Mengenai Saya

Minggu, 11 Juli 2010

WANITA DALAM KOMUNITAS INDONESIA ALA SOSIALISME FEMINISME :
WOMEN EMPOWERMENT BASED ETHIC OF CARING
Oleh Didik Agus SP


PENDAHULUAN

Perempuan, selalu dideskriditkan dalam ekologinya. Bahkan hampir semua budaya etnis di dunia menomorduakan perempuan dibawah laki-laki. Hukum waris-adat di Jawa misalnya memiliki rasio 2 : 1; 2 bagian untuk laki-laki sedangkan wanita hanya memperoleh 1 bagian saja.
Selalu bertolak dari perasaan tidak diperlakukan secara adil (justice/equity), setara (equal) dan kebebasan (liberation), beberapa kaum feminis mengobarkan revolusinya. Eropa menjadi pusat tumbuhnya feminisme bahkan Inggris menjadi center perkembangan radikalis feminist. Namun dalam paper ini tidak akan membahas aliran feminisme semacam radicalist feminism. Paper akan menyajikan secara singkat beberapa perspektif yang menjelaskan feminis, pengakuan feminism (cenderung gender role) di Indonesia dan implikasi hasil perjuangan feminisme dalam komunitas.
Penulis menekankan bahwa pergerakan feminisme Indonesia berbeda dengan konsep feminism dari negara barat, dimana feminism barat bertolak dari kehendak menyamaratakan wanita dengan laki-laki dalam segala aspek. Feminisme Indonesia bergerak untuk menempatkan wanita secara terhormat, tidak ditindas (nireksploitasi oleh manusia, organisasi bisnis maupun oleh negara), memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam peluang kerja, usaha dan kemandirian, tiada kapitalisme dan kemiskinan serta pemiskinan, tiada perbudakan wanita dan tiada wanita yang harus memikul beban ganda sementara dia merasa tidak menyukainya serta semua itu diakulturasikan dengan kultur Indonesia yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Pendapat tersebut sebenarnya telah lama dikemukakan oleh Ir. Sukarno bahwa revolusi Indonesia menjadi pintu bagi masyarakat sosialisme yaitu masyarakat yang dapat memberikan kebahagiaan kepada wanita, suatu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 324).
Namun demikian perlu disampaikan pada paper ini beberapa perspektif yang mengkritisi community development, sebagaimana disampaikan Jim Ife (Ife, J., 1995, p.41) dimana salah satu perspektif didalamnya adalah perspektif feminisme. Pendapat Jim Ife selengkapnya terdapat dalam tabel berikut :

Tabel : Aliran Pemikiran/Perspektif Creating Community

No Stream of Perspective Perception of Major Problem Proposed Sulotion
1 Eco Socialism Capitalism Socialist Society
2 Eco Anarchism Hierarchiy, bureaucracy, government Decentralization,
local control,
absence of central government
3 Eco Feminism Patriarchy Feminist revolution,
Valuing Women’s attributes,
Ending gender oppression
4 Eco Luddism Technology Low-level human scale technology,
Ending mindless technological progress
5 Anti Growth Growth (economic,
Population, consumtion, etc.) No-growth society
6 Green economics Conventional economic theory Sustainable economics including externalities;
Decentralized economics

7
Work and the labour market
Definitions of work, reliance on the labour market and distributive mechanism
New definitions of work and leisure, guaranteed basic income
8 Global development Dominance and exploitation of South by the North, global inequity, “development” Global equity, appropriate development
9 Eco Philosophy Anthropocentric world view Ecocentric world view
Diambil dari Community Development : Creating Community Alternatives, Jim Ife

BEBERAPA PERSPEKTIF FEMINISME BARAT

Cultural Feminism
Cultural feminisme menjadi masa dimana perempuan dalam lingkungan budayanya sendiri justru tidak mendapat tempat untuk dihormati eksistensinya. Perempuan pada jaman cultural feminisme – hingga sekitar tahun 1968-an – berada sangat dibawah kedudukan laki-laki. Pernyataan Dixon (1940) sebagaimana dikutip oleh Margaret Benston (dalam Hennessy, R., et al., 1997, p. 17) menyebutkan the status of women is clearly inferior to that of men.
Cultural feminisme diilhami ideologi cultural yang menempatkan posisi perempuan sedikit lebih tinggi dari kedudukan semula. Bahwa perempuan semula hanya sebagai complementer bagi laki-laki, selanjutnya dihargai peranan dan tugasnya di rumah (household) dan kesempatan membentuk networking dalam lingkungan lokal. Sebagaimana dikemukakan Ryan (dalam Kelly, C., et.al. p. 6-7) bahwa setelah perang dunia II cultural ideology mendefinisikan ibu (mother/wife) memiliki peran sebagai wanita dengan tugas khusus (women’s special duty) dan memiliki kesempatan meluaskan jaringan kerjanya dalam lingkungan lokal.
Pada fase itu, wanita memiliki peran ganda sebagai “pengurus rumah” sekaligus dapat berinteraksi (termasuk dalam kegiatan ekonomi) sebatas pada lingkungan masyarakat lokal. Masyarakat lokal (local community) dimaknai sebagai unit masyarakat pada area tertentu, terutama pedesaan (rural areas), dan dianggap homogen serta menjalani hidup secara harmonis. Kecil dan memiliki atensi kuat pada perbedaan dalam communalnya atas dasar gender, klas sosial/ekonomi dan kekuasaan. (Awortwi, N., 1999, p. 6). Artinya, secara geografis, wanita tidak memiliki khasanah kemerdekaan yang lebih luas. Mereka masih terkurung dalam sangkarnya meski sangkar itu telah diperluas batas-batas wilayahnya.
Walaupu demikian sebenarnya realitas itu toh lebih indah dibandingkan jika wanita hanya sebagai housekeeper. Meskipun ibaratnya, istri dipuja bagaikan mutiara yang disimpan, dirawat dan dijaga dengan sangat berhati-hati toh justru pemuliaan itu tidaklah dapat diterima wanita sebagai wujud penghargaan kemerdekaan dan kesejahteraannya.
Sementara itu, Rosemary Hennessy dan kawan-kawan menyatakan bahwa cultural feminisme diawali oleh asumsi bahwa pada dasarnya wanita dan laki-laki itu berbeda. Meskipun demikian, sistem patriarchal (nilai laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan) harus ditolak karena patriarchal-lah yang menindas perempuan. Oleh sebab itu tujuan utama cultural feminisme adalah menghapus budaya patriarchal sebagai akar penindasan perempuan (Hennessy, R., et al., 1997, p. 7).
Pendapat Maria Mies yang dikutip Hennessy adalah sebagai berikut : For many Western Feminist Women’s oppression is rooted in the cultural of patriarchal civilization. For them, therefore, feminism is largerly a cultural movement, a new ideology, or new consciousness. (dalam Hennessy, R., et al, 1997, p.7). Jadi ditegaskan bahwa akar pergerakan feminism adalah penindasan kaum wanita oleh budaya patriarchi. Oleh sebab itu pergerakan feminisme hanyalah sebagai pergerakan kebudayaan belaka. Inilah yang kemudian memacu lahirnya pergerakan feminisme yang lebih keras lagi.
Hanya saja memang, untuk mencari idealisme/image segala sesuatu yang telah ada tidaklah mencukupi keinginan manusia. Selalu saja manusia dengan kelebihan yang dimilikinya selalu mencari ‘tambahan lain’ agar berlebih lagi. Demikian pula yang terjadi dengan pergerakan feminisme.

Materialist Feminism
Perkembangan industrialisasi dunia pada tahun 1950 dan 1960an telah menimbulkan dampak terjadinya fenomena sosial yang besar, antara lain migrasi penduduk dari desa ke kota, kebutuhan buruh industri yang banyak, penindasan pada kelompok yang lemah, tuntutan kebutuhan hidup meningkat, bertambahnya jumlah pekerja wanita berikut dampaknya, akumulasi capital yang timpang (kaum burjuis versus kaum proletar), dan lain sebagainya.
Ambillah aspek atas kebutuhan tenaga kerja wanita yang besar. Pada masa kapitaslisme tersebut, wanita pekerja mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan jumlahnya wanita yang berperan semata sebagai ibu rumahtangga. Sebagaimana diungkapkan Klein (dalam Kelly, C., et al., 1996, p. 6) : during the 1960s there was an increased emphasis on wamen as workers and less on women as mothers.
Pendapat yang menguatkan pandangan Klein diungkapkan oleh Konek dan Kitch ( Konek, C.W., et al, 1994, p. 9) yang menyatakan bahwa wanita menikah yang bekerja mengalami peningkatan secara dramatis dari 25% pada tahun 1945 menjadi 44% pada tahun 1967 bahkan pada tahun 1972 terjadi peningkatan sangat besar yakni 64%.
Sayangnya, peningkatan jumlah tersebut tidak dibarengi dengan berkuarangnya penindasan (oppression) terhadap kaum perempuan, justru sebaliknya. Hanya saja kebanyakan wanita pada saat itu tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi obyek penindasan. Oleh sebab itu Freudianisme pada saat itu mengkritisi terjadinya masa ‘ketidaksadaran perempuan sebagai akibat rendahnya ilmu pengetahuan dan pengalaman mereka’ (Christine Delphy dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 61).
Konsep Ir. Sukarno tentang peran ganda wanita sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah untuk keluarga diistilahkan sebagai “scheur” (retak), yakni retaknya perikehidupan dan jiwa kaum perempuan ( Sukarno, DR., Ir., 1947, p. 10). Sejak perempuan terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh, scheur meningkat tidak lagi perempuan sebagai ibu/istri sekaligus housekeeper tetapi juga sebagai pekerja dikomunitasnya.
Berkaitan dengan aktivitas feminisme dan link-nya dengan help-seeking, maka wanita pada jaman itu boleh dibilang helplessness karena tidak menyadari bahwa mereka butuh dibantu untuk keluar dari women oppression itu. Di Indonesia saat inipun masih cukup banyak wanita yang unconciousness serta helplessness terhadap penindasan. Kita akan menemui banyak wanita di Indonesia ini yang tidak cukup dilindungi oleh perhatian sosial atas keselamatan dan kemerdekaan aktivitas mereka.
Cobalah kita perhatikan, wanita bangun pagi untuk membersihkan rumah dan sekitarnya, menyiapkan keperluan sekolah anak/adik/anak majikannya, menyiapkan sarapan pagi, mencuci pakaian dan barang-barang dapur, belanja ke pasar, yang ibu rumah tangga sekaligus pegawai harus bekerja di kantor/pabrik, menyiapkan makan siang, mengurus anak sepulang sekolah, menyiapkan makan malam, menidurkan anak, meladeni suami dan berbagai-bagai kegiatan yang penulis sendiri tidak mampu memerinci persatuannya.
Sungguh pekerjaan yang sangat variatif, melelahkan (apakah ini identik dengan eksploitatif ?). Lalu kalau demikian, apakah ukuran kualitas dan kuantitas bahwa wanita itu telah dieksploitir, ditindas dan tidak diperhatikan ?
Tidak ada satupun ukuran baku yang mengaturnya, semua berkembang sesuai perkembangan jaman, kodratnya, derajad pendidikan, budaya komunitas dan tuntutan ekonomi yang mendasarinya.
Bisa jadi seorang perempuan yang juga bekerja justru menganggap dirinya ditindas, dieksploitasi tetapi bisa juga sebaliknya, seorang perempuan yang bekerja justru merasa dihargai, diberikan kemerdekaan yang didambakannya.
Bukankah tidak jarang dari kita yang menganggap dengan memberikan kebebasan kepada pasangan kita untuk menentukan sikap mereka, sementara pasangan kita menginginkan pendapat kita (atau bahkan oppression kita : dalam kontek ini penulis menghindari kata ‘tekanan’), ternyata justru kebebasan yang kita berikan itu dinilainya tidak menghargai mereka ?

MARXIST FEMINISM – SOCIALIST FEMINISM
Berangkat dari pemikiran Marxisme, sebagai jawaban atas kapitalisme, bahwa perjalanan hidup manusia melalui 3 (tiga) tahap gerak sejarah (Scruton, R., 1984, p. 258) yaitu :
a. Tahap pertama;
Tahapan dimana alam menguasai manusia dan belum terciptaya alam sebagai obyek bagi manusia, obyek kepemilikan (materialisme) belum dikembangkan. Tahapan ini adalah tahapan primitif;
b. Tahap kedua;
Tahapan dimana telah terjadi pemisahan manusia dengan alam, pemisahan manusia dengan manusia, berkembangnya kepemilikan pribadi yang membangun prinsip kapitalisme. Pada tahap inilah manusia berubah menjadi kaum materialist, manusia satu menguasai manusia yang lain.
c. Tahap ketiga;
Tahapan dimana penguasaan alam oleh manusia begitu sempurna, sehingga penguasaan manusia oleh manusia dan kepemilikan pribadi telah terlampaui. Akibatnya, kepemilikan pribadi dijadikan sarana untuk memperoleh kebebasan dan bersatu dengan “kehidupan spesiesnya”.
Tahapan ketiga inilah yang mendasari pergerakan femisit marxist di dunia barat. Bahwa sebagai akibat dari kapitalisme yang menguasai manusia, akhirnya membawa manusia pada kepemilikan materi yang berkecukupan sehingga manusia akhirnya kembali menempatkan dirinya sebagai makluk sosial. Manusia melepaskan dirinya dari saling menguasai dan dikuasai. Mereka bersama-sama berada dalam komunitas yang bebas dan bersatu antara satu dengan lainnya, istilah Marx adalah beralineasi dengan spesiesnya (Scruton, R., 1984, p. 260).
Marxist feminist di Amerika Latin pada tahun 1970-an menegaskan bahwa liberalisasi dan kepentingan politik antara wanita dengan laki-laki adalah different but equal ( Norma Chinchillia dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 217). Kaum marxisme feminisme ini mensosialisasikan equality antara wanita dengan pria, berkaitan kedudukan wanita dalam keluarga, masyarakat dan proses produksi sebagai tenaga kerja.
Perkembangan selanjutnya, sebagaian penganut Marxisme feminisme memisahkan dirinya dan membentuk feminisme yag lebih separatis. Tahun 1970-an (tepatnya tahun 1977) sekelompok feminist mendeklarasikan militant radical feminist dan menyebut dirinya revolutionary feminist. Kaum revolutionary feminist ini menegaskan perjuangan totalitas untuk kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki. (Kelly, C., et al., 1996, p. 6-7).
Sementara kelompok yang lain, melanjutkan ajaran Marxist feminism dan mengembangkan idenya menjadi Socialist Feminist. Socialist feminist diilhami oleh dampak kapitalisme yang melahirkan klasifikasi sosial masyarakat dan eksistensi kelas ekonomi dalam konteks totalitas sosial.
Socialist feminist menerima bahwa ada perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, namun kapabilitas masyarakat dalam hubungan sosial dan kepemilikan material (hak ekonomi) tidak dapat dibatasi oleh kelas-kelas tertentu (Hennessy, R., et al, 1994, p. 5-6). Socialist feminism juga menandaskan perlunya equal opportunity in politics and community participation (Joni Lovenduski, dalam Hawkesworth, M., et al., 1992, p. 605).
Bouchier (dalam Kelly, C., et al., 1996, p. 8) menegaskan bahwa di Inggris pada tahun 1983 terdapat lebih kurang 300 kelompok feminisme baik yang beraliran socialist feminist maupun radicalist/revolutionary feminist. Tahun 1992, masih menurut Bouchier, telah terjadi peningkatan hingga sekitar 400 kelompok feminisme dengan interest lebih spesifik untuk membela hak-hak perempuan. Artinya, setiap tahun selama 1983 sampai dengan 1992 di Inggris muncul lebih kurang 11 kelompok feminist dan tidak lagi terlalu spesifik menyatakan bagian dari socialist ataupun radicalis feminist. Kelompok-kelompok feminist ini membela kepentingan wanita dengan kepentingan-kepentingan yang lebih spesifik.

FEMINISME BARAT BERDASAR AGRESIVITAS AKTIVITAS
Dimuka telah dijelaskan beberapa perspektif feminisme barat. Didalam penjelasan tersebut juga terdapat penjelasan mengenai feminisme barat berdasarkan agresivitas aktivitasnya. Berikut ini adalah ringkasan saja berupa pengelompokan feminisme barat atas dasar agresivitas aktivitas, yaitu :
1. Socialist feminist;
Kelompok feminist ini masih mengakui adanya perbedaan kodrati antara perempuan dengan laki-laki sehingga ada sesuatu obyek pula yang mereka akui tidak dapat disetarakan. Obyek yang diperjuangkan adalah kesetaraan hubungan/klas sosial, kesetaraan ekonomi dan kesetaraan politik/partisipasi dalam komunitas.
2. Radicalist Feminist;
Kelompok ini menghendaki adanya equality/kesetaraan antara perempuan dan laki-laki disemua lini kehidupan bermasyarakat.
Disamping 2 (dua) pengelompokan tersebut, di Amerika Latin menurut Norma Chinchilia juga terdapat kelompok Anarchist Feminist (Norma Chinchilia dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 217). Anarchist feminist adalah konsep radical feminist yang sangat agresivitas. Mereka membangun feminisme jikalau perlu dengan melakukan kekerasan fisik sehingga mengarah pada kekerasan. Tahun 1980-an banyak sekali di negara-negara Amerika Latin, perempuan yang melakukan protes/demonstrasi dan pergerakan perubahan sosial disertai dengan kekerasan dan perusakan. Oleh sebab itulah, media massa Amerika Latin menyebut pergerakan feminisme disana sebagai feminist and crazy (Norma Chinchilia dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 217-218).

SOSIALISME FEMINISME ALA INDONESIA
Sub judul inilah yang menyebabkan penulis paper tidak pernah menyebutkan socialist feminism menjadi sosialism feminism. Maksud penulis, agar terdapat perbedaan antara socialist feminism barat dengan sosialisme feminisme Indonesia yang memiliki substansi berbeda.
Sosialisme Feminisme Indonesia diilhami oleh tulisan DR. Ir. Sukarno yang mengajarkan feminisme Indonesia dipandang dari sudut ajaran sosialisme Indonesia. Menurut Sukarno, Sosialisme feminisme adalah bagian dari proses revolusi nasional didalam usaha menyusun masyarakat keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 328-329). Masih menurut Sukarno, didalam masyarakat yang berkeadilan-sosial dan berkesejahteraan sosial itulah akan tercapai wanita yang bahagia, wanita yang merdeka.
Hanya saja diakui bahwa untuk menciptakan masyarakat yang sosialisme feminisme seperti yang didambakan Sukarno, sangat sulit diperoleh. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan individu menjadi seorang feminisme, seperti terlihat dalam bagan berikut (Kelly, C., et al., 1996, p. 84):














Bagan diatas mengungkapkan bahwa sebenarnya faktor personal adalah akar dari kehendak individu untuk feminist. Kemanakah Ego, Superego dan id akan menuntun seseorang dalam pembelaannya terhadap kepentingan dan peduli pada perempuan. Demikian juga pengaruh yang sangat besar dari hasil belajar dalam keluarga, komunitas dan pendidikannya sehingga menghasilkan karakter individu yang konsern pada ketidakadilan. Kejadian dan dukungan sosial yang terekam dalam memori menuntun keyakinan bahwa sebagai makluk sosial, manusia juga mengharapkan adanya kepercayaan sosial. Akhirnya, secara sadar, individu akan menentukan apakah ia akan kehilangan sebagain hak, menjadi sadar untuk membangun feminisme ataukan menjadi feminist radikal.
Kembali ke sosialisme feminisme Indonesia yang dibangun pertama kali oleh Sukarno, maka feminisme sosialisme yang berlandastujuan pada kesejahteraan sosial (social welfare) dan keadilan sosial ini oleh Sukarno telah diberikan karakteristik, yaitu (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 328-329):
1. Tiada lagi eksploitasi manusia oleh manusia;
2. Tiada juga eksploitasi manusia oleh negara;
3. Tiada kapitalisme;
4. Tiada kemiskinan;
5. Tiada perbudakan;
6. Tiada wanita yang setengah mati sengsara karena scheur/retak yakni memikul beban ganda yang berat.
Maka prinsip keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial meliputi 6 (enam) faktor tersebut diatas. Pendapat yang hampir mendekati uraian Sukarno diatas adalah yang disebutkan oleh Prof. DR. Moeljarto Tjokrowinoto, MPA yang menyatakan bahwa welfare-community (komunitas yang berkesejahteraan) adalah terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan sosial, keamanan dan ketenteraman hidup, community dan family self reliance, self esteem, kebebasan dari dominasi (liberation), hidup sederhana (plain living), dan sebagainya (Tjokrowinoto, M., 1999, h. 96)

KEBIJAKAN PENINGKATAN PERANAN WANITA DALAM KOMUNITASNYA :
“WOMEN EMPOWERMENT BASED ETHIC OF CARING”
Apabila feminisme sosialisme adalah upaya menempatkan wanita dalam kesejahteraan sosial dan keadilan sosial, maka searah dengan harapan ‘konstitusional’ konstelasi feminisme diarahkan pada peningkatan kedudukan wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan masyarakat itu sendiri. Gerakan feminisme menjadi sebuah gerakan global yang menembus batas-batas nasional dan lingungan sosial budaya. Artinya, peningkatan peranan perempuan dan peningkatan kedudukan mereka dalam komunitas bukan lagi milik wanita atau komunitas mereka yang sempit, namun justru telah menjadi milik ‘kemanusiaan’. Batas-batas geografis dan budaya menjadi virtual dan tidak lagi membatasi pemerdekaan perempuan.
Oleh sebab itu, etika kepedulian harus dibangun untuk solidaritas perempuan oleh berbagai kelompok sosial dan individu anggota kelompok. Kepedulian inilah yang menjadi dasar pemberdayaan wanita melalui berbagai cara dan manifestasi kebijakan program kelompok. Kepedulian sendiri terlahir melalui proses interrelasi (Gadis Arivia dalam Kompas, 21 Oktober 2002, h. 37). Proses interrelasi antara individu yang satu dengan lainnya atas dasar kesamaan harkat dan martabat meski berbeda kodratnya merupakan landasan pijak kebijakan Gender (Joni Lovenduski dalam Hawkersworth, et al, 1992 p. 610-612).
Kepedulian pemerintah yang dituangkan dan menjadi tujuan konstitusional peningkatan peran dan kedudukan wanita di Indonesia dijabarkan dalan Garis-Garis Besar Haluan Negara (TAP MPR II/1983) yang bunyinya :
Pertama : wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan nasional;
Kedua : peran ganda wanita didalam keluarga, termasuk pengembangan generasi muda dan peranannya didalam masyarakat dilaksanakan secara selaras dan serasi;
Ketiga : adanya pengakuan terhadap kodrat yang harus dilindungi serta harkat dan martabat wanita yang harus dijunjung tinggi;
Keempat : peran serta wanita dalam pembangunan adalah sebagai mitra sejajar pria;
Kelima : perlunya peningkatan pendidikan dan ketrampilan wanita agar mampu memanfaatkan kesempatan kerja;
Keenam : perlunya pengembangan iklim sosial dan budaya yang lebih menopang kemajuan wanita;
Ketujuh : guna mendorong partisipasi wanita dalam pembangunan perlu makin ditingkatkan kesejahteraan keluarga, antara lain melalui PKK.

Prof. DR. Moeljarto Tjokrowinoto, MPA merumuskan kebijakan peningatan peran wanita dan kaitannya dengan peran ganda dalam proyek/pekerjaan sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut (Tjokrowinoto, M., 1999, h. 74) :











Kepedulian kepada perempuan dalam kerangka kesejahteraan sosial dan keadilan sosial juga secara implisit terdapat pada Pancasila sebagai dasar negara maupun Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Sementara Norma masyarakat dan norma agama sendiripun juga menuangkan penghormatan kepada perempuan. Lihat saja ungkapan ”surga ditelapak kaki ibu atau Isa anak Maryam atau Muhammad yang lahir dari rahim Aminah” adalah berberapa penghormatan pada perempuan. Meski, didalam komunitas mereka sendiri terdapat distraksi antara Patriarchi/Matriarchi dengan kesetaraan gender.
Setidaknya, kepedulian yang dibangun untuk kesejahteraan perempuan dan keadilan perempuan telah dibangun dan sedikit demi sedikit dapat menguatkan peranan perempuan dalam berbagai bidang aktivitas sosial. Secara organisatoris, kepedulian itu dapat direalisasikan melalui PKK, P2WKSS, Dharma Wanita, LSM dan lain-lain.
Faktor yang patut dipertimbangkan dalam Sosialisme Feminisme atas dasar Etika Kepedulian menurut hemat penulis adalah :
- Diciptakannya lebih banyak komunikasi/interrelasi antara laki-laki dan perempuan (dimulai dari komunitas keluarga hingga komunitas yang lebih besar) sehingga diperoleh kesepakatan yang bermuara pada kesejahteraan sosial;
- Mengkondisikan iklim sosial dan budaya yang mendukung upaya peningkatan peran wanita dalam pengembangan lingkungannya;
- Rekalkulasi kebijakan politik dan peraturan perundangan yang berorientasi pada keadilan sosial.
Dengan terpenuhinya ketiga faktor tersebut diatas, secara perlahan akan dapat meningkatkan harkat, martabat dan peran wanita dalam kelompoknya.
Sementara itu, kunci utama akan maju atau mundurnya harkat dan peran wanita itu justru ada pada wanita itu sendiri. Sehingga dengan demikian, kehendak wanita untuk mendapat kesejahteraan dan keadilan sosialnya sendiri bukan diperjuangkan oleh pihak lain. Pihak lain hanya memberikan support dan kesempatan, sementara wanita sendirilah yang memperjuangkannya. Perkataan Agust Bebel dalam Die Freu und der Sozialismus yang dikutip Sukarno menyatakan “Djuga diatas pundak wanitalah terletak kewaijab untuk tidak ketinggalan didalam perjuangan ini, dalam mana perjuangan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka sendiri. Mereka sendirilah yang harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik. Pihak laki-laki berkewajiban membantu mereka” (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 326).
Era reformasi adalah kesempatan sekaligus tantangan yang sangat berat untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan wanita. Kesempatan karena saat inilah kebebasan itu sangat dihormati banyak orang (walaupun terkadang kebablasan). Tantangan muncul karena beratnya kesempatan wanita untuk mengaktualisasikan kehendak mereka dan tekanan ekonomi adalah ujian terberat bagi wanita. Quo vadis ? Untuk survivekah atau untuk sebuah kemerdekaan dan kebebasan ? Buruknya lagi kondisi saat ini adalah memudarnya kepedulian sosial dan runtuhnya moral helpseeking.


















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I., 1997, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset

Awortwi, N., 1999, Working Papers : The Riddle of Community Development : Factors Influencing Organisation, Participation and Self Management in 29 African and Latin American Communities, Netherland : Institute of Social Studies

Garis-garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia Tahun 1983

Hawkesworth, M., and Kogan, M., 1992, Encyclopedia of Government and Politics: Vol. I, London : Routledge

Hennessy, R. and Ingraham, C., 1997, Materialist Feminism : a Reader in Class, Difference, and Women’s Lives, London : Routledge

Ife, J., 1995, Community Development : Creating Community Alternatives – vision, analysis and practice, Melbourne Australia : Longman

Kelly, C. and Breinlinger, S., 1996, The Social Psychology of Collective Action : Identity, Injustice and Gender, London : Taylor & Francis Ltd.

Konek, C.W., and Kitch, S., 1994, Women and Careers : Issues and Challenges, London : Sage

Kompas, 21 Oktober 2002, Features Desertasi Gadis Arivia: Etika Kepedulian untuk Perubahan Sosial dan Perdamaian

Parera, F. M., Koekerits, T. J., 1999, Opini Masyarakat : Masyarakat Versus Negara – Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Jakarta, Kompas

Tjokrowinoto, M., 1999, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Scruton, R., 1984, From Descartes to Wittgenstein, England : Routledge & Kegan Paul plc.

Sukarno, DR. Ir., 1947, Sarinah : Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia - cetakan ketiga 1963, Yogyakarta : Panitya Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Sukarno

Tidak ada komentar: