. Oleh sebab itu, pengendalian terhadap ego menjadi permasalahan yang berat dalam setiap pembicaraan menyangkut pemenuhan self interest yang berbeda. Pembagian kewajiban partisipatif melalui interaktif mind model juga harus memuat konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus ditanggung oleh masing-masing komponen jika terjadi one prestasi (pengingkaran kewajiban) diluar kejadian-kejadian yang dinilai luar biasa oleh seluruh komponen, antara lain karena terjadinya bencana alam.
2. Kebijakan-kebijakan penataan wilayah dan jenis usaha masyarakat miskin hendaknya dapat mempertahankan sumber-sumber penghidupan masyarakat miskin. Kawasan Bandarharjo adalah kawasan pantai yang kaya akan potensi sumber daya alam laut. Namun, kekayaan alam tersebut kurang dikembangkan sebagai industri rumah tangga produktif, antara lain industri kerupuk udang/ikan, tepung ikan, tepung kepiting, tepung duri ikan untuk bahan campuran pakan ternak, optimalisasi fungsi tambak payau dengan aneka ragam ternak ikan payau (bandeng, nila, gurami, kakap payau). Kebijakan penataan wilayah juga hendaknya mempertimbangkan kelestarian lingkungan bukan berakibat memperburuk kondisi lingkungan. Pembangunan kawasan industri hendaknya dapat mencegah terjadinya reklamasi pantai yang meningkatkan volume dan kuantitas limpasan pasang air laut ke darat. Pembangunan wilayah pantai juga harus tetap menjaga kelestarian hutan pantai (mangrove) yang memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai paru-paru kota pantai, penahan abrasi, tempat berpijahnya ikan dan aneka satwa laut, fungsi bahan bakar bagi nelayan dan perlindungan alam dari ancaman ombak serta angin laut.
3. Pembangunan sebaiknya mendahulukan upaya pengubahan pola pikir dan pengubahan perilaku masyarakat. Pengubahan pola pikir ini memang membutuhkan waktu yang relatif lama berikut konsekuensi biaya dan sumber daya manusia. Namun, kesesuaian atribusi dan tujuan pembangunan antara pemerintah, swasta dan masyarakat merupakan faktor penting guna meningkatkan partisipasi seluruh komponen. Pengubahan pola pikir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pertemuan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam sebuah aktivitas dialogis emansipatoris / interaktif mind.
4. Pengubahan pola pikir juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan agen sebagai pendamping kegiatan masyarakat. Pendamping melakukan interaksi secara terus menerus kepada masyarakat untuk dapat berbagi pendapat dan informasi (interactive mind) dalam rangka menyamakan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat. Selain itu, interaksi juga harus menumbuhkan kemampuan meningkatkan kesejahteraan melalui pendampingan kemampuan wirausaha yang dilakukan atas dasar tahapan-tahapan program yang berkesinambungan dan dilakukan terus menerus untuk meningkatkan keanekaragaman industri rakyat. Proses pengubahan pola pikir dan pola perilaku membutuhkan keterlibatan ahli-ahli konseling perilaku sosial (psikolog).

E. DAFTAR PUSTAKA

Abbot, J. 1995. Community Participation and Its Relationship to Community Development. Community Development, 30(1), 158 – 168
Abustam, M. I. 1989. Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial. Jakarta : UI Press
Agger, B. 1998. Critical Social Theories : An Introduction. Colorado, USA : Westview Press
American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th.ed. Washington : APA
Attig, G. A., Winichagoon, P., & Yoddumnern. 1991. Designing and Writing up Qualitative Research Reports. Thailand : Institute for Population Research
Azwar, S. 2000. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, edisi ke 2. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bornstein, R. F. 1993. The Dependent Personality. New York, U.S.A : Guilford Press
Bower, B. 1996. Rational Mind Design : Research into the Ecology of Though Treads on Contested Terrain. Science News, 150, 24-25
Chilcote, R., & Johnson, D. L. 1983. Theories of Development; Moe of Production or Dependency ? London : Sage Publications
Cohen, J. M., Uphoff, T. N., & Goldsmtih, A. A., 1979. Feasibility and Application of Rural Development Participation. Cornell : Cornell University
Coleman, J. S. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge : Harvard University Press
Couch, C. 1990. Urban Renewal; Theory and Practice. London : MacMillan Publication
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks : Sage Publication
Dwayer, D. J. 1972. People and Housing in the Third World Cities-Perspectives on the Problem of Spontaneous Settlement. New York : Longman
Evans, J. St. B. T., & Over, D. E. 1996. Rationality in the Selection Task : Epistemic Utility Versus Uncertainty Reduction. Psychological Review, 103(2), 356-363
Evans, J. St. B. T., Over, D. E., & Manktelow, K. I. 1993. Reasoning, Decision Making and Rationality. Cognition Journal, 49, 165-187
Evans, G. W., Saegert, S. & Harris, R. 2001. Residential Density and Psychological Health Among Children in Low-income Families. Environment and Behavior. 33 (2), 165-180
Faturochman. 1998. Deprivasi Relatif : Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis Buruh Pabrik. Jurnal Psikologi, 25(2), 1-15
Flick, U. 2002. An Introduction to Qualitative Research. ThousandOaks, California : Sage
Friedmann, J. 1992. Empowerment; The Politics of Alternative Development. Massachusetts, USA : Blackwell
Gilbert, A., & Gugler, J. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga; terjemahan. Yogyakarta : Tiara Wacana
Gurr, T. R., 1995. Minorities at Risk : A Global View of Ethnopolitical Conflicts. Washington, D.C. : United States Institute of Peace Press
Herbert, J. D. 1979. Urban Development in The Third World; Policy Guidelines. New York : Praeger Special Studies
Herlianto. 1986. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Bandung, Indonesia : Penerbit Alumni
Hewitt, J. P. 2003. Self and Society : A Symbolic Interactionist Social Psychology. Ed.9. Boston : Allyn & Bacon
Huberman, A. M. & Miles, M. B. 1984. Qualitative Data Analysis; An Expanded Sourcebook 2nd. Ed. Newbury Park : Sage Publication
Hutnik & Nimmi. 1991. Etnic Minority Identity : A Social Psychological Perspektive. Oxford : Clarendon
ILO. 1998. Siaran Pers ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) Kantor Perwakilan Jakarta tanggal 29 Agustus 1998. http:/www.un.or.id/ilo/bahasa/pers.htm
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang PeremajaanPemukiman Kumuh yang berada di atas Tanah Negara
Ife, J. 1996. Community Development : Creating Community Alternatives-Vision, Ananlysis and Practice. Melbourne, Australia : Longman
Johnson, D. W. & Johnson, F. P. 2000. Joining Togheter; Group Theory and Group Skills. London : Allyn and Bacon
Jucano, F. L. 1975. Slums as a Way of Live : A Study Coping Behaviour in an Urban Environment. Manilla, Phillippines : University of Phillipines Press
Kahneman, D., & Tversky, A. 1973. On The Reality of Cognitive Illusions : A Reply to Gigerenzer’s Critique. Psychological Review, 103, (582-591
Kelemen, J. 1998. A View of Rationality at the End of Modern Age. Human Affairs, 8(2), 101-111
Kelly, D. 2004. Dependent Personality Disorders. Diakses melalui internet dari http://www.geocities.com/ptypes-Depenedent Personality Disorder Criteria
Korten, D. & Syahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Kumorotomo, W., Darwin, M., & Faturrohman. 1995. The Implementation of Slum and Squatter Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta. Populasi, 6(2), 29-37
Kuo, F. E. 2001. Coping with Poverty, Impact of Environment and Attention in The Inner City. Journal of Environment and Behavior, 33(1), 5–34
Lewis, O. 1970. The Culture Of Poverty; Anthropological Eassy. California : Random House
Mangin, W. 1967. Latin America Squatter Settlements : A Problem and A Soution, Latin America Research Review, 2, 65-68
Mantra, I., B. 1981. Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM
McAuslan, P. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Jakarta : Gramedia
Minichiello, V., Aroni, R., Timewell, E., & Alexander, L. 1990. In-depth Interviewing : Researching People. Mellbourne : Longman Australi Pt. Ltd.
