Mengenai Saya

Minggu, 21 Agustus 2011

MANFAAT TANAMAN SAMBUNG NYOWO


SAMBUNG NYAWA



(Gynura procumbens Back).




KLASIFIKASI : Sambung nyawa disebut Gynura procumbens Back termasuk ke dalam famili tumbuhan Compositae. Tanaman ini dikenal dengan nama daerah ngokilo. Nama asing tanaman ini she juan jaoatau fujung jao.



SIFAT KIMIAWI : Tumbuhan ini sangat kaya dengan kandungan kimia, yang sudah diketahui antara lain : Alkaloida, saponin, flavonoida dan tanin.



EFEK FARMAKOLOGIS : Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lain disebutkan bahwa tanaman ini memiliki sifat ; dingin, netral, anti neoplastik, antipiretik, hipotensif (menurunkan tekanan darah), antikanker, hipoglikemik, diuretik.



BAGIAN TANAMAN YANG DIGUNAKAN : Efek farmakologi ini diperoleh dari penggunaan daun.



PENYAKIT YANG DAPAT DISEMBUHKAN DAN CARA PENGGUNAANYA

Berdasarkan berbagai literatur yang mencatat pengalaman secara turun-temurun dari berbagai negara dan daerah, tanaman ini dapat menyembuhkan penyakit-penyakit sebagai berikut :

1. Tekanan darah tinggi. Daun segar 4 -lembar (anak-anak 4, dewasa 7 lembar) dicuci lalu dimakan mentah (atau di juice dan diminum, atau dikukus sebentar dan dimakan, atau ditumis sebentar dan dimakan). Sehari sekali. (Saran 1x1 kapsul per hari).

2. Radang pita tenggorok, sinusitis. Daun segar 4 -lembar (anak-anak 4, dewasa 7 lembar) dicuci lalu dimakan mentah (atau di juice dan diminum). Sehari sekali.

3. Tumor. Daun 3 lembar mentah dan segar dicuci bersih dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur setiap kali makan nasi (atau dijuice dan diminum). Pantangan : ikan asin, cabai, tauge, sawi putih, kangkung, nanas, durian, lengkong, nangka, es, alkohol, dan tape, limun dan vitzin. (Saran 1x1 kapsul per hari).

4. Diabetes melitus. Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur (atau dijuice dan diminum). Setiap kali makan. Pantangan : makanan yang manis-manis. (Saran 1x1 kapsul per hari ).

5. Lever. Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur (atau dijuice). Setiap kali makan. Pantangan: makanan yang mengandung lemak.

6. Ambeien. Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur (atau dijuice dan diminum). Setiap kali makan. Pantangan : daging kambing dan makanan, masakan yang pedas.

7. Kolesterol tinggi. Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur (atau dijuicedan diminum). Setiap kali makan. Pantangan : makanan yang berlemak. (Saran 1x1 kapsul per hari)

8. Maag. Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan (atau dijuice dan diminum) setiap hari dan dilakukan secara teratur, setiap kali makan. Pantangan : makanan yang pedas dan asam.

9. Kena bisa ulat dan semut hitam. Daun segar 1lembar digosokkan pada bagian tubuh yang gatal hingga daun tersebut mengeluarkan air dan hancur. Dilakukan 2x setelah berselang 2jam.


Read more about TANAMAN OBAT - SAMBUNG NYAWA | Pusat Obat Herbal, dan Tanaman Obat Tradisional Berkualitas by www.tanaman-obat.com

Selasa, 16 Agustus 2011



CARA MENGGUNAKAN DAUN STEVIA

Sebelum digunakan, sebaiknya daun stevia kering dijadikan bubuk terlebih dahulu agar lebih mudah dalam penggunaannya.



Cara Pemakaian :

- Cara pemakaian : Cukup seujung sendok teh (1/8 sendok teh) untuk diseduh dengan 1 gelas air panas minuman (teh, kopi, jamu, dll). Aduk rata dan minumlah setelah minuman hangat.
- Jangan menggunakan stevia melebihi dosis takaran karena akan menyebabkan rasa pahit pada minuman. Sebaiknya cobalah sedikit dahulu, bila masih terasa kurang manis, bisa ditambahkan. – Bagi yang belum terbiasa minum gula stevia maka pada minuman akan terasa seperti aroma jamu, karena memang stevia adalah produk herbal.

50 gram stevia dapat digunakan untuk +/- 220 gelas.

Kamis, 16 Juni 2011

KEPEMIMPINAN LOKAL PADA MASYARAKAT MISKIN DI KAWASAN KUMUH (SLUMS) DAN LIAR (SQUATTER)

KEPEMIMPINAN LOKAL PADA MASYARAKAT MISKIN DIKAWASAN KUMUH (SLUMS) DAN LIAR (SQUATTERS)


Didik Agus Setyo P
NIM 17623/IV-2/743/01


PENDAHULUAN

Kesulitan menggerakkan partisipasi politik dan ekonomi masyarakat merupakan masalah yang dihadapi oleh pemerintah baik pada masa orde baru maupun orde reformasi saat ini. Partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam pembangunan politik dan ekonomi selama ini berada dalam tangga partisipasi rendah. Arnstein (dalam Davaudi, 1999) menyebutkan terdapat 8 (delapan) tangga partisipasi masyarakat yang dikelompokkan dalam 3 (tiga) pokok tangga partisipasi, yaitu :
Citizen Control Degree of citizen power
Delegated Power
Partnership
Placation Degree of tokenism
Consultation
Information
Therapy Non-participation
Manipulation
Ladder of Public Participation
Source: Arnstein, 1969
Menurut Arnstein, pada kelompok tangga nonpartisipasi, masyarakat berada dalam kondisi tidak memiliki kemampuan sama sekali sehingga tidak memungkinkan terjadinya partisipasi. Pada kelompok tangga degrees of tokenism, masyarakat memiliki partisipasi rendah berupa kesempatan bagi mereka untuk memberikan informasi dan saran-saran namun keputusan diambil oleh pemegang kekuasaan (pemerintah). Kelompok partisipasi ketiga degrees of citizen power merupakan implementasi kemampuan masyarakat sepenuhnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik baik dimulai dari perencanaan hingga evaluasi pembangunan politik dan ekonomi.
Masyarakat Indonesia pada saat ini memiliki karakteristik pemenuhan tangga partisipasi kelompok kedua (degrees of tokenism). Masyarakat hanya dapat memberikan informasi yang sangat terbatas, sedikit terlibat dalam diskusi baik perencanaan pembangunan maupun pelaksanaan pembangunan dan upaya-upaya pengamanan program pembangunan.
Rendahnya partisipasi tersebut diindikasi disebabkan oleh rendahnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan masyarakat. Bahkan pemerintah melupakan peranan pimpinan lokal (local leader), sebagai pimpinan informal masyarakat yang justru menjadi tokoh-tokoh panutan masyarakat setempat.
Seharusnya, dengan melibatkan sebesar mungkin pimpinan lokal akan mendorong partisipasi yang lebih besar pula, yaitu partisipasi yang meliputi pengambilan keputusan, partisipasi dalam implementasi, partisipasi dalam memperoleh manfaat dan partisipasi dalam evaluasi (Cohen dan kawan-kawan, 1979)
Atas dasar model partisipasi tersebut diatas maka kemudian disusun model pembangunan yang berdasarkan self help development. Lebih lanjut dikembangkan dalam model pembangunan Community Based Development (CBD), yakni pembangunan kawasan yang meletakkan keseluruhan prosesnya pada keterlibatan masyartakat setempat secara penuh. Pada model ini posisi pemerintah hanya menjadi pendamping dan memberikan konsultasi yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, pembangunan kemudian bukan lagi hanya diarahkan pada kemajuan sosial ekonomi masyarakat (aspek fisik) namun juga diarahkan pada bagaimana peran serta masyarakat itu sendiri dalam proses pembangunan yang memiliki tokoh-tokoh kunci yakni pimpinan-pimpinan lokal (Feeman, dan kawan kawan, 1985).

PIMPINAN LOKAL DAN ORGANISASI LOKAL

a. Organisasi Lokal
Pada dasarnya, dalam wilayah tertentu umumnya terdapat tiga sektor lembaga/organisasi. Ketiga sektor tersebut adalah Pemerintah (local government), swasta (private sectors) dan organisasi lokal (local/rural organization).
Semestinya, ketiga sektor tersebut bekerja bersama-sama secara sinergis untuk mencapai kemajuan wilayah tersebut. Sinergi kerjasama tiga sektor tersebut terlihat dalam bagan berikut :










Model sinergi organisasi kemasyarakatan yang lebih sempurna dikemukakan Huntington (1968 : 395) sebagai berikut :












Namun dalam paper ini hanya akan dibahas organisasi lokal sebagai materi yang berkesesuaian dengan peranan kepemimpinan lokal dalam kawasan miskin (poor), kumuh (Slums) dan liar (squatters).
Organisasi lokal didefinisikan sebagai institusi yang memiliki aktivitas untuk memperoleh kepentingan mereka dan dinilai accountable oleh anggotanya termasuk dalam proses pembangunan wilayahnya (Esman, dan kawan-kawan, 1984 : 18).
Keberadaan organisasi lokal dalam proses pembangunan kawasan memiliki dimensi penting . Dibandingkan 2 sektor organisasi kemasyarakatan lain, organisasi lokal adalah organisasi yang menyatu dengan masyarakat setempat. Oleh sebab itu, organisasi lokal lebih mampu memahami kebutuhan masyarakatnya dan cara-cara yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak salah apabila organisasi lokal memiliki fungsi E3 (Efficiency, Equity and Empowerment) (Johnston dan kawan kawan, 1975 : 445).





Pengaturan konflik internal organisasi berhubungan dengan identifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan proses pekerjaan, menganalisisnya secara sistematis, mengimplementasikan alternatif solusi pemecahan masalah dan melakukan tawar-menawar kepentingan (Yukl, G., 1994). Konflik akan muncul manakala seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi dihadapkan pada pilihan pengambilan keputusan yang sangat penting dan menyulitkan. Bahkan Janis dan Mann (1979) menegaskan bahwa konflik menjadi semakin membahayakan bilamana penentu keputusan ragu dan takut menanggung resiko berupa kemungkinan kerugian/kehilangan kesempatan sebagai akibat kesalahan pilihan alternatif pemecahan masalah.
Faktor utama terjadinya konflik, pada hakekatnya berawal dari aktivitas individu atau sekelompok orang untuk menerima atau menolak pilihan yang paling mungkin mereka lakukan. Dengan demikian, individu pada saat dihadapkan pada pilihan harus melakukan aktivitas yang cukup rumit, mulai dari pengumpulan informasi, menganalisisnya berdasarkan ukuran-ukuran keuntungan/kerugian, serta menentukan pilihan terbaik dimana jika perlu dapat meminta pertimbangan orang lain.
Hakekat individu selain sebagai makluk pribadi juga sekaligus memiliki peran sebagai makluk sosial. Oleh sebab itu, seorang peribadi tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan komunitasnya yang komplek. Pilihan akan semakin berat bagi individu manakala dia harus mempertimbangkan resiko yang terjadi berkaitan dengan jalinan interaksinya dengan komunitasnya.
Oleh karena itulah, perkembangan individu menjadi sangat berperan dalam menetukan kemampuannya melakukan pilihan dan mengatur konflik yang terjadi. Perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang komplek (Van den Daele dalam Hurlock, E.B., 1997). Bahkan lebih lanjut Hurlock, E.B. (1997) menegaskan bahwa perkembangan bertujuan untuk memungkinkan orang menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia hidup.
Makna yang terkandung dalam paragraf diatas mendiskripsikan hebatnya pengaruh perkembangan individu yang integral terhadap semakin bertambahnya kemampuannya menyesuaikan diri dengan komunitasnya yang banyak memiliki substansi konflik didalamnya. Dengan kata lain, semakin seseorang berkembang kearah kematangan, semakin mampu pula dirinya mengatur konflik yang dihadapinya.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu munculnya konflik sebagaimana dikategorisasi Wexley & Yukl (dalam Yukl, G., 1994) :
- Kompetisi untuk memperoleh sesuatu/resources;
- Perbedaan dalam mendapatkan tujuan dari sebuah pekerjaan;
- Ambiguitas terhadap rasa keadilan;
- Upaya memperebutkan status;
- Hambatan dalam berkomunikasi;
- Perbedaan kepribadian individu satu dengan lainnya.
Bahkan didalam era reformasi di Indonesia pada saat ini yang balik lagi ke instabilitas sistem pemerintahan, banyak muncul konflik yang menghadang laju pembangunan negara. Setidaknya terdapat 12 (duabelas) konflik besar yang harus diatasi oleh pemerintah (Leksono, K., dkk., 2000) :
1. Masalah pada sistem Politik yang masih diwarnai oleh money politics, floating mass, nepotisme dan rekayasa memperoleh kekuasaan;
2. Masalah Hukum, legitimasi kekuasaan yang dilanggengkan oleh hukum dan ketidakadilan dihadapan hukum;
3. Masalah orientasi kebijakan ekonomi yang masih berbau crony capitalism, pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi yang terbatas pada slogan dan perebutan sumberdaya alam;
4. Masyarakat yang belum siap terhadap pluralisme, segresi menurut aliran parpol, agama, ras dan suku;
5. Otonomi daerah yang “setengah matang” sehingga tidak menciptakan model perimbangan kekuasaan pusat-daerah yang baik;
6. Peranan militer dalam kehidupan sipil yang belum jelas arahnya;
7. Sitem pendidikan yang membingungkan, kurikulum yang tidak aplicable, rendahnya kompetisi dan teacher centered;
8. Sikap mendua pada ideologi gender, peranan wanita dalam lembaga pemerintahan;
9. Tidak siapnya masyarakat dalam merespon globalisasi dan pasar bebas/ketidakadilan internasional;
10. Pengaruh agama untuk melindungi kekuasaan;
11. Sistem demokrasi dalam masyarakat yang bifurkasi;
12. Posisi tawar masyarakat dalam kebijakan pemerintahan yang lemah.

Sedangkan dalam scope pemerintahan di tingkat Kabupaten dan Kota, terdapat berbagai konflik antara lain :
1. Sumber daya manusia dan kepemimpinan dalam pemerintahan daerah;
2. Ketersediaan dan pemanfaatan fasilitas pemerintahan;
3. Masalah pemukiman, perebutan lahan dan fasilitas pelayanan publik;
4. Kewenangan dan hak daerah atas sumber daya lingkungan;
5. Segresi masyarakat atas dasar golongan dan kepentingan;
6. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah;
Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 tahun 2000 yang mengatur mengenai Kelembagaan Organisasi Pemerintahan di Daerah, memunculkan friksi yang hebat dalam pelaksanaan manajemen pemerintahan di daerah. PP 84/2000 mendorong pemerintah daerah untuk menyusun struktur organisasi yang miskin hirarki namun kaya fungsi sehingga berakibat pada penempatan sumber daya manusia dan kecenderungan melakukan rasionalisasi pegawai.
Selanjutnya, karena pembiayaan operasional pemerintahan daerah diatur sepenuhnya oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan dengan sumber keuangan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan disubsidi Pemerintah Pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang sangat terbatas, menimbulkan banyak spekulasi tidak mampunya pemerintah daerah membayar gaji pegawainya, membiayai operasional pemerintahan dan mencukupi ketersediaan biaya pembangunan.
Permasalahan-permasalahan tersebut mendorong lahirnya konflik dalam diri pegawai pemerintahan daerah, sekaligus juga menyebabkan konflik antar pegawai, antara pegawai dengan atasannya serta mengganggu relationship mereka. Bahkan Devas dan Rakodi (1993) menyatakan bahwa konflik bisa terjadi antara dinas-dinas daerah (agencies) dan bagian-bagian (departements) dalam pemerinatahan di daerah.
Bertolak dari demikian besarnya konflik yang sekarang ini muncul dalam organisasi pemerintahan daerah tersebut diatas, maka menjadi sangat urgen untuk melihat kemampuan pemimpin daerah untuk mengatur konflik di lingkungan kerjanya.
Kemampuan seorang pemimpin menentukan sejauhmana dirinya dapat mengatur konflik dalam organisasinya. Selanjutnya, pengaturan konflik tersebut dapat memberikan sumbangan besar bagi keuntungan organisasi.
Hemphill dan Coons (1957) mendefinisikan leadership sebagai perilaku individu pada saat dirinya memerintah group untuk melakukan suatu pekerjaan guna mencapai tujuan bersama.
Disamping itu, banyak peneliti yang mengelompokkan kepemimpinan kedalam 2 kategorisasi perilaku pemimpin, yaitu kepemimpinan yang berorientasi kepada pekerjaan/task behavior dan kepemimpinan yang beorientasi pada perilaku hubungan antar personal/relationship behaviors (Northouse, 2001).
Kepemimpinan yang berorientasi pada perilaku pelaksanaan pekerjaan akan selalu memfasilitasi aktivitas-aktivitas yang langsung berkenaan dengan pencapaian tujuan. Sedangkan kepemimpinan yang berorientasi pada perilaku hubungan antar personal berusaha memfasilitasi tumbuhnya perasaan nyaman dalam hubungan antar individu dan dengan situasi kerja.
Hasil studi yang memperkuat analisis Northouse tersebut dilandaskan pada penelitian yang dilakukan Universitas Michigan (Bowers dan Seashore, 1966 dalam Northouse, 2001) mengategorikan kepemimpinan dalam 2 aspek perilaku, yaitu yang disebut employee orientation dan production orientastion.
Sementara pendekatan yang dilakukan oleh Hersey dan Blanchard (1969) menyatakan bahwa kepemimpinan sangat duipengaruhi oleh situasi yang disekitarnya. Dalam pendekatan situasional ini, faktor yang sangat berpengaruh adalah derajad kedewasaan bawahan (Blanchard dan Zigami, 1985).
Sedangkan Bryman (1992) mengacu pada hasil research tentang tranformasional leadership sejak tahun 1980-an, menyatakan terdapatnya paradigma baru tentang leadership. Paradigma baru itu adalah proses perubahan dan pentransformasian individu-individu dalam organisasi (Brymann, 1992; Northouse, 2001).
Penelitian yang terus dilakukan untuk merevisi teori kepemimpinan transformasional dilakukan oleh Conger & Kanungo (1998), Shamir, House & Arthur, (1993). Namun jauh sebelum itu, Bass (1985) telah mengkategorikan kepemimpinan kedalam 3 tipologi yang bersifat kontinum. Leadership Continuum yang dikemukakan oleh Bass tersebut adalah sebagai berikut :






Sumber : Leadership Cintinuum, Northouse, P.G., 2001
Proses dinamis pergerakan tipe kepemimpinan kontinum yang dikemukakan Bass ini disebut “Model kepemimpinan transformasional dan transaksional” (Bass, 1985, 1990; Bass dan Avolio, 1992, 1994).

E.1. MANAJEMEN KONFLIK
Konflik bagaikan pedang bermata dua, disatu sisi dapat melukai lawan namun sisi satunya mengancam keselamatan diri sendiri. Asumsi umum menyatakan bahwa konflik cenderung bersifat merusak. Oleh sebab itu, secara tradisional manajemen yang baik adalah meminimalisasi konflik (Tjosvold, 1991).
Konflik juga mengandung pengertian negatif berupa permusuhan, ketidak sesuaian pendapat dan perubahan yang tidak menyenangkan. Konflik yang demikian merugikan dan membahayakan suatu organisasi serta mengakibatkan tidak efektifnya performansi organisasi (Stott dan Walker, 1995).
Konflik terjadi manakala seorang individu dipaksakan pada satu kondisi tendensius tertentu, yaitu untuk menerima atau menolak aktivitas yang diberikan padanya. Konflik ditandai dengan adanya keragu-raguan, kebimbangan, perasaan ketidakpastian dan tanda-tanda tekanan emosional yang akut (signs of acute emotional stress) (Janis dan Mann, 1977).
Namun dalam pandangan manajemen modern, kenyataannya konflik selalu ada, dibutuhkan dan tidak dapat dielakkan oleh kelompok baik dalam kontek organisatoris maupun kehidupan individual (Lindelow dan Scott, 1989 dalam Sott dan Walker, 1995).
Bahkan Robbins (1991) menegaskan bahwa banyak ahli ilmu perilaku dan praktisi manajemen saat ini mengakui dan menerima bahwa efektivitas manajemen bukan dengan mengeliminasi konflik. Robbins mengasumsikan bahwa andaikan konflik dapat dikendalikan dan diatur dengan baik, konflik justru dapat memberikan keuntungan bagi organisasi.
Penjelasan lebih lanjut dari Robbins (1991) menyebutkan bahwa keuntungan konflik dalam organisasi terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu :
1. Konflik memiliki arti upaya membawa organisasi kedalam proses perubahan yang radikal;
2. Konflik mendorong persatuan kelompok;
3. Konflik meningkatkan efektivitas kelompok dan organisasi;
4. Konflik membawa derajad tekanan emosi yang sedikit lebih tinggi;
Sedangkan pernyataan lain menyebutkan bahwa kehadiran konflik dalam kelompok dapat meningkatkan frekuensi pemecahan masalah yang berkualitas. Kelompok yang berpengalaman terhadap konflik diindikasikan dengan kreativitas anggotanya dalam menyusun alternatif-alternatif pemecahan masalah dibandingkan kelompok yang tidak terbiasa menghadapi konflik. Group yang menghadapi krisis menunjukkan performansi efektif dalam pengambilan keputusan. Semakin besar konflik itu menjadi sebuah krisis, semakin besar pula konsensus yang dicapai terhadap keputusan yang diambil. (Wynn dan Guditus (1984).
Konflik, pada saat dimanajemen secara tepat dapat menambah nilai substantif sebuah organisasi. Konflik menjadi perantara pada saat permasalahan diakui dan hendak dipecahkan. Pada saat membahas konflik, dengan tidak menutup informasi, mengembangkan asumsi-asumsi yang menarik, menggali lebih dalam topik yang dibahas dan menentukan konsekuansi terburuk yang mungkin dihadapi akan mengarahkan organisasi pada keberhasilan pemilihan keputusan. Sehingga dengan demikian konflik dibutuhkan karena perbedaan opini dan informasi menjadikan pemecahan permasalahan menjadi lebih baik dan akhirnya memperoleh sesuatu yang dapat dikerjakan secara logis dalam organisasi (Tjosvold, 1991)
Konflik didefinisikan sebagai ketidakcocokan dalam aktivitas dan perilaku (Deutsch, M., 1973). Dalam pengertian, perilaku seseorang dianggap menghalangi dan mencampuri urusan, aktivitas dan perilaku orang lain.
Konflik juga sering didefinisikan sebagai penentangan terhadap kepentingan dan tujuan yang dilakukan justru oleh kelompok pendukung (protagonist) dalam proses bargaining dan negosiasi (Tjosvold, 1991). Namun Tjosvold juga mengatakan bahwa konflik tidak bermakna sama dengan kekerasan, perbedaan pendapat dan kemarahan. Mungkin konflik dapat diekspresikan dengan cara tersebut, namun dapat juga konflik ada disaat seseorang sedang tertawa, menyindir, diam bahkan pada saat sedang terharu. Seseorang bisa saja menyembunyikan perasaan mereka, menekan pikiran mereka dan menahan pembicaraan, namun individu itu tetap saja mengalami konflik.
Konflik adalah segala sesuatu yang menjengkelkan berkaitan dengan budaya organisasi/unit-unit organisasi, nilai/norma, tujuan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, kewenangan dan proses kepemimpinan serta tekanan lingkungan (Rainey, 1997).
Intensitas konflik akan muncul manakala seseorang harus membuat keputusan penting, seperti keputusan untuk menikah, mendapatkan pekerjaan baru, menandatangani kesepakatan bisnis atau menyetujui keputusan politik sebagai bagian dari representasinya di dalam organisasi. Konflik menjadi semakin berat disaat pengambil keputusan menyadari resiko makin besarnya peluang kehilangan keuntungan dari perilaku terbaik yang dipilih (Janis dan Mann, 1977).
Pondy (dalam Rainey, 1997) menyusun klasifikasi tingkatan konflik yang terjadi dalam organisasi dalam 5 (lima) stase :
1. Latent Conflict (konflik laten); merupakan kondisi awal konflik, belum membara dan muncul kepermukaan/belum disadari sepenuhnya;
2. Perceived Conflict (konflik yang telah dapat diketahui); seseorang telah dapat mengetahui bahwa telah ada konflik, meskipun selalu dicoba untuk dihindari/diingkari;
3. Felt Conflict (konflik telah dirasakan); seseorang telah merasakan secara emosi adanya efek-efek munculnya konfli : marah, ketakutan, naiknya tekanan darah, dan akibat-akibat yang dirasakan secara faal dalam diri seseorang;
4. Manifest Conflict (konflik nyata); konflik telah benar-benar ada bentuknya dan aktual. Muncul kecenderungan frustrasi, melukai, membahayakan orang lain dan menundukkan orang lain;
5. Conflict Aftermath (akibat terjadinya konflik); biasanya lebih kebentuk akibat buruk dari suiatu konflik.
Konflik sering berhubungan dengan pola agresivitas individu (Tjosvold, 1991). Kemungkinan makin tingginya eskalasi konflik dipengaruhi oleh gaya hidup dan ego seseorang (Rainey, 1997). Dengan berasumsi dari teori psikoanalisis, konflik menjadi lebih berat, manakala superego tidak mampu mengendalikan ego sehingga membebaskan instingtif berperilaku diluar kontrol norma sosial yang seharusnya di-internalisasi/diindividuasi dalam kontek proses pematangan individu.
Ursula K. Le Guin (dalam Tjosvold, 1991) menyatakan bahwa perjuangan ditujukan untuk tetap eksis, berperang untuk tetap hidup, segala sesuatu selalu berkaitan dengan pertentangan : Laki dan wanita, kebaikan dan kejahatan, Tuhan dan setan, putih dan hitam.
Agar konflik bermanfaat bagi organisasi, konflik harus dimanajemen dengan baik. Perlu dibangun strategi dan taktik yang tepat untuk memanajemen konflik dalam organisasi (Yates, 1985).
Terdapat 4 (empat) substansi kritis berkaitan dengan aspek-aspek dalam memanajemen konflik di dalam organisasi (Tjosvold, 1991) :
1. Perbedaan nilai dan cara menghadapi perbedaan;
2. Pencarian keuntungan bersama dan persatuan yang melatar belakangi kerjasama dalam pencapaian tujuan;
3. Pemberdayaan pegawai untuk merasa percaya diri dan terampil;
4. Menyediakan reward untuk keberhasilan dan mengembangkan sistem belajar dari kesalahan.
Namun dalam sebuah pengambilan keputusan atas beberapa pilihan yang dilakukan oleh organisasi, individu lebih sering mendukung keputusan mayoritas sebagai bentuk umum mempertahankan diri dari penghindaran kelompok pada dirinya. Menurut cognitive dissonance theory, seseorang cenderung untuk consonan dengan pilihan mayoritas dalam kelompoknya. (West dan Wicklund, 1980). Motivasi individu untuk menghindarkan diri dari penolakan kelompoknya ini didasari oleh kebutuhan individu untuk menangkal stres dibandingkan jika dia dissonant dengan kelompoknya.

E.2. TIPOLOGI KEPEMIMPINAN MULTIFAKTOR

Pada awalnya, studi tentang kepemimpinan berfokus pada pendekatan otokrasi versus demokrasi, kemudian berkembang pada pendekatan direktif versus partisipatif berdasarkan aspek pengambilan keputusan, berkembang lagi pada pendekatan orientasi tugas dan orientasi hubungan antar personal kemudian pendekatan inisiasi versus konsiderasi (Bass, 1985). Namun seiring dengan kedewasaan (maturity) bawahan, mempengaruhi tipologi kepemimpinan (Burns, 1978).
Perkembangan tipologi kepemimpinan yang saat ini sedang menjadi trend adalah tipologi kepemimpinan continuum (Northouse, 2001). Yaitu kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional dan bukan tipologi kepemimpinan transaksional. Tipologi kepemimpinan transformasional merupakan paradigma baru tipologi kepemimpinan (Bryman, 1992).

E.2.1. Kepemimpinan Transformasional
Istilah kepemimpinan transformasional awalnya disampaikan oleh Dowton tahun 1973. Meski demikian istilal tersebut baru terkenal sebagai salah satu pendekatan tipologi kepemimpinan setelah disampaikan oleh James McGregor Burns dalam bukunya berjudul Leadership yang terbit tahun 1978 (dalam Northouse, 2001).
Burns dalam bukunya tersebut menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses dimana pemimpin dan bawahan berusaha meraih secar bersama-sama tingkat yang lebih tinggi dalam hal moralitas dan motivasi (Burns, 1978). Pemimpin secara sadar berusaha mencari menyerukan kepada bawahan untuk secara sadar pula meraih tujuan terbaik dan nilai moral tertinggi seperti kebebasan, keadilan, kesamaan, kedamaian dan pengahargaan sebagai umat manusia, bukan mendasarkan pada kondisi emosi seperti ketakutan, rakus, cemburu (jaelous) ataupun kebencian.
Bagi Burns, kepemimpinan adalah sebuah proses, bukan aktivitas yang sepotong-sepotong (Burns, 1978). Kepemimpinan transformasional mengarahkan terciptanya proses dimana individu mengikutsertakan orang lain dan menciptakan hubungan yang mempertinggi motivasi dan moralitas baik bagi pemimpin maupun bagi bawahan. (Northouse, 2001).
Bass (1985) memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional setelah memperbaiki ide awal yang dikemukakan Burns. Secara umum, seorang pimpinan dikatakan transformasional manakala dia telah dapat diukur dengan memepergunakan aspek-aspek pengaruh pemimpin terhadap bawahannya (Yukl, 1994).

Bawahan dibawah kepemimpinan transformasional setidaknya menunjukkan rasa percaya, kekaguman, kebanggaan, loyalitas, sikap hormat pada pimpinan dan bawahan termotivasi bekerja lebih baik dan lebih banyak dibandingkan apa yang sesungguhnya diharapkan untuk dikerjakan (Bass, 1985).
Bass (1985) menjelaskan bahwa untuk menjadi pemimpin transformasional, aspek yang dikerjakan meliputi :
a. Menyadarkan bawahan tentang pentingnya mencapai tujuan/outcomes dan outcome itu bernilai lebih tinggi dibandingkan yang diharapkan bersama;
b. Membujuk bawahan agar bersedia mendahulukan kepentingan bersama guna kepentingan organisasi/kelompok melalui pemenuhan kepentingan sendiri;
c. Menggerakkan bawahan untuk mendapatkan tingkat kebutuan mereka yang lebih tinggi.
Yukl (1994) menyatakan bahwa Bernard M. Bass memformulasikan komponen kepemimpinan transformasional atas 3 (tiga) substansi yang terdiri sebagai berikut :
1. Charisma; Pemimpin mempengaruhi bawahan dengan membangun hubugan emosional yang kuat dan mengidentifikasi pemimpin mereka;
2. Intelletual Stimulation; Pemimpin mengarahkan bawahan untuk mengetahui adanya permasalahan dan melihat permasalahan itu dari perspektif yang berbeda;
3. Individual Consideration; Mengandung pengertian pemimpin memberikan dukungan, membangkitkan semangat dan meningkatkan pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan bawahan.
Namun dalam penjelasan lain (Northouse, 2001; Bass dan Avolio, 1990) menyebutkan bahwa komponen kepemimpinan transformasional terdiri atas 4 (empat) substansi, yaitu :
a. Charisma atau Idealized Influence (Northouse, 2001); Pimpinan menciptakan pengaruh yang kuat atas dirinya mempergunakan hubungan emosional yang dekat dan mengarahkan bawahan mengidentifikasi karakter pimpinan;
b. Inspirational Motivation (Northouse, 2001; Bass dan Avolio, 1990); Pemimpin berusaha mendapatkan ide yang baru guna memotivasi bawahan dan menumbuhkan semangat kerjanya;
c. Intellectuan Stimulation; Pimpinan menstimulasi bawahan agar selalu melakukan inovasi, merubah cara pandang dan cara kerja baru yang lebih baik untuk memahami permasalahan yang sama;
d. Individualized Consideration; Pimpinan membangun hubungan harmonis dengan bawahan, medukung aktivitas bawahan, meningkatkan pengetahun dan ketrampilannya.
Komponen-komponen yang ada dalam kepemimpinan transformasional saling berinteraksi untuk mempengaruhi perubahan sikap bawahan terhadap organisasinya, cara kerjanya dan pandangannya pada pemimpin.

E.2.2. Kepemimpinan Transaksional

Menyitir pendapat Burns, Bass (1985) memandang kepemimpinan transaksional sebagai bentuk pertukaran antara pengahargaan (reward) terhadap pemenuhan kewajiban yang dilakukan bawahan. Kepemimpinan transaksional mengarahkan kebutuhan yang diinginkan dan dibutuhkan bawahan serta mencari tahu bagaimana kebutuhan itu dapat memuaskan bawahan. (Bass dan Avolio, 1990).
Kepemimpinan transaksional memiliki pengaruh yang kuat dimana ketertarikan bawahan pada pemenuhan kebutuhannya dilakukan dengan menjalankan apa yang dibutuhkan oleh pimpinan (Kuhnert dan Lewis, dalam Northouse, 2001).
Komponen kepemimpinan transaksional terdiri atas 2 (dua) substansi utama (Bass, 1985; Yukl, 1994; Bass dan Avolio, 1990; Northouse, 2001) sebagai berikut:
1. Contingent reward/constructive transaction; Hakekatnya adalah terciptanya proses pertukaran pemenuhan kepentingan. Pada proses ini pemimpin memberikan reward/pemenuhan kebutuhan bawahan terhadap aktivitas/pekerjaan yang dinginkan pimpinan.
2. Management by Exception; Pemimpin akan melakukan koreksi terhadap kesalahan bawahan pada periode tertentu. Pada management by Exception Passive, pemimpin melakukan koreksi terhadap kesalahan yang dilakukan bawahan pada saat akhir proses pekerjaan. Sedangkan Management by Exception Active, pemimpin melakukan koreksi setiap terjadi kesalahan selama proses pelaksanaan pekerjaan.

E.2.3. Laisez Faire

Faktor ini cenderung menunjukkan kondisi dimana tidak didapati adanya pemimpin dalam organisasi. Kalaupun ada kepemimpinan laizer faire cenderung untuk “berlepas tangan dan membiarkan segala sesuatunya berjalan sendiri sebagaimana adanya” (Northouse, 2001).
Tidak banyak penjelasan mengenai tipologi kepemimpinan ini, karena biasanya laiser faire leadership dianggap bukan sebagai tipe kepemimpinan (Northouse, 2001).
Karakteristik laiser faire leadership antara lain adalah sebagai barikut : (Northouse, 2001; Bass dan Avolio, 1990): Pemimpin membiarkan bawahan bekerja semau mereka, pemimpin membiarkan bawahan menggunakan peralatan kerja tanpa standar aturan kerja, pemimpin melepaskan tanggung jawab dan pemimpin tidak berusaha mendukung bawahan untuk mencapai kepuasannya melalui pemenuhan kebutuhan mereka.

F. DIFINISI OPERASIONAL

F.a. TIPOLOGI KEPEMIMPINAN MULTIFAKTOR

F.1. Kepemimpinan Transformational
F.1.1. Charisma, meliputi :
a. Pemimpin selalu berusaha menjaga kepatuhan dan rasa hormat bawahannya;
b. Pemimpin selalu berusaha menunjukkan dedikasi yang tinggi dalam bekerja dihadapan bawahannya;
c. Bawahan menerima visi dan misi pimpinan tanpa harus bertanya;
d. Pimpinan menilai bawahan bahwa mereka selalu percaya dan mengikuti ideologi yang dianutnya dalam pekerjaan-pekerjaanya;
e. Pimpinan menjadi “model” yang ditiru oleh bawahan dalam berbagai hal yang sifatnya positif dan memberikan efek menguntungkan pada pekerjaan;
F.1.2. Inspiration to Motivation, meliputi :
a. Pimpinan mampu mempergunakan simbol-simbol dan image yang efektif untuk memotivasi bawahan;
b. Pimpinan mampu menunjukkan dan mengarahkan serta mengekspresikan tujuan yang lebih penting dalam kehidupan berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan yang ditekuni;
c. Pimpinan selalu berusaha menemukan cara baru untuk memotivasi bawahan dan membangun ekspektasi yang tinggi serta membangun semangat kerja optimum bawahannya.
F.1.3. Individual Consideration, meliputi :
a. Pemimpin selalu membangun interest bawahan untuk selalu berbuat baik kepada orang lain dan pimpinan sendiri selalu berbuat baik pada bawahannya;
b. Pimpinan memberikan perhatian yang intens kepada masing-masing bawahan;
c. Pimpinan memberikan keleluasaan kepada bawahan untuk turut menyelesaikan kewenangan pekerjaan (delegasi) sehingag mencapai tingkat produktivitas yang tinggi, pimpinan juga menumbuhkan keyakinan bawahan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengetahui apa yang diinginkan dan dipikirkan pimpinan tentang suatu pekerjaan;
d. Pimpinan memberikan perhatian khusus pada bawahan yang dikucilkan kelompoknya dengan interaksi-interaksi yang dapat membangkitkan semangat kerja dan kepercayaan dirinya. Pimpinan juga membangun sistem kerjasama dan interaksi interpersonal dalam organisasi.
F.1.4. Intellectual Stimulation, meliputi :
a. Pimpinan mendorong bawahan untuk mendapatkan cara-cara baru dalam menelaah masalah-masalah lama. Pimpinan juga bersedia menerima ide-ide baru dari bawahan guna memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi organisasi;
b. Pimpinan mengarahkan bawahan memahami nilai-nilai organisasi dan mempercayai organisasinya serta kemudian mengidentifikasi nilai dan kepercayaan tersebut sebagai bagian dirinya sendiri (internalisasi);
c. Pimpinan selalu berupaya mendukung usaha-usaha bawahan dalam mengembangkan cara-cara baru yang efektif guna menyelesaikan pekerjaan dan meningkatkan produktivitas kerja;
d. Pimpinan merangsang bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasinya serta memberikan pekerjaan yang menantang namun menyenangkan kepada bawahannya.
F.2. Kepemimpinan Transaksional
F.2.1. Contingent Reward/Constructive Transaction, meliputi :
a. Pimpinan memberika reward/penghargaan pada pekerjaan-pekerjaan yang memenuhi aturan pelaksanaan pekerjaan. Pimpinan yang melanggar aturan pelaksanaan pekerjaan akan dikenai hukuman;
b. Pimpinan menilai penting untuk memenuhi harapan bawahan, asumsinya, jika harapan bawahan dapat dipenuhi maka ia akan bekerja dengan baik sebagaimana aturan pekerjaan dalam organisasi;
c. Pimpinan memberikan pengakuan dan pengahrgaan pada prestasi kerja bawahan. Wujud pengahargaan dapat berupa fisik/materi maupun immateri.
d. Pimpinan selalu merasa senang bila ia memberikan reward atas hasil kerja bawahan, demikian sebalinya pimpinan akan merasa marah atas buruknya pekerjaan bawahan.
F.2.2. Management by Exception, meliputi :
a. Kepuasan pimpinan terletak pada terpenuhinya standar persyaratan pelaksanaan pekerjaan; Jika selama dalam proses atau diakhir proses pekerjaan tidak terdapat kesalahan, pimpinan akan merasa puas;
b. Pimpinan tidak beupaya dan tidak memotivasi bawahan untuk merubah standar pekerjaan yang telah dan masih dipergunakan guna memperoleh hasil kerja maksimal;
c. Pimpinan selalu memerintahkan bawahan untuk memperbaiki kesalahan selama dalam proses atau diakhir pekerjaan dan menegur kesembronoan bawahan.

F.3. Laisez Faire Leadership/Nontransactional Leadership
a. Pimpinan membiarkan bawahan menjalankan pekerjaanya semau mereka sendiri;
b. Pimpinan membiarkan bawahan mempergunakan peralatan kerja sesuai kemauan mereka tanpa ada standar aturan kerja;
c. Pimpinan melepaskan tanggungjawab terhadap pekerjaan dan organisasinya;
d. Pimpinan tidak berusaha mendukung usaha mencapai pemuasan kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih tinggi.

F.b. MANAJEMEN KONFLIK
F.b.1. Perbedaan Nilai dan Cara mengatasi perbedaan, meliputi :
a. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan atas adanya perbedaan nilai;
b. Mengakui bahwa perbedaan pengalaman mendorong terjadinya inovasi;
c. Mengatasi secara langsung isu/permasalahan untuk memahami sudut pandang yang berbeda;
d. Mengidentifikasi ancaman dan peluang;
e. Tetap berpikiran terbuka dan mengkomunikasikan perasaan secara terbuka;
F.b.2. Mencapai Keuntungan Bersama dan Kesatupaduan untuk mencapai tujuan bersama, meliputi :
a. Membangun hubungan interpersonal (relationship) yang kuat;
b. Fokus pada tujuan yang kongkrit dan tujuan bersama dan fokus pada cara kerja bersama untuk mengurangi konflik;
c. Ikut serta berbagai cara pandang (visi);
d. Beusaha keras untuk mencapai win-win sulotion dan mengidentifikasi bersama-sama permasalahan yang dihadapi;
F.b.3. Memberdayakan Bawahan untuk Meningkatkan Percaya Diri dan Ketrampilan Bawahan, meliputi :
a. Mengadakan musyawarah dan mengatur tata letak musyawarah untuk dapat mengekspresikan ide dan frustrasi;
b. Menunjukkan penghormatan dan penerimaan kepada orang lain sebagai seorang manusia;
c. Menggunakan pendekatan pekerjaan sebagaimana yang diharapkan untuk dipergunakan orang lain;
d. Menyelenggarakan pelatihan ketrampilan kerja.
F.b.4. Menyediakan penghargaan/reward pada keberhasilan kerja dan belajar dari kesalahan yang diperbuat, meliputi :
a. Merayakan keberhasilan yang diperoleh individu;
b. Perencanaan untuk melanjutkan kemajuan;
c. Mengevaluasi cara pemecahan masalah;
d. Menegaskan kembali persetujuan dengan cara mengimplementasikan keputusan;
e. Meninjau feedback mengenai bagaimana konflik telah dpat dimanajemen.







Refferensi :

Cohen, J M., Norman, U T., dan Golsmith, A A., Feasibiilty and Application of Rural Development Participation, A State of The Art Paper, Rural Development Committee, Center for International Studies : Cornel University

Davaudi, S., 1999, What do We Mean by Public Participation ?, Helsinki : Bequest Extranet Meeting – University College London

Esman, M J., Uphoff, N T., 1984, Local Organizations, Intermediaries in Rural Development, London : Cornell University

Feeman, H E., Rossi, P H., 1985, Evaluation, A Systemic Approach 3th edt., London : Sage Publications

Huntington, S P., 1968, Political Order in Changing Societies, New Haven : Yale University Press

Johnston, B F , Kilby, P., 1975, Agricultural and Structural Tranformation : Economic Strategies in Late-Developing Countries, New York

Minggu, 11 Juli 2010

WANITA DALAM KOMUNITAS INDONESIA ALA SOSIALISME FEMINISME :
WOMEN EMPOWERMENT BASED ETHIC OF CARING
Oleh Didik Agus SP


PENDAHULUAN

Perempuan, selalu dideskriditkan dalam ekologinya. Bahkan hampir semua budaya etnis di dunia menomorduakan perempuan dibawah laki-laki. Hukum waris-adat di Jawa misalnya memiliki rasio 2 : 1; 2 bagian untuk laki-laki sedangkan wanita hanya memperoleh 1 bagian saja.
Selalu bertolak dari perasaan tidak diperlakukan secara adil (justice/equity), setara (equal) dan kebebasan (liberation), beberapa kaum feminis mengobarkan revolusinya. Eropa menjadi pusat tumbuhnya feminisme bahkan Inggris menjadi center perkembangan radikalis feminist. Namun dalam paper ini tidak akan membahas aliran feminisme semacam radicalist feminism. Paper akan menyajikan secara singkat beberapa perspektif yang menjelaskan feminis, pengakuan feminism (cenderung gender role) di Indonesia dan implikasi hasil perjuangan feminisme dalam komunitas.
Penulis menekankan bahwa pergerakan feminisme Indonesia berbeda dengan konsep feminism dari negara barat, dimana feminism barat bertolak dari kehendak menyamaratakan wanita dengan laki-laki dalam segala aspek. Feminisme Indonesia bergerak untuk menempatkan wanita secara terhormat, tidak ditindas (nireksploitasi oleh manusia, organisasi bisnis maupun oleh negara), memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam peluang kerja, usaha dan kemandirian, tiada kapitalisme dan kemiskinan serta pemiskinan, tiada perbudakan wanita dan tiada wanita yang harus memikul beban ganda sementara dia merasa tidak menyukainya serta semua itu diakulturasikan dengan kultur Indonesia yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Pendapat tersebut sebenarnya telah lama dikemukakan oleh Ir. Sukarno bahwa revolusi Indonesia menjadi pintu bagi masyarakat sosialisme yaitu masyarakat yang dapat memberikan kebahagiaan kepada wanita, suatu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 324).
Namun demikian perlu disampaikan pada paper ini beberapa perspektif yang mengkritisi community development, sebagaimana disampaikan Jim Ife (Ife, J., 1995, p.41) dimana salah satu perspektif didalamnya adalah perspektif feminisme. Pendapat Jim Ife selengkapnya terdapat dalam tabel berikut :

Tabel : Aliran Pemikiran/Perspektif Creating Community

No Stream of Perspective Perception of Major Problem Proposed Sulotion
1 Eco Socialism Capitalism Socialist Society
2 Eco Anarchism Hierarchiy, bureaucracy, government Decentralization,
local control,
absence of central government
3 Eco Feminism Patriarchy Feminist revolution,
Valuing Women’s attributes,
Ending gender oppression
4 Eco Luddism Technology Low-level human scale technology,
Ending mindless technological progress
5 Anti Growth Growth (economic,
Population, consumtion, etc.) No-growth society
6 Green economics Conventional economic theory Sustainable economics including externalities;
Decentralized economics

7
Work and the labour market
Definitions of work, reliance on the labour market and distributive mechanism
New definitions of work and leisure, guaranteed basic income
8 Global development Dominance and exploitation of South by the North, global inequity, “development” Global equity, appropriate development
9 Eco Philosophy Anthropocentric world view Ecocentric world view
Diambil dari Community Development : Creating Community Alternatives, Jim Ife

BEBERAPA PERSPEKTIF FEMINISME BARAT

Cultural Feminism
Cultural feminisme menjadi masa dimana perempuan dalam lingkungan budayanya sendiri justru tidak mendapat tempat untuk dihormati eksistensinya. Perempuan pada jaman cultural feminisme – hingga sekitar tahun 1968-an – berada sangat dibawah kedudukan laki-laki. Pernyataan Dixon (1940) sebagaimana dikutip oleh Margaret Benston (dalam Hennessy, R., et al., 1997, p. 17) menyebutkan the status of women is clearly inferior to that of men.
Cultural feminisme diilhami ideologi cultural yang menempatkan posisi perempuan sedikit lebih tinggi dari kedudukan semula. Bahwa perempuan semula hanya sebagai complementer bagi laki-laki, selanjutnya dihargai peranan dan tugasnya di rumah (household) dan kesempatan membentuk networking dalam lingkungan lokal. Sebagaimana dikemukakan Ryan (dalam Kelly, C., et.al. p. 6-7) bahwa setelah perang dunia II cultural ideology mendefinisikan ibu (mother/wife) memiliki peran sebagai wanita dengan tugas khusus (women’s special duty) dan memiliki kesempatan meluaskan jaringan kerjanya dalam lingkungan lokal.
Pada fase itu, wanita memiliki peran ganda sebagai “pengurus rumah” sekaligus dapat berinteraksi (termasuk dalam kegiatan ekonomi) sebatas pada lingkungan masyarakat lokal. Masyarakat lokal (local community) dimaknai sebagai unit masyarakat pada area tertentu, terutama pedesaan (rural areas), dan dianggap homogen serta menjalani hidup secara harmonis. Kecil dan memiliki atensi kuat pada perbedaan dalam communalnya atas dasar gender, klas sosial/ekonomi dan kekuasaan. (Awortwi, N., 1999, p. 6). Artinya, secara geografis, wanita tidak memiliki khasanah kemerdekaan yang lebih luas. Mereka masih terkurung dalam sangkarnya meski sangkar itu telah diperluas batas-batas wilayahnya.
Walaupu demikian sebenarnya realitas itu toh lebih indah dibandingkan jika wanita hanya sebagai housekeeper. Meskipun ibaratnya, istri dipuja bagaikan mutiara yang disimpan, dirawat dan dijaga dengan sangat berhati-hati toh justru pemuliaan itu tidaklah dapat diterima wanita sebagai wujud penghargaan kemerdekaan dan kesejahteraannya.
Sementara itu, Rosemary Hennessy dan kawan-kawan menyatakan bahwa cultural feminisme diawali oleh asumsi bahwa pada dasarnya wanita dan laki-laki itu berbeda. Meskipun demikian, sistem patriarchal (nilai laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan) harus ditolak karena patriarchal-lah yang menindas perempuan. Oleh sebab itu tujuan utama cultural feminisme adalah menghapus budaya patriarchal sebagai akar penindasan perempuan (Hennessy, R., et al., 1997, p. 7).
Pendapat Maria Mies yang dikutip Hennessy adalah sebagai berikut : For many Western Feminist Women’s oppression is rooted in the cultural of patriarchal civilization. For them, therefore, feminism is largerly a cultural movement, a new ideology, or new consciousness. (dalam Hennessy, R., et al, 1997, p.7). Jadi ditegaskan bahwa akar pergerakan feminism adalah penindasan kaum wanita oleh budaya patriarchi. Oleh sebab itu pergerakan feminisme hanyalah sebagai pergerakan kebudayaan belaka. Inilah yang kemudian memacu lahirnya pergerakan feminisme yang lebih keras lagi.
Hanya saja memang, untuk mencari idealisme/image segala sesuatu yang telah ada tidaklah mencukupi keinginan manusia. Selalu saja manusia dengan kelebihan yang dimilikinya selalu mencari ‘tambahan lain’ agar berlebih lagi. Demikian pula yang terjadi dengan pergerakan feminisme.

Materialist Feminism
Perkembangan industrialisasi dunia pada tahun 1950 dan 1960an telah menimbulkan dampak terjadinya fenomena sosial yang besar, antara lain migrasi penduduk dari desa ke kota, kebutuhan buruh industri yang banyak, penindasan pada kelompok yang lemah, tuntutan kebutuhan hidup meningkat, bertambahnya jumlah pekerja wanita berikut dampaknya, akumulasi capital yang timpang (kaum burjuis versus kaum proletar), dan lain sebagainya.
Ambillah aspek atas kebutuhan tenaga kerja wanita yang besar. Pada masa kapitaslisme tersebut, wanita pekerja mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan jumlahnya wanita yang berperan semata sebagai ibu rumahtangga. Sebagaimana diungkapkan Klein (dalam Kelly, C., et al., 1996, p. 6) : during the 1960s there was an increased emphasis on wamen as workers and less on women as mothers.
Pendapat yang menguatkan pandangan Klein diungkapkan oleh Konek dan Kitch ( Konek, C.W., et al, 1994, p. 9) yang menyatakan bahwa wanita menikah yang bekerja mengalami peningkatan secara dramatis dari 25% pada tahun 1945 menjadi 44% pada tahun 1967 bahkan pada tahun 1972 terjadi peningkatan sangat besar yakni 64%.
Sayangnya, peningkatan jumlah tersebut tidak dibarengi dengan berkuarangnya penindasan (oppression) terhadap kaum perempuan, justru sebaliknya. Hanya saja kebanyakan wanita pada saat itu tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi obyek penindasan. Oleh sebab itu Freudianisme pada saat itu mengkritisi terjadinya masa ‘ketidaksadaran perempuan sebagai akibat rendahnya ilmu pengetahuan dan pengalaman mereka’ (Christine Delphy dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 61).
Konsep Ir. Sukarno tentang peran ganda wanita sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah untuk keluarga diistilahkan sebagai “scheur” (retak), yakni retaknya perikehidupan dan jiwa kaum perempuan ( Sukarno, DR., Ir., 1947, p. 10). Sejak perempuan terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh, scheur meningkat tidak lagi perempuan sebagai ibu/istri sekaligus housekeeper tetapi juga sebagai pekerja dikomunitasnya.
Berkaitan dengan aktivitas feminisme dan link-nya dengan help-seeking, maka wanita pada jaman itu boleh dibilang helplessness karena tidak menyadari bahwa mereka butuh dibantu untuk keluar dari women oppression itu. Di Indonesia saat inipun masih cukup banyak wanita yang unconciousness serta helplessness terhadap penindasan. Kita akan menemui banyak wanita di Indonesia ini yang tidak cukup dilindungi oleh perhatian sosial atas keselamatan dan kemerdekaan aktivitas mereka.
Cobalah kita perhatikan, wanita bangun pagi untuk membersihkan rumah dan sekitarnya, menyiapkan keperluan sekolah anak/adik/anak majikannya, menyiapkan sarapan pagi, mencuci pakaian dan barang-barang dapur, belanja ke pasar, yang ibu rumah tangga sekaligus pegawai harus bekerja di kantor/pabrik, menyiapkan makan siang, mengurus anak sepulang sekolah, menyiapkan makan malam, menidurkan anak, meladeni suami dan berbagai-bagai kegiatan yang penulis sendiri tidak mampu memerinci persatuannya.
Sungguh pekerjaan yang sangat variatif, melelahkan (apakah ini identik dengan eksploitatif ?). Lalu kalau demikian, apakah ukuran kualitas dan kuantitas bahwa wanita itu telah dieksploitir, ditindas dan tidak diperhatikan ?
Tidak ada satupun ukuran baku yang mengaturnya, semua berkembang sesuai perkembangan jaman, kodratnya, derajad pendidikan, budaya komunitas dan tuntutan ekonomi yang mendasarinya.
Bisa jadi seorang perempuan yang juga bekerja justru menganggap dirinya ditindas, dieksploitasi tetapi bisa juga sebaliknya, seorang perempuan yang bekerja justru merasa dihargai, diberikan kemerdekaan yang didambakannya.
Bukankah tidak jarang dari kita yang menganggap dengan memberikan kebebasan kepada pasangan kita untuk menentukan sikap mereka, sementara pasangan kita menginginkan pendapat kita (atau bahkan oppression kita : dalam kontek ini penulis menghindari kata ‘tekanan’), ternyata justru kebebasan yang kita berikan itu dinilainya tidak menghargai mereka ?

MARXIST FEMINISM – SOCIALIST FEMINISM
Berangkat dari pemikiran Marxisme, sebagai jawaban atas kapitalisme, bahwa perjalanan hidup manusia melalui 3 (tiga) tahap gerak sejarah (Scruton, R., 1984, p. 258) yaitu :
a. Tahap pertama;
Tahapan dimana alam menguasai manusia dan belum terciptaya alam sebagai obyek bagi manusia, obyek kepemilikan (materialisme) belum dikembangkan. Tahapan ini adalah tahapan primitif;
b. Tahap kedua;
Tahapan dimana telah terjadi pemisahan manusia dengan alam, pemisahan manusia dengan manusia, berkembangnya kepemilikan pribadi yang membangun prinsip kapitalisme. Pada tahap inilah manusia berubah menjadi kaum materialist, manusia satu menguasai manusia yang lain.
c. Tahap ketiga;
Tahapan dimana penguasaan alam oleh manusia begitu sempurna, sehingga penguasaan manusia oleh manusia dan kepemilikan pribadi telah terlampaui. Akibatnya, kepemilikan pribadi dijadikan sarana untuk memperoleh kebebasan dan bersatu dengan “kehidupan spesiesnya”.
Tahapan ketiga inilah yang mendasari pergerakan femisit marxist di dunia barat. Bahwa sebagai akibat dari kapitalisme yang menguasai manusia, akhirnya membawa manusia pada kepemilikan materi yang berkecukupan sehingga manusia akhirnya kembali menempatkan dirinya sebagai makluk sosial. Manusia melepaskan dirinya dari saling menguasai dan dikuasai. Mereka bersama-sama berada dalam komunitas yang bebas dan bersatu antara satu dengan lainnya, istilah Marx adalah beralineasi dengan spesiesnya (Scruton, R., 1984, p. 260).
Marxist feminist di Amerika Latin pada tahun 1970-an menegaskan bahwa liberalisasi dan kepentingan politik antara wanita dengan laki-laki adalah different but equal ( Norma Chinchillia dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 217). Kaum marxisme feminisme ini mensosialisasikan equality antara wanita dengan pria, berkaitan kedudukan wanita dalam keluarga, masyarakat dan proses produksi sebagai tenaga kerja.
Perkembangan selanjutnya, sebagaian penganut Marxisme feminisme memisahkan dirinya dan membentuk feminisme yag lebih separatis. Tahun 1970-an (tepatnya tahun 1977) sekelompok feminist mendeklarasikan militant radical feminist dan menyebut dirinya revolutionary feminist. Kaum revolutionary feminist ini menegaskan perjuangan totalitas untuk kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki. (Kelly, C., et al., 1996, p. 6-7).
Sementara kelompok yang lain, melanjutkan ajaran Marxist feminism dan mengembangkan idenya menjadi Socialist Feminist. Socialist feminist diilhami oleh dampak kapitalisme yang melahirkan klasifikasi sosial masyarakat dan eksistensi kelas ekonomi dalam konteks totalitas sosial.
Socialist feminist menerima bahwa ada perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, namun kapabilitas masyarakat dalam hubungan sosial dan kepemilikan material (hak ekonomi) tidak dapat dibatasi oleh kelas-kelas tertentu (Hennessy, R., et al, 1994, p. 5-6). Socialist feminism juga menandaskan perlunya equal opportunity in politics and community participation (Joni Lovenduski, dalam Hawkesworth, M., et al., 1992, p. 605).
Bouchier (dalam Kelly, C., et al., 1996, p. 8) menegaskan bahwa di Inggris pada tahun 1983 terdapat lebih kurang 300 kelompok feminisme baik yang beraliran socialist feminist maupun radicalist/revolutionary feminist. Tahun 1992, masih menurut Bouchier, telah terjadi peningkatan hingga sekitar 400 kelompok feminisme dengan interest lebih spesifik untuk membela hak-hak perempuan. Artinya, setiap tahun selama 1983 sampai dengan 1992 di Inggris muncul lebih kurang 11 kelompok feminist dan tidak lagi terlalu spesifik menyatakan bagian dari socialist ataupun radicalis feminist. Kelompok-kelompok feminist ini membela kepentingan wanita dengan kepentingan-kepentingan yang lebih spesifik.

FEMINISME BARAT BERDASAR AGRESIVITAS AKTIVITAS
Dimuka telah dijelaskan beberapa perspektif feminisme barat. Didalam penjelasan tersebut juga terdapat penjelasan mengenai feminisme barat berdasarkan agresivitas aktivitasnya. Berikut ini adalah ringkasan saja berupa pengelompokan feminisme barat atas dasar agresivitas aktivitas, yaitu :
1. Socialist feminist;
Kelompok feminist ini masih mengakui adanya perbedaan kodrati antara perempuan dengan laki-laki sehingga ada sesuatu obyek pula yang mereka akui tidak dapat disetarakan. Obyek yang diperjuangkan adalah kesetaraan hubungan/klas sosial, kesetaraan ekonomi dan kesetaraan politik/partisipasi dalam komunitas.
2. Radicalist Feminist;
Kelompok ini menghendaki adanya equality/kesetaraan antara perempuan dan laki-laki disemua lini kehidupan bermasyarakat.
Disamping 2 (dua) pengelompokan tersebut, di Amerika Latin menurut Norma Chinchilia juga terdapat kelompok Anarchist Feminist (Norma Chinchilia dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 217). Anarchist feminist adalah konsep radical feminist yang sangat agresivitas. Mereka membangun feminisme jikalau perlu dengan melakukan kekerasan fisik sehingga mengarah pada kekerasan. Tahun 1980-an banyak sekali di negara-negara Amerika Latin, perempuan yang melakukan protes/demonstrasi dan pergerakan perubahan sosial disertai dengan kekerasan dan perusakan. Oleh sebab itulah, media massa Amerika Latin menyebut pergerakan feminisme disana sebagai feminist and crazy (Norma Chinchilia dalam Hennessy, R., et al, 1994, p. 217-218).

SOSIALISME FEMINISME ALA INDONESIA
Sub judul inilah yang menyebabkan penulis paper tidak pernah menyebutkan socialist feminism menjadi sosialism feminism. Maksud penulis, agar terdapat perbedaan antara socialist feminism barat dengan sosialisme feminisme Indonesia yang memiliki substansi berbeda.
Sosialisme Feminisme Indonesia diilhami oleh tulisan DR. Ir. Sukarno yang mengajarkan feminisme Indonesia dipandang dari sudut ajaran sosialisme Indonesia. Menurut Sukarno, Sosialisme feminisme adalah bagian dari proses revolusi nasional didalam usaha menyusun masyarakat keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 328-329). Masih menurut Sukarno, didalam masyarakat yang berkeadilan-sosial dan berkesejahteraan sosial itulah akan tercapai wanita yang bahagia, wanita yang merdeka.
Hanya saja diakui bahwa untuk menciptakan masyarakat yang sosialisme feminisme seperti yang didambakan Sukarno, sangat sulit diperoleh. Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan individu menjadi seorang feminisme, seperti terlihat dalam bagan berikut (Kelly, C., et al., 1996, p. 84):














Bagan diatas mengungkapkan bahwa sebenarnya faktor personal adalah akar dari kehendak individu untuk feminist. Kemanakah Ego, Superego dan id akan menuntun seseorang dalam pembelaannya terhadap kepentingan dan peduli pada perempuan. Demikian juga pengaruh yang sangat besar dari hasil belajar dalam keluarga, komunitas dan pendidikannya sehingga menghasilkan karakter individu yang konsern pada ketidakadilan. Kejadian dan dukungan sosial yang terekam dalam memori menuntun keyakinan bahwa sebagai makluk sosial, manusia juga mengharapkan adanya kepercayaan sosial. Akhirnya, secara sadar, individu akan menentukan apakah ia akan kehilangan sebagain hak, menjadi sadar untuk membangun feminisme ataukan menjadi feminist radikal.
Kembali ke sosialisme feminisme Indonesia yang dibangun pertama kali oleh Sukarno, maka feminisme sosialisme yang berlandastujuan pada kesejahteraan sosial (social welfare) dan keadilan sosial ini oleh Sukarno telah diberikan karakteristik, yaitu (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 328-329):
1. Tiada lagi eksploitasi manusia oleh manusia;
2. Tiada juga eksploitasi manusia oleh negara;
3. Tiada kapitalisme;
4. Tiada kemiskinan;
5. Tiada perbudakan;
6. Tiada wanita yang setengah mati sengsara karena scheur/retak yakni memikul beban ganda yang berat.
Maka prinsip keadilan-sosial dan kesejahteraan-sosial meliputi 6 (enam) faktor tersebut diatas. Pendapat yang hampir mendekati uraian Sukarno diatas adalah yang disebutkan oleh Prof. DR. Moeljarto Tjokrowinoto, MPA yang menyatakan bahwa welfare-community (komunitas yang berkesejahteraan) adalah terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan sosial, keamanan dan ketenteraman hidup, community dan family self reliance, self esteem, kebebasan dari dominasi (liberation), hidup sederhana (plain living), dan sebagainya (Tjokrowinoto, M., 1999, h. 96)

KEBIJAKAN PENINGKATAN PERANAN WANITA DALAM KOMUNITASNYA :
“WOMEN EMPOWERMENT BASED ETHIC OF CARING”
Apabila feminisme sosialisme adalah upaya menempatkan wanita dalam kesejahteraan sosial dan keadilan sosial, maka searah dengan harapan ‘konstitusional’ konstelasi feminisme diarahkan pada peningkatan kedudukan wanita dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan masyarakat itu sendiri. Gerakan feminisme menjadi sebuah gerakan global yang menembus batas-batas nasional dan lingungan sosial budaya. Artinya, peningkatan peranan perempuan dan peningkatan kedudukan mereka dalam komunitas bukan lagi milik wanita atau komunitas mereka yang sempit, namun justru telah menjadi milik ‘kemanusiaan’. Batas-batas geografis dan budaya menjadi virtual dan tidak lagi membatasi pemerdekaan perempuan.
Oleh sebab itu, etika kepedulian harus dibangun untuk solidaritas perempuan oleh berbagai kelompok sosial dan individu anggota kelompok. Kepedulian inilah yang menjadi dasar pemberdayaan wanita melalui berbagai cara dan manifestasi kebijakan program kelompok. Kepedulian sendiri terlahir melalui proses interrelasi (Gadis Arivia dalam Kompas, 21 Oktober 2002, h. 37). Proses interrelasi antara individu yang satu dengan lainnya atas dasar kesamaan harkat dan martabat meski berbeda kodratnya merupakan landasan pijak kebijakan Gender (Joni Lovenduski dalam Hawkersworth, et al, 1992 p. 610-612).
Kepedulian pemerintah yang dituangkan dan menjadi tujuan konstitusional peningkatan peran dan kedudukan wanita di Indonesia dijabarkan dalan Garis-Garis Besar Haluan Negara (TAP MPR II/1983) yang bunyinya :
Pertama : wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan nasional;
Kedua : peran ganda wanita didalam keluarga, termasuk pengembangan generasi muda dan peranannya didalam masyarakat dilaksanakan secara selaras dan serasi;
Ketiga : adanya pengakuan terhadap kodrat yang harus dilindungi serta harkat dan martabat wanita yang harus dijunjung tinggi;
Keempat : peran serta wanita dalam pembangunan adalah sebagai mitra sejajar pria;
Kelima : perlunya peningkatan pendidikan dan ketrampilan wanita agar mampu memanfaatkan kesempatan kerja;
Keenam : perlunya pengembangan iklim sosial dan budaya yang lebih menopang kemajuan wanita;
Ketujuh : guna mendorong partisipasi wanita dalam pembangunan perlu makin ditingkatkan kesejahteraan keluarga, antara lain melalui PKK.

Prof. DR. Moeljarto Tjokrowinoto, MPA merumuskan kebijakan peningatan peran wanita dan kaitannya dengan peran ganda dalam proyek/pekerjaan sebagaimana digambarkan dalam diagram berikut (Tjokrowinoto, M., 1999, h. 74) :











Kepedulian kepada perempuan dalam kerangka kesejahteraan sosial dan keadilan sosial juga secara implisit terdapat pada Pancasila sebagai dasar negara maupun Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Sementara Norma masyarakat dan norma agama sendiripun juga menuangkan penghormatan kepada perempuan. Lihat saja ungkapan ”surga ditelapak kaki ibu atau Isa anak Maryam atau Muhammad yang lahir dari rahim Aminah” adalah berberapa penghormatan pada perempuan. Meski, didalam komunitas mereka sendiri terdapat distraksi antara Patriarchi/Matriarchi dengan kesetaraan gender.
Setidaknya, kepedulian yang dibangun untuk kesejahteraan perempuan dan keadilan perempuan telah dibangun dan sedikit demi sedikit dapat menguatkan peranan perempuan dalam berbagai bidang aktivitas sosial. Secara organisatoris, kepedulian itu dapat direalisasikan melalui PKK, P2WKSS, Dharma Wanita, LSM dan lain-lain.
Faktor yang patut dipertimbangkan dalam Sosialisme Feminisme atas dasar Etika Kepedulian menurut hemat penulis adalah :
- Diciptakannya lebih banyak komunikasi/interrelasi antara laki-laki dan perempuan (dimulai dari komunitas keluarga hingga komunitas yang lebih besar) sehingga diperoleh kesepakatan yang bermuara pada kesejahteraan sosial;
- Mengkondisikan iklim sosial dan budaya yang mendukung upaya peningkatan peran wanita dalam pengembangan lingkungannya;
- Rekalkulasi kebijakan politik dan peraturan perundangan yang berorientasi pada keadilan sosial.
Dengan terpenuhinya ketiga faktor tersebut diatas, secara perlahan akan dapat meningkatkan harkat, martabat dan peran wanita dalam kelompoknya.
Sementara itu, kunci utama akan maju atau mundurnya harkat dan peran wanita itu justru ada pada wanita itu sendiri. Sehingga dengan demikian, kehendak wanita untuk mendapat kesejahteraan dan keadilan sosialnya sendiri bukan diperjuangkan oleh pihak lain. Pihak lain hanya memberikan support dan kesempatan, sementara wanita sendirilah yang memperjuangkannya. Perkataan Agust Bebel dalam Die Freu und der Sozialismus yang dikutip Sukarno menyatakan “Djuga diatas pundak wanitalah terletak kewaijab untuk tidak ketinggalan didalam perjuangan ini, dalam mana perjuangan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka sendiri. Mereka sendirilah yang harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik. Pihak laki-laki berkewajiban membantu mereka” (Sukarno, DR., Ir., 1947, h. 326).
Era reformasi adalah kesempatan sekaligus tantangan yang sangat berat untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan wanita. Kesempatan karena saat inilah kebebasan itu sangat dihormati banyak orang (walaupun terkadang kebablasan). Tantangan muncul karena beratnya kesempatan wanita untuk mengaktualisasikan kehendak mereka dan tekanan ekonomi adalah ujian terberat bagi wanita. Quo vadis ? Untuk survivekah atau untuk sebuah kemerdekaan dan kebebasan ? Buruknya lagi kondisi saat ini adalah memudarnya kepedulian sosial dan runtuhnya moral helpseeking.


















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I., 1997, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset

Awortwi, N., 1999, Working Papers : The Riddle of Community Development : Factors Influencing Organisation, Participation and Self Management in 29 African and Latin American Communities, Netherland : Institute of Social Studies

Garis-garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia Tahun 1983

Hawkesworth, M., and Kogan, M., 1992, Encyclopedia of Government and Politics: Vol. I, London : Routledge

Hennessy, R. and Ingraham, C., 1997, Materialist Feminism : a Reader in Class, Difference, and Women’s Lives, London : Routledge

Ife, J., 1995, Community Development : Creating Community Alternatives – vision, analysis and practice, Melbourne Australia : Longman

Kelly, C. and Breinlinger, S., 1996, The Social Psychology of Collective Action : Identity, Injustice and Gender, London : Taylor & Francis Ltd.

Konek, C.W., and Kitch, S., 1994, Women and Careers : Issues and Challenges, London : Sage

Kompas, 21 Oktober 2002, Features Desertasi Gadis Arivia: Etika Kepedulian untuk Perubahan Sosial dan Perdamaian

Parera, F. M., Koekerits, T. J., 1999, Opini Masyarakat : Masyarakat Versus Negara – Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara, Jakarta, Kompas

Tjokrowinoto, M., 1999, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Scruton, R., 1984, From Descartes to Wittgenstein, England : Routledge & Kegan Paul plc.

Sukarno, DR. Ir., 1947, Sarinah : Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia - cetakan ketiga 1963, Yogyakarta : Panitya Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Sukarno

Jumat, 02 Juli 2010

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MASYARAKAT MISKIN TENTANG KEMISKINAN DAN PROGRAMPEMBANGUNAN KAWASAN (COMMUNITY BASED DEVELOPMENT) DI KOTA SEMARANG

(PEOPLE POOR REASONING ABOUT POVERTY AND COMMUNITY BASED DEVELOPMENT PROGRAM AT SEMARANG MUNICIPALLITY

Didik Agus Setyo P.1 dan Sartini Nuryoto2

Program Studi Psikologi

Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Abstract

This Research is a phenomenological descriptive study, which explains the oocasion and facts about reasoning of poor people at Bandarharjo, Semarang municipal about poverty and Community Based Development program (CBD)
The poor people of Bandarharjo, Semarang municipal set up a reason that the poverty cannot solved. Living in illegal settlement and using any kind of things and take any opportunities to achieve needs of live. Its responds is judged as an innovative response from the poor, which is realized as the transformation from helplessness to continue life. Innovative response is a trick to reason and to make a decision to act or worth towards rationality principal. People poor of Bandarharjo realized of their helplessness because of poverty, made unability to handle shelter development and still keep their economical status. Community Based Development ( CBD) that is held to solve the poverty have less motivation towards the poor to participate actively. Most of the run of CBD program by government use a contractor services. Thus Bandarharjo’s poor people just active as watcher, and think of the development as a reward from the government to them. The helplessness perception and the development as a reward stimulate of the poor people dependence of the government development program.
Industrial development policy around Bandarharjo and the labor policy cause the happened of environment exploitation, public facility collision and the laborer payment has not covered the basic needs. The marginalization is never been occurred, the problem is on the effect that is occurred by the policy responses that stimulate the happened of environment exploitation, increase of public facility collision and the policy does not push the reduction of poverty problem completely.

Keywords : Poverty, Rationality, CBD, Marginalization, Heuristic Systematic Model


1. Universitas Pandanaran Semarang
2. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

1
PENGANTAR

A. LATAR BELAKANG

Kemiskinan merupakan masalah umum di setiap Negara manapun. Sebagai sebuah masalah, masyarakat miskin dan pemerintah berusaha keras untuk dapat mengatasi kemiskinan yang mendera. Migrasi penduduk dari desa ke kota merupakan pilihan pemikiran untuk mengatasi kemiskinan (McAuslan, 1986; Mantra, 1981; Abustam, 1989; Herlianto, 1986; Prasetyo, 1995).
Biro Pusat Statistik mencatat bahwa penurunan tingkat kemiskinan perkotaan di Indonesia pada tahun 1998 sampai dengan awal tahun 2000 berjalan lebih lambat dibandingkan penurunan kemiskinan di pedesaan. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi Nasional yang diselenggarakan Biro Pusat Statistik pada tahun 1998 penduduk miskin perkotaan mencapai 17,6 juta jiwa atau sebesar 21,9 % sedangkan penduduk miskin pedesaan mencapai jumlah 31,9 juta jiwa atau sebesar 25,7 %. Namun pada Sensus Ekonomi Nasional Biro Pusat Statistik bulan Agustus 1999, jumlah penduduk miskin perkotaan turun menjadi 12,3 juta jiwa atau 17 % sedangkan penduduk miskin pedesaan turun hingga mencapai jumlah 24,8 juta jiwa atau sebesar 20 %. Penurunan jumlah penduduk miskin perkotaan tahun 1998 hingga 1999 berkisar antara 4 % sedangkan penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai kisaran 5 – 6 %.
Migrasi penduduk miskin ke perkotaan menyebabkan tumbuhnya permukiman liar (squatter) dan munculnya kawasan hunian kumuh (slums) disebabkan ketidakmmapuan migran menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi perkotaan yang berjalan cepat. Akibatnya masyarakat migran miskin di perkotaan terjebak dalam jenis pekerjaan informal seperti pengemis, pemulung, tukang becak, pedagang kecil, buruh, penjaja makanan dan pengamen jalanan. Bahkan tidak jarang wanita migran terjerumus dalam lingkaran pelacuran di perkotaan (Papanek, 1975; Breese, 1972; Herbert, 1979; Yudohusodo, 1991).
Pilihan hidup di kawasan hunian kumuh dan liar serta menekuni pekerjaan informal merupakan pemikiran dan modifikasi perilaku masyarakat miskin di perkotaan untuk mempertahankan hidup (Mangin, 1967; Turner, 1962; Pearlman, 1976). Pemikiran dan modifikasi perilaku tersebut merupakan trik untuk memikirkan dan memperhitungkan berbagai peluang menentukan keputusan dan sepadan dengan konsep rasionalitas yang dikemukakan kaum Psikologi Evolusioner (Bower, 1996; Pinker, 1997). Modifikasi perilaku adalah hasil pemikiran inovatif dan menunjukkan kemampuan merespon secara jeli dan rasional kesempatan mempertahankan hidup pada masyarakat miskin (Turner, 1962).
Pembangunan nasional yang ditujukan memperbaiki taraf hidup dan menghilangkan kemiskinan kurang menumbuhkan partisipasi masyarakat. Program Pembangunan Berbasis Kerakyatan atau Community Based Development (CBD) juga kurang mendorong partisipasi masyarakat. Proses pembangunan lebih banyak dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa pemerintah (Wegelin, dkk., 1995; Kumorotomo, dkk., 1995; Santosa, 2002). Rendahnya partisipasi masyarakat kurang dapat meningkatkan taraf hidup dan mengatasi kemiskinan perkotaan. Masyarakat miskin perkotaan sebagai sasaran program pembangunan lebih banyak menjadi penonton dan konsumen proyek-proyek pemerintah (Herlianto, 1986; Santosa, 2002). Masyarakat miskin perkotaan sebagai penonton dan konsumen pembangunan mengindikasikan terjadinya ketergantungan terhadap pembangunan yang diselenggarakan pemerintah (Surbakti, 1984; Prasetyo, 1995).
Kurang berhasilnya upaya mengatasi kemiskinan merupakan masalah besar. Oleh karena itu, dalam permasalahan tersebut tentu terdapat permasalahan-permasalahan yang lebih kecil dan mengerucut pada permasalahan inti. Permasalahan kecil tersebut antara lain adalah bagaimana pemikiran masyarakat tentang kemiskinan yang mendera dan atribusi terhadap pembangunan yang ditujukan untuk mengatasi kemiskinan. Pembangunan juga kurang mampu mengatasi kemiskinan bahkan dinilai meningkatkan ketergantungan masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan disusun dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemikiran (reason) masyarakat miskin terhadap program pembangunan berbasis kerakyatan guna pengentasan kemiskinan ?
2. Bagaimanakah pemikiran masyarakat miskin tentang kemiskinan sebagai sebuah masalah ?
3. Benarkah masyarakat miskin tergantung terhadap program pembangunan dan bagaimanakah pemikiran mereka tentang ketergantungan ?

B. TINJAUAN TEORI PEMIKIRAN MASYARAKAT MISKIN TENTANG KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN BERBASIS KERAKYATAN
Penelitian Herlianto (1986) menemukan fakta dari hasil penelitian terhadap proyek penataan kawasan WR Supratman di Surabaya bahwa keberhasilan program penataan kawasan M Husni Thamrin telah menarik perhatian Bank Dunia sehingga bersedia memberikan donasi terhadap program penataan kawasan di Indonesia. Bank Dunia kemudian mengambil alih pemberian dana bantuan yang kemudian justru berdampak turunya aktifitas masyarakat dalam pembangunan kawasan mereka. Masyarakat yang semula sebagai produsen berubah menjadi konsumen, sekedar menjadi penonton proyek-proyek pemerintah yang ditangani pemborong-pemborong besar.
Kenyataan yang sama ditemukan Santosa (2002) dalam penelitiannya tentang Evaluasi Program Urban Renewal Kawasan Bandarharjo Kota Semarang. Santosa dalam penelitiannya menegaskan bahwa penataan kawasan yang didanai oleh pemerintah telah mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat.
Pemikiran adalah aspek psikologis yang mendasar dalam kehidupan manusia yang kemudian tergambarkan dalam bentuk perilaku teramati (Wicklund, dkk., 1980). Gambaran pemikiran manusia dimulai dari pengumpulan informasi, proses kognisi yang
berjalan pada alur logika dan kemudian penarikan konklusi. Konklusi merupakan penjelasan dari perilaku-perilaku yang dipelajari manusia, meliputi sifat individu, sikap manusia dan kemampuan berperilaku teramati (overt). Menurut Heider (dalam Wiklund, dkk., 1980) pemikiran (reasons) merupakan representasi proses akal kronologis.
Petty dan Cacioppo menegaskan bahwa pemikiran juga merupakan respon terhadap situasi lingkungan dan kejadian-kejadian khusus (Pines, dkk., 1993). Respon kognisi tersebut didasari logika rasional yang beralasan, tersusun dalam skema yang runtut dan dikomunikasikan dengan individu lain (Yandell dalam Pines, dkk., 1993).
Pendapat Pinker (1997) menyebutkan bahwa rasionalitas sepadan dengan trik yang kita lakukan dalam mengkalkulasi kemungkinan yang dapat terjadi terhadap suatu alternatif. Lebih jauh menurut pendapat Pinker (1997), rasionalitas didasari oleh berbagai informasi yang diperoleh dan kemudian secara alami individu memikirkan (to reason) segala kemungkinan yang dapat terjadi. Sehingga dengan demikian, ide pokok rasionalitas adalah pemikiran individu dalam merespon permasalahan yang mereka hadapi.
Pendapat Pinker memperkuat ungkapan Bower (1996) yang menyatakan bahwa kaum Psikologi Evolusioner menemukan rasionalitas manusia dicerminkan oleh kosensus atas keputusan yang diambil meskipun terdapat keterbatasan kemampuan kognitif. Demikian pula rasionalitas masyarakat miskin dalam membentuk pemikiran-pemikiran terhadap kemiskinan mereka sebagai bentuk respon kognitif, yaitu upaya memahami suatu kejadian (atrtibusi) dan juga menyusun pemikiran-pemikiran sebagai
bentuk respon terhadap program pembangunan berbasis kerakyatan memiliki ketergantungan terhadap kepentingan masing-masing.
Pemikiran masyarakat miskin untuk memilih tinggal di permukiman yang kumuh dan liar serta menekuni pekerjaan informal perupakan pola mempertahankan hidup. Rasionalitas masyarakat miskin yang terpaksa menempati rumah-rumah kumuh dan liar di perkotaan merupakan gambaran pemikiran dan keputusan yang inovatif terhadap sedikitnya pilihan bagi mereka untuk dapat tinggal di permukiman layak huni. Turner ( dalam Gilbert, dkk., 1996) bahkan secara tegas menyatakan bahwa gubug-gubug keluarga miskin bukan gambaran rendahnya nilai arsitektur dan kepasrahan mereka dalam kemiskinan. Gubug kumuh masyarakat miskin jusru menawarkan perlindungan yang lebih dapat mendukung aktivitas keseharian.
Namun demikian, pemikiran dan modifikasi perilaku inovatif kaum miskin tersebut dinilai masyarakat sebagai bentuk-bentuk budaya kemiskinan. Alejandro Portes (1972) memberikan preposisi tentang ciri budaya kemiskinan ditandai oleh situasi tempat masyarakat yang telah terjerat lingkungan sosial yang apatis, fatalisme, kurang aspiratif dan keprihatinan eksklusif yang terkait dengan kepuasan sepintas serta sering kali membenarkan perilaku kejahatan. Pandangan budaya kemiskinan cenderung menyalahkan kelompok miskin dan berdampak munculnya stereotip yang menyatakan bahwa kemiskinan merupakan kesalahan kelompok miskin itu sendiri. Menurut pandangan budaya kemiskinan, tidak ada cara untuk mengurangi kemiskinan karena asumsi-asumsi sebagaimana disebutkan Portes (1972; 2000) diturunkan kepada generasi
berikutnya dan dipelajari oleh generasi berikutnya tanpa ada upaya-upaya memperbaiki taraf kehidupannya.
Lewis (1970) dan Shweder (2000 dalam Vermeulen, 2001) mengasumsikan perilaku tersebut sebagai salah satu budaya kemiskinan dalam aktivitas perekonomian.
Secara rinci Shweder menyebutkan bahwa perilaku miskin ditandai dengan pekerjaan informal sebagai mata pencaharian, rendahnya kemampuan berhemat, rendahnya kepercayaan antar individu terlebih yang tidak dikenal, ketidakmampuan orientasi masa depan termasuk didalamnya perencanaan dan perilaku tertentu guna investasi ekonomi dan perbaikan taraf pendidikan.
Kajian ilmiah mengenai pola rasionalitas penduduk miskin terhadap kemiskinan menemukan fakta bahwa kelompok miskin di Peru mampu mengkonsolidasikan seluruh sumber daya yang mereka miliki guna memberikan reaksi secara rasional terhadap kemiskinan yang mereka alami (Turner, 1962; Mangin, 1967). Kelompok miskin memiliki waktu kerja yang jumlahnya jauh lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Mereka juga sangat inovatif, bahkan dalam lingkungan yang mendukung, kelompok miskin ini dapat berkembang dan memperoleh kesempatan perbaikan kondisi ekonomi.
Pada tahun 1950-an Perserikatan Bangsa-bangsa mempersamakan community development dengan community Participation, yaitu sebagai suatu proses pembangunan yang didesain untuk mengatasi kemiskinan memuat upaya penciptaan kondisi kemajuan sosial ekonomi bagi seluruh masyarakat dengan partisipasi aktif (Abbot, 1995). Penekanan pendekatan pembangunan ini diletakkan pada aktivitas masyarakat dalam memberdayakan dirinya sendiri untuk keuntungan dirinya sendiri dan lingkungannya.
Namun dalam pelaksanaan pembangunan tidak menumbuhkan partisipasi. Pelaksanaan pembangunan lebih banyak direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Terlalu berlebihnya kewenangan yang diambil alih oleh pemerintah, justru berdampak turunya aktifitas masyarakat dalam pembangunan kawasan mereka. Masyarakat yang semula sebagai produsen berubah menjadi konsumen, sekedar menjadi penonton proyek -
proyek pemerintah yang ditangani pemborong-pemborong besar (Herlianto, 1986; Santosa, 2002).
Kebiasaan masyarakat menikmati hasil-hasil pembangunan tanpa harus terlibat aktif menumbuhkan rasa senang. Kebiasaan tersebut menumbuhkan keinginan untuk terus menikmati pembangunan tanpa harus berpartisipasi, akibatnya masyarakat menjadi tergantung terhadap pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. David Barker (dalam Prasetyo, 1995) menyatakan bahwa ketergantungan terjadi karena adanya ketimpangan pembagian kekuasaan sehingga kelompok miskin tidak memiliki kemampuan menyampaikan aspirasinya dalam upaya memperbaiki kondisi kehidupannya.

C. CARA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk menemukan kebenaran jawaban atas suatu permasalahan dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang logis dan sistematis dengan menggunakan metode kualitatif. Teori dalam penelitian kualitatif berfungsi sebagai kisi-kisi yang membatasi peneliti agar terkonsentrasi pada tujuan penelitiannya (Flick, 2002; Attiq, dkk., 1991).
Penyampelan pertama berdasarkan tipe kasus (Typical case sampling), yaitu jika informan memenuhi kriteria berikut; tinggal di lokasi pembangunan berbasis kerakyatan sejak tahun 1992, yaitu dimulainya program pembangunan kawasan berbasis kerakyatan; Kondisi rumah tinggal yang tidak layak huni; Penghasilan dibawah upah minimum kota yaitu sebesar Rp. 450.000/bln; Pendidikan keluarga tidak memenuhi kewajiban belajar tingkat dasar 9 tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan Bandarharjo terletak di bagian utara wilayah Kota Semarang yang berbatasan langsung dengan laut Jawa. Bandarharjo diapit tiga aliran sungai dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara minus 0,15 sampai dengan 0,75 di atas permukaan air laut, sehingga kawasan Bandarharjo memiliki masalah aliran air. Karakteristik masalah aliran air berupa banjir kiriman yang diakibatkan oleh air hujan di kota Semarang bagian atas maupun air hujan kiriman dari Kabupaten Semarang (Ungaran). Karakteristik lain permasalahan aliran air kawasan Bandarharjo adalah pengaruh limpasan pasang air laut yang lebih dikenal dengan istilah “rob”. Masalah air ini mengakibatkan kerusakan bangunan fisik yang jauh lebih cepat terjadi.
Kawasan perencanaan Pembangunan Kawasan Berbasis Kerakyatan (Community Based Development / CBD) di Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang
meliputi luas lebih kurang 53 Ha, dihuni sekitar 8.978 jiwa. Sebanyak 726 KK diantaranya adalah keluarga miskin yang bekerja disektor informal sebagai pembantu rumah tangga, buruh industri, buruh bangunan, buruh angkutan, tukang becak, tukang


ojek, perbengkelan, pemulung, nelayan, pengrajin ikan, warungan, pedagang pasar, pedagang keliling. Lebih dari 57 % penduduk miskin Bandarharjo bekerja sebagai buruh
dengan upah berkisar antara Rp. 150.000,- sampai dengan Rp.450.000,- . Upah tersebut dibawah upah minimum kota Semarang yang ditetapkan tahun 2005 sebesar Rp. 475.000,-.
Pemikiran-pemikiran masyarakat tentang diri dan lingkungannya bersifat sangat pragmatis dan sederhana. Pola pikir masyarakat miskin dalam mengatasi kemiskinan-pun sangat sederhana dan didasari kenyataan yang sederhana pula. Pemanfaatan aset dan pola konsumsi masyarakat miskin juga tergiring pada benda-benda yang sederhana serta memiliki nilai jual rendah. Kepemilikan barang rumah tangga dari masyarakat miskin cenderung barang konsumsi yang mudah diperjual-belikan antara lain televisi dan pemutar cd (vcd player). Jika dikaji dari teori herarki kebutuhan Maslow ( Slavin, 1991), barang elektronik tersebut pada satu sisi berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan akan perasaan senang (kebutuhan hiburan/aesthetic needs), pemenuhan kebutuhan akan pengetahuan (need to know and understand) , dan pemenuhan kebutuhan harga diri (self esteem). Namun pada saat penduduk miskin mengalami kesulitan keuangan, maka benda elektronik yang dimiliki akan dijual untuk menutupi kebutuhan lain, bahkan dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan pangan atau kesehatan (psychological needs).
Kemiskinan yang dialami informan menyebabkan jarak antara masyarakat miskin dengan perbankan menjadi jauh. Perbankan terutama bank pemerintah yang juga memiliki misi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan kehilangan aksesnya kepada masyarakat yang harus dibantu. Kesulitan masyarakat miskin memenuhi syarat
persyaratan pengajuan pinjaman dari perbankan mendorong masyarakat miskin memilih rentenir (bank plecit) guna memperoleh pinjaman uang.
Masyarakat Bandarharjo harus menerima kondisi alam dan kemiskinannya dalam situasi keterpaksaan. Sebanyak 41 orang dari 52 informan penelitian menerima kenyataan miskin sebagai “ujian dari Tuhan” yang harus diterima dengan iklas. Sebanyak 25 %

informan juga meyakini bahwa kemiskinan merupakan kodrat yang diwariskan secara turun temurun. Kepercayaan fatal tersebut memberikan dampak lemahnya niat untuk memperbaiki kondisi ekonomi.
Informan juga tidak memiliki kepercayaan pada usaha-usaha pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Program pembangunan berbasis kerakyatan dianggap sebagai proyek pemerintah yang hanya bermanfaat bagi aparat pemerintah. Masyarakat merasa tidak banyak menikmati hasil-hasilnya, bahkan informan semula mengira pembangunan tahun 1992 tersebut dijadikan kedok (alasan tersembunyi) pemerintah untuk menggusur penduduk Bandarharjo yang menempati tanah negara secara ilegal. Ketidakpercayaan sosial (social distrust) tersebut menumbuhkembangkan apatisme terhadap pembangunan lingkungan. Masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial rendah menjadi tidak acuh pada perbaikan lingkungan permukiman.
Kepercayaan kepada kodrat menunjukkan kesadaran akan kemampuan diri dalam masyarakat miskin Bandarharjo berada pada taraf rendah (low self awarreness). Kemiskinan menyebabkan masyarakat miskin menyalahkan lingkungan yang sering rob, pemerintah yang tidak memihak kepada mereka (deprivasi) dan Tuhan yang memberikan kodrat (Fatalistik). Tingkat pendidikan anak rendah dan apatisme masyarakat terhadap perbaikan kondisi lingkungan permukiman dapat diterima sebagai tolok ukur psikologis kemiskinan di Bandarharjo. Apatisme masyarakat pula melahirkan derajad partisipasi pada tingkat rendah dalam perbaikan rumah tinggal dan sarana lingkungan permukiman.
Sejumlah 66,39 % informan menunjukkan respon kognitif berupa upaya memahami kemiskinan yang mereka alami. Kesadaran diri (self awarreness) yang menilai kemiskinan sebagai sebuah masalah mendorong individu memberikan respon
psikologis yakni munculnya niat (drive) untuk melakukan perubahan. Niat memberikan kesempatan individu untuk menjalankan proses pikir dalam rangka memahami permasalahan yang dihadapi. Pertimbangan dilakukan seiring dengan penyusunan berbagai cara penyelesaian masalah. Namun, pertimbangan yang dilakukan masyarakat miskin lebih banyak didasari kekuatan intuisi dari pada kekuatan perhitungan prediktif
matematis atau statistika prediktif (Pines, dkk.,1993). Lebih dari 65 % informan melakukan pertimbangan intuitif terhadap alternatif guna menambah penghasilan dan mengatasi kemiskinan.
Prinsip keruntutan dalam memahami permasalahan yang dihadapi merupakan sifat dasar rasionalitas individu. Keruntutan pemahaman tersebut searah dengan teori atribusi yakni proses melakukan persepsi tehadap stimulus yang dihadapi. Persepsi adalah proses analisa situasi dalam kaitan mengatasi permasalahan yang muncul (Wicklund, 1980). Semakin runtut pemahaman permasalahan yang dilakukan individu, maka semakin dalam pula proses pemikiran dan persepsi yang dilakukan. Tingkat keruntutan pemahaman permasalahan tergantung dari banyaknya informasi yang diperoleh. Informasi yang banyak dan lengkap memberikan andil bagi kesempurnaan penyusunan alternatif dan penentuan alternatif utama guna mengatasi permasalahan. Prinsip keterlengkapan (transitivity) informasi membantu memprediksikan hasil terbaik dan juga merangkum resiko-resiko yang mungkin terjadi (Plous, 1993).
Sejumlah 50 % informan penelitian yang mampu memahami kemiskinan sebagai suatu masalah dalam pemikiran yang runtut. Informasi yang dikemukakan cukup banyak dan faktual meskipun sangat sederhana. Informasi diperoleh dari keadaan dirinya sendiri (internal locus of control), pemahamanakan situasi diri sendiri, melakukan perbandingan dengan orang lain dan kelompok masyarakat lain (social comparison), memperdalam
perenungan dan persepsi setiap informasi yang dikumpulkan (self perception), membangkitkan dorongan / drive untuk mencari kesempatan dan peluang mengatasi
masalah, kembali melakukan persepsi terhadap informasi yang telah diperoleh jauh sebelumnya dipertemukan dengan informasi baru tentang peluang dan kesempatan mengatasi masalah.
Pencarian peluang dan kesempatan merupakan pemikiran inovatif masyarakat miskin yang hidup dalam keterpaksaan lingkungan. Harga tanah dan rumah yang mahal di perkotaan mendesak orang miskin mencari tanah yang dibiarkan terlantar dan menggunakannya untuk lahan permukiman secara ilegal. Walaupun salah jika diukur dari kebijakan pemerintahan dan hukum, pemanfaatan tanah terlantar untuk permukiman penduduk miskin merupakan pilihan inovatif pragmatis. Menempati tanah secara ilegal dari sudut kajian hukum memang salah, namun kemiskinan memaksa menempati lahan tersebut sehingga dari sudut padang masyarakat miskin, tindakan tersebut dapat dibenarkan. Fenomena tersebut sebenarnya inti dari rasionalitas. Rasionalitas merupakan proses sadar memahami, mempersepsi, memikirkan, menyusun alternatif pemecahan masalah, membandingkan (comparison) berbagai faktor dan memutuskan dorongan perilaku yang paling menguntungkan dalam sistematika kebenaran tertentu disertai argumentasi yang kuat (Pearlman, 1976; Werner, 1994; Pinker, 1997; Evans, dkk., 1996).
Pragmatisme telah mendorong rasionalitas masyarakat miskin di Bandarharjo berperilaku irasional. Menempati lahan secara ilegal untuk mencukupi kebutuhan tempat tinggal dan perlindungan sebagai pilihan pragmatis merupakan pilihan rasional. Tetapi, perbuatan menempati tanah secara ilegal dan tinggal di gubug yang tidak sehat adalah
pilihan irasional. Rasionalitas yang irasional ini dalam kajian psikologi disebut sebagai model sistem heuristik. (Plous, 1993; Rogers, 2003).
Alasan (argumentation) yang dikemukakan oleh informan penelitian menguatkan arah pikir (mindguard) fokus pada alternatif yang dipilih (Irving L. Janis dalam Pines, dkk., 1993). Arah pikir menjaga agar individu tetap mematuhi keputusan yang telah diambil meskipun berada dalam waktu dan tempat yang berbeda. Kepatuhan individu pada keputusan yang telah diambilnya meskipun dalam situasi dan waktu yang berbeda juga merupakan salah satu aspek kajian teori atribusi yang dikemukakan Kelley (Kelley’s Attribution Theory dalam Wicklund, 1980). Penduduk miskin yang menempati tanah secara ilegal membenarkan perilaku tersebut dan menyatakan bahwa mereka menempati tanah yang tidak ada pemiliknya. Disamping itu, penduduk miskin juga mengakui bahwa tindakan mereka tersebut salah.
Pengakuan kesalahan partisipan dalam menempati tanah secara ilegal adalah bentuk kesadaran diri yang patut dihargai. Namun, ketika individu kembali menanyakan benar/tidaknya tindakan yang dilakukan, individu berusaha mengingkari kesalahan yang dibuat. Individu mencari dukungan untuk menguatkan kebenaran subjektifnya. Rasionalitas tidak banyak berkaitan dengan nilai kebenaran (Niznik, dkk., 2002). Rasionalitas hanya mengarahkan individu mencapai kebenaran, terlepas sama sekali dari nilai kebenaran yang diperoleh, kebenaran subjektif ataukah kebenaran objektif (Leszek Kolanowski dalam Niznik, dkk, 2002; Kelemen, 1998). Subjektivitas adalah bentuk berkembangnya dominasi ego dalam diri individu. Pragmatisme pilihan perilaku yang dikotori oleh dominasi ego mendorong perilaku individu kebentuk-bentuk perilaku negatif dan irasional. Artinya, rasionalitas subjektif adalah juga rasionalitas negatif yang karena dominasi ego individu telah membentuk perilaku heuristik, yaitu perilaku rasionalitas yang irasional.
Tokoh masyarakat yang diharapkan pemerintah menjadi pioner pelaksanaan pembangunan juga tidak memiliki kemampuan menjelaskan argumentasi pelaksanaan
pembangunan kawasan. Akibatnya adalah rendahnya konsensus masyarakat untuk melaksanakan alternatif pemecahan masalah kemiskinan di kawasan Bandarharjo. Program pembangunan berbasis kerakyatan tidak mendapat dukungan aktif masyarakat
miskin di Bandarharjo. Informan yang pasif dalam pembahasan program pembangunan yakni mencapai 90,39 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan informan menjalin hubungan sosial di kota Semarang dapat dikategorikan rendah. Kemampuan menjalin hubungan sosial yang relatif rendah tersebut menyebabkan ruang gerak untuk memperoleh informasi dan peluang formal dalam peningkatan kualitas hidup menjadi terbatas. Terlebih, jalinan sosial yang mampu dibentuk adalah jalinan sosial yang setara yaitu hubungan dengan individu-individu yang memiliki kesamaan (similaritas) kelas ekonomi, pendidikan dan kelas sosial. Kesetaraan kelas hanya memberikan informasi yang relatif sepadan, tidak mengembangkan wawasan dan informasi lebih bervariasi. Situasi tersebut secara tidak langsung justru membatasi penduduk miskin untuk mengembangkan kemampuan berusaha dan turut berkompetisi memperebutkan peluang-peluang formal yang kuantitasnya lebih besar.
Pernyataan sebagian informan yang mengaku tidak mengetahui adanya pinjaman modal lunak bagi masyarakat untuk mengatasi kemiskinan baik dengan program CBD, PDM-DKE maupun P2KP juga merupakan bukti bahwa masyarakat miskin di Bandarharjo tidak mampu menjalin hubungan sosial bahkan dengan organisasi pemerintahan lokal (RT dan Kelurahan) karena program tersebut ditawarkan melalui RT dan/atau keluarahan.
Rusaknya sarana jalan dan kondisi lingkungan yang kotor membawa dampak turunnya mobilitas penduduk akibat tidak beroperasinya angkutan umum melalui kawasan tersebut, selain itu juga mempengaruhi turunnya penghasilan penduduk Bandarharjo yang bekerja disektor jasa angkutan becak dan ojek. Kerusakan jalan turut menghambat upaya pengentasan kemiskinan di kawasan Bandarharjo. Hambatan yang terjadi akibat kondisi alam meskipun tidak disengaja menyebabkan makin marginalnya
penduduk miskin Bandarharjo dari jalinan sosial dengan penduduk lain di luar Bandarharjo. Masyarakat miskin Bandarharjo juga terbatasi ruang geraknya untuk
membangun jalinan sosial (social networking) dan turut berkompetisi memperebutkan peluang guna mencapai kesejahteraan di kota Semarang.
Kebijakan-kebijakan organisasi pemerintahanpun memiliki andil secara tidak langsung pada pembatasan kesempatan berkembang pada masyarakat miskin di Bandarharjo. Penyalahgunaan kekuasaan pemerintah antara lain tidak menginformasikan secara jelas kepada masyarakat tentang adanya bantuan pinjaman modal usaha bergulir dari pemerintah melalui program CBD, PDM-DKE dan P2KP turut pula menjadi sebab terperangkapnya masyarakat miskin di Bandarharjo pada kemiskinan yang berlanjut.
Pembangunan kawasan sekitar Bandarharjo untuk industri semula diharapkan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Bandarharjo justru mengakibatkan rusaknya lingkungan permukiman Bandarharjo akibat genangan rob di kawasan ini. Sekaligus menyebabkan eksploitasi lahan dan lingkungan sepanjang pantai Semarang.
Kesalahan atribusi yang dilakukan sendiri oleh masyarakat miskin di Bandarharjo bahwa mereka tidak mampu bersaing memperebutkan kesempatan yang lebih besar adalah sebab internal termarginalnya penduduk msikin Bandarharjo dalam kompetisi ekonomi. Sedangkan sebab eksternal pertama adalah kebijakan-kebijakan ekonomi organisasi pemerintah yang tidak sengaja telah mempersulit dibukanya kesempatan mengembangkan kemampuan wirausaha masyarakat miskin. Sebab eksternal kedua adalah eksploitasi lingkungan oleh pengembang yang berekses rusaknya sarana lingkungan permukiman masyarakat miskin dan mengganggu mobilitas usaha penduduk.
Sistem penggajian terhadap buruh industri yang rendah, reklamasi pantai yang berakibat rusaknya lingkungan, etika dan kebijakan pembangunan yang sering dilanggar untuk tujuan tertentu oleh pemerintah dan model penggusuran terhadap pedagang kaki
lima tanpa memberikan jalan keluar merupakan eksploitasi yang diterapkan terhadap masyarakat migran miskin. Eksploitasi tersebut yang menjadi sebab musabab terjadinya marginalisasi terhadap masyarakat miskin.

D. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Inovasi masyarakat miskin didasarkan atribusi mereka sendiri dengan dalih pemenuhan kepentingan hidup (self interest ) dan nilai manfaat untuk mempertahankan hidup (Plous, 1993; Pines, 1993; Tickamyer, 200) serta atribusi subjektif tentang kesengsaraan dan ketidakberdayaan, dalam hal ini atribusi subjektif disebabkan ego dominant (Niznik, dkk., 2002). Inovasi tersebut antara lain diwujudkan dalam kebutuhan tempat tinggal dipenuhi gubug sederhana, kumuh dan berdiri diatas lahan secara ilegal. Gubug permukiman masyarakat miskin memiliki nilai strategis sebagai perlindungan dan persinggahan untuk aktivitas di hari berikutnya. Kepentingan pribadi (self interest) dan dominasi ego dalam perilaku pragmatis untuk memenuhi kebutuhan hidup mendorong tersusunnya skema kognisi atas dasar prototipe (Petty dan Cacioppo dalam Rogers, 2003) Skema kognisi yang tersusun juga bukan atas dasar substansi stumulus melainkan akibat ilusi perasaan yang dipengaruhi oleh proses belajar dari pengalaman (Plous, 1993). Akibat menguatnya upaya pemenuhan kebutuhan atas dasar self interest dan dominasi ego serta didukung oleh kepercayaan diri serta pengalaman, respon sikap yang terbentuk terjadi secara otomatis tanpa pemikiran mendalam/heuristic systematic model (Rogers, 2003). Kepentingan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup antara lain kebutuhan tempat tinggal gubug kumuh dan ilegal serta dikuatkan dominasi ego (ego sebagai reinforcement) telah menyebabkan kecenderungan rasionalitas subjektif, dalam terminologi psikologi dikenal dengan istilah heuristic systematic model (Plous, 1993; Faturochman, 1998; Rogers, 2003).
2. Dampak yang muncul dari kebiasaan sebagai konsumen pembangunan, masyarakat miskin menjadi tergantung kepada pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Masyarakat miskin yang mengalami bias atribusi dan menilai diri sendiri tidak mampu secara kognitif dan ekonomi serta merasa lemah
akhirnya menyerahkan proses pembangunan lingkungan permukiman kepada pemerintah. Penyerahan proses pembangunan kepada pemerintah tersebut merupakan konsep ketergantungan (dependency) masyarakat miskin di Bandarharjo.
3. Rasionalitas masyarakat miskin di Bandarharjo adalah inovasi individu akibat terjadinya bias atribusi. Inovasi adalah perwujudan perilaku dari masyarakat, sedangkan distorsi persepsi adalah aspek reasoning/penalaran masyarakat berupa pemaknaan kondisi tidak berdaya, lemah, fatalistik, sengsara serta lingkungan yang tidak berpihak. Distorsi persepsi merupakan substansi rasionalitas masyarakat miskin dan menjadi ukuran subjektivitas kebenaran berperilaku, karena rasionalitas belum tentu benar atau objektif maka rasionalitas bisa menjadi tidak rasional. Rasionalitas yang irasional tersebut terjadi bukan semata karena kemiskinan struktural, namun juga karena bias atribusi /distorsi persepsi dan pengalaman-pengamalan yang dipelajari sehingga membentuk skema pemikiran tanpa penalaran mendalam (heuristic systematic model). Model sistem heuristik dalam atribusi masyarakat miskin Bandarharjo adalah sebagai berikut :













B. SARAN
1. Pendekatan-pendekatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah hendaknya mendorong sebesar-besarnya partisipasi masyarakat. Partisipasi dibentuk dengan pola dialogis emansipatoris, yaitu terdapat pertukaran informasi dan pembicaraan mendalam menyangkut rencana, pelaksanaan, evaluasi dan perawatan hasil-hasil pembangunan. Dialogis emansipatoris merupakan proses yang panjang dan lama, mengingat dalam proses tersebut terjadi proses interaktif mind, yaitu saling tukar substansi pikiran antara komponen pemerintah, swasta dan lembaga kemasyarakatan serta komponen masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan atas dasar dialogis emansipatoris / interaktif mind harus dapat menghasilkan pembagian kewajiban masing-masing komponen yang terdistribusi secara adil. Distribusi kewajiban yang adil adalah jika kewajiban dibagi secara proporsional sesuai dengan kemampuan masing-masing melalui pembicaraan yang mengarah pada keputusan mufakat. Pembicaraan mufakat dalam interaktif mind memang terkadang terhalang oleh perbedaan kepentingan (self interest) masing-masing komponen. Oleh sebab itu, pengendalian terhadap ego menjadi permasalahan yang berat dalam setiap pembicaraan menyangkut pemenuhan self interest yang berbeda. Pembagian kewajiban partisipatif melalui interaktif mind model juga harus memuat konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus ditanggung oleh masing-masing komponen jika terjadi one prestasi (pengingkaran kewajiban) diluar kejadian-kejadian yang dinilai luar biasa oleh seluruh komponen, antara lain karena terjadinya bencana alam.
2. Kebijakan-kebijakan penataan wilayah dan jenis usaha masyarakat miskin hendaknya dapat mempertahankan sumber-sumber penghidupan masyarakat miskin. Kawasan Bandarharjo adalah kawasan pantai yang kaya akan potensi sumber daya alam laut. Namun, kekayaan alam tersebut kurang dikembangkan sebagai industri rumah tangga produktif, antara lain industri kerupuk udang/ikan, tepung ikan, tepung kepiting, tepung duri ikan untuk bahan campuran pakan ternak, optimalisasi fungsi tambak payau dengan aneka ragam ternak ikan payau (bandeng, nila, gurami, kakap payau). Kebijakan penataan wilayah juga hendaknya mempertimbangkan kelestarian lingkungan bukan berakibat memperburuk kondisi lingkungan. Pembangunan kawasan industri hendaknya dapat mencegah terjadinya reklamasi pantai yang meningkatkan volume dan kuantitas limpasan pasang air laut ke darat. Pembangunan wilayah pantai juga harus tetap menjaga kelestarian hutan pantai (mangrove) yang memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai paru-paru kota pantai, penahan abrasi, tempat berpijahnya ikan dan aneka satwa laut, fungsi bahan bakar bagi nelayan dan perlindungan alam dari ancaman ombak serta angin laut.
3. Pembangunan sebaiknya mendahulukan upaya pengubahan pola pikir dan pengubahan perilaku masyarakat. Pengubahan pola pikir ini memang membutuhkan waktu yang relatif lama berikut konsekuensi biaya dan sumber daya manusia. Namun, kesesuaian atribusi dan tujuan pembangunan antara pemerintah, swasta dan masyarakat merupakan faktor penting guna meningkatkan partisipasi seluruh komponen. Pengubahan pola pikir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pertemuan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam sebuah aktivitas dialogis emansipatoris / interaktif mind.
4. Pengubahan pola pikir juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan agen sebagai pendamping kegiatan masyarakat. Pendamping melakukan interaksi secara terus menerus kepada masyarakat untuk dapat berbagi pendapat dan informasi (interactive mind) dalam rangka menyamakan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat. Selain itu, interaksi juga harus menumbuhkan kemampuan meningkatkan kesejahteraan melalui pendampingan kemampuan wirausaha yang dilakukan atas dasar tahapan-tahapan program yang berkesinambungan dan dilakukan terus menerus untuk meningkatkan keanekaragaman industri rakyat. Proses pengubahan pola pikir dan pola perilaku membutuhkan keterlibatan ahli-ahli konseling perilaku sosial (psikolog).

E. DAFTAR PUSTAKA

Abbot, J. 1995. Community Participation and Its Relationship to Community Development. Community Development, 30(1), 158 – 168
Abustam, M. I. 1989. Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial. Jakarta : UI Press
Agger, B. 1998. Critical Social Theories : An Introduction. Colorado, USA : Westview Press
American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th.ed. Washington : APA
Attig, G. A., Winichagoon, P., & Yoddumnern. 1991. Designing and Writing up Qualitative Research Reports. Thailand : Institute for Population Research
Azwar, S. 2000. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, edisi ke 2. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bornstein, R. F. 1993. The Dependent Personality. New York, U.S.A : Guilford Press
Bower, B. 1996. Rational Mind Design : Research into the Ecology of Though Treads on Contested Terrain. Science News, 150, 24-25
Chilcote, R., & Johnson, D. L. 1983. Theories of Development; Moe of Production or Dependency ? London : Sage Publications
Cohen, J. M., Uphoff, T. N., & Goldsmtih, A. A., 1979. Feasibility and Application of Rural Development Participation. Cornell : Cornell University
Coleman, J. S. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge : Harvard University Press
Couch, C. 1990. Urban Renewal; Theory and Practice. London : MacMillan Publication
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks : Sage Publication
Dwayer, D. J. 1972. People and Housing in the Third World Cities-Perspectives on the Problem of Spontaneous Settlement. New York : Longman
Evans, J. St. B. T., & Over, D. E. 1996. Rationality in the Selection Task : Epistemic Utility Versus Uncertainty Reduction. Psychological Review, 103(2), 356-363
Evans, J. St. B. T., Over, D. E., & Manktelow, K. I. 1993. Reasoning, Decision Making and Rationality. Cognition Journal, 49, 165-187
Evans, G. W., Saegert, S. & Harris, R. 2001. Residential Density and Psychological Health Among Children in Low-income Families. Environment and Behavior. 33 (2), 165-180
Faturochman. 1998. Deprivasi Relatif : Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis Buruh Pabrik. Jurnal Psikologi, 25(2), 1-15
Flick, U. 2002. An Introduction to Qualitative Research. ThousandOaks, California : Sage
Friedmann, J. 1992. Empowerment; The Politics of Alternative Development. Massachusetts, USA : Blackwell
Gilbert, A., & Gugler, J. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga; terjemahan. Yogyakarta : Tiara Wacana
Gurr, T. R., 1995. Minorities at Risk : A Global View of Ethnopolitical Conflicts. Washington, D.C. : United States Institute of Peace Press
Herbert, J. D. 1979. Urban Development in The Third World; Policy Guidelines. New York : Praeger Special Studies
Herlianto. 1986. Urbanisasi dan Pembangunan Kota. Bandung, Indonesia : Penerbit Alumni
Hewitt, J. P. 2003. Self and Society : A Symbolic Interactionist Social Psychology. Ed.9. Boston : Allyn & Bacon
Huberman, A. M. & Miles, M. B. 1984. Qualitative Data Analysis; An Expanded Sourcebook 2nd. Ed. Newbury Park : Sage Publication
Hutnik & Nimmi. 1991. Etnic Minority Identity : A Social Psychological Perspektive. Oxford : Clarendon
ILO. 1998. Siaran Pers ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) Kantor Perwakilan Jakarta tanggal 29 Agustus 1998. http:/www.un.or.id/ilo/bahasa/pers.htm
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang PeremajaanPemukiman Kumuh yang berada di atas Tanah Negara
Ife, J. 1996. Community Development : Creating Community Alternatives-Vision, Ananlysis and Practice. Melbourne, Australia : Longman
Johnson, D. W. & Johnson, F. P. 2000. Joining Togheter; Group Theory and Group Skills. London : Allyn and Bacon
Jucano, F. L. 1975. Slums as a Way of Live : A Study Coping Behaviour in an Urban Environment. Manilla, Phillippines : University of Phillipines Press
Kahneman, D., & Tversky, A. 1973. On The Reality of Cognitive Illusions : A Reply to Gigerenzer’s Critique. Psychological Review, 103, (582-591
Kelemen, J. 1998. A View of Rationality at the End of Modern Age. Human Affairs, 8(2), 101-111
Kelly, D. 2004. Dependent Personality Disorders. Diakses melalui internet dari http://www.geocities.com/ptypes-Depenedent Personality Disorder Criteria
Korten, D. & Syahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Kumorotomo, W., Darwin, M., & Faturrohman. 1995. The Implementation of Slum and Squatter Improvement Programs in Rivers Basins of Yogyakarta. Populasi, 6(2), 29-37
Kuo, F. E. 2001. Coping with Poverty, Impact of Environment and Attention in The Inner City. Journal of Environment and Behavior, 33(1), 5–34
Lewis, O. 1970. The Culture Of Poverty; Anthropological Eassy. California : Random House
Mangin, W. 1967. Latin America Squatter Settlements : A Problem and A Soution, Latin America Research Review, 2, 65-68
Mantra, I., B. 1981. Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM
McAuslan, P. 1986. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Jakarta : Gramedia
Minichiello, V., Aroni, R., Timewell, E., & Alexander, L. 1990. In-depth Interviewing : Researching People. Mellbourne : Longman Australi Pt. Ltd.
Moser, C. O. N. 1998. The Asset Vulnerability Framework : Reassessing Urban Poverty Reduction. Journal of World Development, 26(1), 1-19
Moeljarto. 1996. Pembangunan : Dilema dan Tantangan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Muhadjir, N. 2001. Filsafat Ilmu; Positivisme, Postpositivisme dan Postmodernisme ed.2. Yogyakarta : Rake Sarasin
Neuman, W. L. 1997. Social Research Methods : Qualitative and Quantitatif Approach. USA : Allyn & Bacon
Niznik, J., & Sanders, J. T. (ed.). 2002. Memperdebatkan Status Filsafat Kontemporer : terjemahan. Yogyakarta : Qalam
Osborn, D., & Gaebler, T. 1993. Reinventing Government. New York : A Plume Book
Papanek, G. 1975. The Poor of Jakarta. Journal of Economic Development and Cuktural Change, 24, 7-8
Parker, N. 2002. Differentiating, Collaborating, Outdoing : Nordic Identity and Marginality in the Contemporary World. Identities : Global Studies in Culture and Power, 9 , 355-381
Pearlman, J. E. 1976. The Myth of Marginality : Urban Poverty and Politics in Rio de Janeiro. California : University California Press
Pearlman, J. E. 2002. Marginality : From Myth to Reality in the Favelas in Rio de Janeiro 1969 – 2002; Draft Chapter for Urban Informality Book. diakses dari http://www.eg.fjp.gov.br/gestaourbana/modulo01/jp%20CHAPTER-FINAL.Doc.
Pines, A., & Maslach, C. 1993. Experiencing Social Psychology; Readings and rojects. Ew York : McGraw-Hill
Plous, S., 1993. The Psychology of Judgement and Decision Making. New York : McGraw-Hill, Inc.
Portes, A. 1972. Rationality in The Slums : an Eassy on Interpretative Sociology. Journal of Comparative Studies on History and Society, 14, 264 - 271
Prasetyo, P. S. 1995. Kebijakan Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Menangani Masalah Kemiskinan. Potensia, VI(13), 44 – 65
Ravallion, M. 1992. Poverty Comparisons; A Guide to Concepts and Methods. Washington, D.C. : The Wolrd Bank
Rogers, W.S. 2003. Social Psychology Experimental and Critical Approaches. Philadelpia, USA : Open University Press
Sadava, S. W., & McCreary, D. R. 1997. Applied Social Psychology. New Jersey : Prentice Hall Inc.
Santosa, J. 2002. Evaluasi Program Urban Renewal Kawasan Bandarharjo Kota Semarang. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Slavin, R. E. 1991. Educational Psychology; Theory intoPractice. New Jersey : Prentica Hall
Smith, S. G. 1994. The Essential Qualities of A Home. Environmental Psychology, 14, 31-46
Surbakti, A. R. 1984. Kemiskinan di Kota dan Program Perbaikan Kampung. Prisma, 6(XIII), 65-75
Tikamyer, A. R., Henderson, D. A., White, J. A., & Tadlock, B. L. 2000. Voice of Welfre Reform : Beureaucratic Rationality Versus Participant Perceptions. AFFILIA, 15(2), 171-190
Turner, J. C. & Giles, H. 1985. Intergroup Behaviour. Oxford, United Kingdom : Basil Blackwell
Vermeulen, H. 2001. Culture and Inequality; Immigrant Cultures and Social Mobility in Long-term Perspective. Amsterdam : IMES
Wicklund, R. A. & West, S. G. 1980. A Premier of Social Psychological Theories. California : Brooks/Cole