Moser, C. O. N. 1998. The Asset Vulnerability Framework : Reassessing Urban Poverty Reduction. Journal of World Development, 26(1), 1-19
Moeljarto. 1996. Pembangunan : Dilema dan Tantangan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Muhadjir, N. 2001. Filsafat Ilmu; Positivisme, Postpositivisme dan Postmodernisme ed.2. Yogyakarta : Rake Sarasin
Neuman, W. L. 1997. Social Research Methods : Qualitative and Quantitatif Approach. USA : Allyn & Bacon
Niznik, J., & Sanders, J. T. (ed.). 2002. Memperdebatkan Status Filsafat Kontemporer : terjemahan. Yogyakarta : Qalam
Osborn, D., & Gaebler, T. 1993. Reinventing Government. New York : A Plume Book
Papanek, G. 1975. The Poor of Jakarta. Journal of Economic Development and Cuktural Change, 24, 7-8
Parker, N. 2002. Differentiating, Collaborating, Outdoing : Nordic Identity and Marginality in the Contemporary World. Identities : Global Studies in Culture and Power, 9 , 355-381
Pearlman, J. E. 1976. The Myth of Marginality : Urban Poverty and Politics in Rio de Janeiro. California : University California Press
Pearlman, J. E. 2002. Marginality : From Myth to Reality in the Favelas in Rio de Janeiro 1969 – 2002; Draft Chapter for Urban Informality Book. diakses dari http://www.eg.fjp.gov.br/gestaourbana/modulo01/jp%20CHAPTER-FINAL.Doc.
Pines, A., & Maslach, C. 1993. Experiencing Social Psychology; Readings and rojects. Ew York : McGraw-Hill
Plous, S., 1993. The Psychology of Judgement and Decision Making. New York : McGraw-Hill, Inc.
Portes, A. 1972. Rationality in The Slums : an Eassy on Interpretative Sociology. Journal of Comparative Studies on History and Society, 14, 264 - 271
Prasetyo, P. S. 1995. Kebijakan Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Menangani Masalah Kemiskinan. Potensia, VI(13), 44 – 65
Ravallion, M. 1992. Poverty Comparisons; A Guide to Concepts and Methods. Washington, D.C. : The Wolrd Bank
Rogers, W.S. 2003. Social Psychology Experimental and Critical Approaches. Philadelpia, USA : Open University Press
Sadava, S. W., & McCreary, D. R. 1997. Applied Social Psychology. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Santosa, J. 2002. Evaluasi Program Urban Renewal Kawasan Bandarharjo Kota Semarang. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Slavin, R. E. 1991. Educational Psychology; Theory intoPractice. New Jersey : Prentica Hall
Smith, S. G. 1994. The Essential Qualities of A Home. Environmental Psychology, 14, 31-46
Surbakti, A. R. 1984. Kemiskinan di Kota dan Program Perbaikan Kampung. Prisma, 6(XIII), 65-75
Tikamyer, A. R., Henderson, D. A., White, J. A., & Tadlock, B. L. 2000. Voice of Welfre Reform : Beureaucratic Rationality Versus Participant Perceptions. AFFILIA, 15(2), 171-190
Turner, J. C. & Giles, H. 1985. Intergroup Behaviour. Oxford, United Kingdom : Basil Blackwell
Vermeulen, H. 2001. Culture and Inequality; Immigrant Cultures and Social Mobility in Long-term Perspective. Amsterdam : IMES
Wicklund, R. A. & West, S. G. 1980. A Premier of Social Psychological Theories. California : Brooks/Cole

Tidak ada komentar: